" Binatang apa yang pandai melompat?"
Tidak ada angin, tidak ada hujan, tapi Ara mendengar suara petir yang memekakan telinga kirinya. Membuatnya melangkah sebanyak dua kali ke samping kanan. Tangannya memeluk erat tas laptopnya, khawatir jika suara petir itu milik perampok yang mengincar Macbook seharga motor baru yang ia beli dengan keringat sendiri.
" Jawabannya tupai."
Suara itu terdengar lagi. Tak sedekat sebelumnya. Alih-alih menoleh untuk melihat siapa pemilik suara itu, Ara justru menunduk. Melirik sepasang kaki berbalut celana chino warna cream dan sepatu kates converse hitam-putih.
" Kamu MABA ya? Rasa-rasanya, baru liat."
Suara itu kembali berulah. Namun kali ini, ia mengangkat kepalanya. Menoleh ke samping dan segera melangkah lagi sebanyak tiga kali ke samping kanan saat melihat wajah mengerikan di sebelahnya.
Lelaki. Tingginya sekitar seratus tujuh puluhan. Kurus, bahkan kelewat kurus. Rambutnya gondrong, sepunggung, gimbal. Bawah matanya hitam. Alisnya tebal. Kumisnya tebal. Jenggotnya pun tak kalah tebal, panjang seleher, dikepang. Giginya berbehel, biru. Bibirnya hitam. Giginya agak kuning. Kulit wajahnya berminyak dan berpori besar. Warnanya sawo busuk, cokelat cenderung hitam. Aromanya badannya saat bergerak sungguh membuat Ara nyaris pingsan.
Dia sudah tidak mandi berapa lama sih?
" Aku Aksa. Panggil aja begitu. Semester enam. Anak Teknik. Nama kamu siapa?"
Ara hanya mengulas senyum sembari menahan napas sebagai jawaban. Dipalingkannya muka ke jalanan, berharap angkutan umum yang sedari tadi ia tunggu segera lewat agar Ara bisa jauh-jauh dari lelaki aneh di sampingnya ini.
" Kamu nunggu angkot merah ya? Setahuku, angkot merah nggak ada kalau sudah lewat jam lima sore." Celotehnya lagi.
Ara mengangguk, lantas terpaksa mengulas senyum sebagai jawaban.
" Kamu habis apa emangnya, jam segini masih di kampus?"
Rasanya, Ara ingin buru-buru pergi. Sungguh, tiap kali Aksa bergerak, aromanya sangat mengkhawatirkan. " UKM kak."
" Oh, kamu ikut UKM apa?"
" Choir."
Aksa manggut-manggut. " Oh paduan suara. Jangan-jangan suara melengking yang tadi aku denger di ruang praktik FISIP itu suara kamu," celotehnya cekikikan.
Matilah. Ara ketahuan jika dia anak FISIP.
" Kalau diliat dari muka-mukanya yang cakep gini sih, kayaknya anak komunikasi. Bener pasti."
Mati lagi. Ara ketahuan. Sebelum lelaki di sebelahnya mengetahui lebih banyak tentangnya, Ara buru-buru mengeluarkan ponsel pintarnya untuk memesan ojeg online. Motor sudah cukup lantaran jarak dari kampus ke rumah tak terlalu jauh.
" Kamu nggak perlu pesan ojol. Aku antar aja gimana? Ara? Nama kamu Ara?"
Ara membelalak kaget. Ia menjauhkan lagi posisi berdirinya dari lelaki di sebelahnya. Dari mana Aksa tahu namanya? Jangan-jangan...
" Syukurlah. Tas laptop kamu pasti custom." Ucapnya sambil menunjuk tas laptop Ara yang berwarna merah muda.
Ara melirik benda dalam pelukannya. Aish, rupanya tas laptop ini yang memberitahu Aksa namanya. Lelaki itu benar, tas laptop ini ia beli kustom dengan bordir nama panggilannya, agar tidak tertukar dengan orang lain, atau jika ia lupa setidaknya ada nama pemiliknya di sana.
" Nama yang cantik, sama kayak orangnya."
Ara mengembuskan napas. Mulai kesal diganggu seperti itu.
" Jadi, kamu mau aku antar pulang, Ara?" tanya Aksa.
Ara menggeleng, " saya sudah pesan ojeg kak."
Terdengar helaan napas kecewa dari Aksa. " Sayang banget. Kalau gitu, lain kali aja deh." Aksa mengulas senyum.
Ara tersenyum simpul, sembari mengecek ponsenya lagi. Mengecek posisi ojegnya yang terasa tak sampai-sampai. Padahal Ara ingin segera pulang. Tak lama ponselnya berdering. Si pengendara ojeg online menelpon. Segera Ara angkat panggilan itu.
" Halo, kak. Saya di depan kampus."
" Di halte ya mas."
Panggilan terputus saat Ara melihat pengendara ojeg memakai helm dan jaket warna hijau melambai ke arahnya dan mendekatinya.
" Kak Ara?"
Ara mengangguk, lalu untuk terakhir kalinya mengulas senyum simpul pasa Aksa sebelum ia naik di jok belakang motor bebek.
" Bang, anter dia sampe rumah ya. Jangan macem-macem, berani macem-mecem tak laporin polisi loh." Pesan Aksa pada si pengendara.
Pengendara itu tampak mengangguk. Meski setengah wajahnya tertutupi masker, Ara dapat mendengar pengedara itu menahan tawa, lalu melaju meninggalkan halte yang mulai menggelap termakan senja. Meninggalkan Aksa sendirian yang melambaikan tangan meski Ara sama sekali tak menoleh ke belakang lagi.
" Kakak kenal dia?" Si pengendara bertanya.
" Enggak."
" Orang gila itu!" Si pengendara tertawa, " hati-hati, kak sama dia. Dia suka gigit."
Tanpa sadar Ara mengulas senyum, nyaris tertawa mendengar candaan lelaki di depannya. " Emangnya abang kenal?"
" Dia teman saya waktu saya belum pindah jurusan."
Ara mengangguk mengerti. Sebelum menyadari kata terakir yang diucapkan si pengendara. " Pindah jurusan?"
" Waktu semester satu saya sama dia sekelas. Tapi, saya angkat tangan deh jadi anak teknik. Akhirnya semester dua saya pindah jurusan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
MAAFKAN AKU
RomanceBagi Ara, Aksa hanyalah penganggu. Bagi Ara, Aksa tak lebih dari lelaki pengecut yang melempar batu sembunyi tangan. Bagi Ara, suara Aksa lebih berisik ketimbang gonggongan anjing tetangga. Tentu saja sebelum Aksa menghilang ditelan bumi. Tanpa jeja...