GELANDAGAN

10 2 0
                                    

Hari ini cuaca begitu panas, aku menengadah memperhatikan langit seketika mataku menjadi sipit terkena cahaya matahari, tidak ada yang bisa kulihat selain kumpulan debu dan polusi yang berterbangan di udara, hiruk pikuk orang-orang yang berlalu-lalang, teriakan demi teriakan yang berusaha menarik peminatnya serta hal-hal yang terlihat tidak berarti ikut meramaikan pasar. Aku menghembuskan nafas dengan berat. Panas, polusi, letih, lebih jauh ke dalam sebenarnya aku sedang bertengkar dengan hatiku, rasanya begitu sesak, sejenak wajahku berubah suram, saat ini aku benar-benar muak! Setiap hari berkerja keras dan berjuang namun semua tidak lebih baik dari kemarin, aku tetap terhina dan hidup seperti kecoa!

  Dengan berat ku langkahkan kaki ku keluar dari pasar, berjalan melewati jembatan kecil di atas parit, menelusuri lorong-lorong kecil perumahan hingga aku sampai tepat di tepi jalan. Disana ada sebuah halte, biasanya aku menunggu bus sehabis pulang berkerja dari mengangkut muatan milik agen beras di pasar. Aku berjalan perlahan menuju halte tersebut, tidak ada siapa pun di sana, semenit kemudian aku duduk pada sebuah bangku panjang yang tersedia di situ, ku biarkan pundak dan tengkuk ku melepas lelah pada papan sandar bangku yang ku duduki. Aku menarik nafas dan menghembuskannya perlahan berusaha menormalkan pernafasanku, kira-kira empat puluh menit lagi bus tiba.

  Aku pun memejamkan mataku sejenak, memikirkan nasib buruk yang menimpa kehidupanku. Kehidupan yang bahkan aku tidak pernah memintanya. Orang-orang begitu mudah mengucapkan syukur atas kehidupannya sedangkan aku bingung apa yang harus aku syukuri dari hidup melarat dan menderita seperti ini, aku tak punya keluarga, aku tidak punya tempat tinggal yang layak selain kontrakan kumuh di pinggiran kota, aku bahkan belum menikah di usia hampir tiga puluh tahun ini, aku mengerti wanita siapa yang mau dengan lelaki melarat yang berkerja sebagai tukang angkut di pasar, buat kebutuhan sehari-hari saja terkadang harus meminjam uang.

buat kebutuhan sehari-hari saja terkadang harus meminjam uang.

  Sontak suara gemuruh menghancurkan lamunanku. Aku menatap langit saat ku sadar dengan cepatnya cuaca kini berubah mendung, terdengar lengkingan petir dan butiran air perlahan mulai berjatuhan dari langit, sepertinya akan segera turun hujan. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang lelaki memakai jaket biru tua dan celana cingkrang coklat berlari ke arahku, wajahnya menyiratkan kebingungan, kedua telapak tangannya di letakkan di atas kepalanya seperti menghindari gerimis. lelaki itu pun tiba di hadapanku. Ia tersenyum padaku, alisnya tebal dan tak beraturan, kulitnya sawo matang, nampak pula kumis tipisnya.

" Permisi mas, tau alamat ini tidak?" Tanya lelaki tersebut sembari menyodorkan selembar kertas berisikan alamat sebuah tempat. Aku meraih kertas tersebut dan mencermatinya secara saksama. 

" Ini sih tempatnya lumayan jauh, kalau naik ojek tunjukan saja alamat ini pasti di antar ke sana. " Jelasku sambil mengembalikan kertas tersebut, Lelaki itu meraihnya dan sedikit megangguk, wajahnya nampak bingung dan sedikit kelelahan, ia pun kembali bertanya

" Di bagian mana itu yah mas? "

Keningku mengerut, aku memperhatikan lelaki tersebut, nampaknya dia benar-benar buta dengan alamat itu

" Tempat ini berada di dekat pasar hanya saja lebih jauh lagi kira-kira 3 km dari pasar tepat di muka jalan ada sebuah hotel kecil Marlynn di sebelahnya ada jalan masuk permukiman tanyakan saja pada orang-orang di sekitar situ."  Jawabku menjelaskan.

Lelaki itu menganggung-angguk sekali lagi sambil memperhatikan kertas alamat yang di pegangnya.

" Kamu ingin kesana? " Tanyaku penasaran

" Iya mas " Jawab lelaki itu sambil tersenyum.

" Mau naik bus atau angkot? " Tanyaku lagi

" Tidak, saya jalan kaki saja. " Jawabnya

Aku menatap terkejut lelaki itu. Jalan kaki? Bukannya sudah ku katakan alamat tersebut lumayan jauh apalagi di tempuh dengan jalan kaki.

" Alamatnya lumayan jauh loh, apalagi gerimis begini takutnya nanti malah hujan. Naik bus saja saya juga lagi menunggu bus. Ucapku menyarankan

takutnya nanti malah hujan. Naik bus saja saya juga lagi menunggu bus. " Ucapku menyarankan

Lelaki itu tersenyum tipis lalu memperhatikan jalan, di simpannya alamat tersebut di balik saku jaket miliknya yang warnanya sedikit memudar.

" Berapa yah ongkosnya kalau naik angkot kesana? " Tanyanya, kini tatapannya beralih padaku.

" Kira-kira dua puluh ribu. " Jawabku semampuku. Lelaki itu kembali menatap ke jalan, ia diam seperti memikirkan sesuatu.

" Saya jalan kaki saja, makasih mas bantuannya. " Ucap lelaki tersebut sambil tersenyum padaku, ia pun bergegas memakai topi jaket miliknya di kepalanya yang sedikit menunduk, kedua telapak tangannya di letakan pada saku jaketnya, ia pun berjalan sedikit tergesa menelusuri trotoar jalan.

Aku memperhatikan lelaki tersebut dari balik punggungnya, sedikit mengherankan jika harus berjalan kaki menuju tempat yang lumayan jauh di tengah gerimis yang mungkin sebentar lagi menjelma menjadi hujan deras tapi sepertinya aku mengerti mengapa lelaki tersebut memutuskan berjalan kaki. Aku tersenyum getir,  bayangannya kini semakin kecil di pandanganku, ku alihkan pandanganku lalu kemudian kembali menutup mata sembari menunggu bus tiba, tak berapa lama kemudian apa yang ku perkirakan terjadi, hujan pun turun dengan lebatnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GELANDAGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang