Penutup

7 1 0
                                    

Juli, 2020.

Saat itu pandemi sudah berlangsung setidaknya 4 bulan, orang-orang mulai menyadari bahwa pandemi tak akan cepat berakhir, termasuk aku. Awalnya aku pikir pandemi ini tidak akan menyusahkan aku, toh aku ini seorang introvert, penyendiri malah. Tapi setelah hari demi hari terkurung di rumah dalam kejenuhan dan ketidakpastian, kesendirian yang tadinya adalah teman perlahan-lahan mengkhianatiku. 

Kosong. Bukannya aku punya hidup yang sangat mengagumkan sebelum pandemi, tidak juga, aku dan hidupku selalu biasa-biasa saja. Tapi pandemi yang berkepanjangan seperti menggerogoti sedikit semangat yang tersisa di jiwaku, aku ditinggalkan dalam kekosongan, kehampaan, aku tidak terluka tapi rasanya sesuatu dalam diriku menderita.

Mungkin karena itu kuputuskan untuk menuliskannya dalam rangkaian kata. Agar pikiran dan kalimat-kalimat yang berterbangan di kepalaku bisa bebas, tertuang dalam hitam di atas putih—atau putih di atas hitam kalau kamu menggunakan mode gelap—dan dengan begitu, buku ini pun terlahir.

Karena berbagai alasan buku ini terhenti di tengah jalan. Karena berbagai alasan aku mengingatnya kembali dua tahun kemudian. Semua tulisan di buku ini ditulis pada rentang Juli-Agustus 2020, aku yang ada di 2023 (selamat tahun baru semuanya!) sejujurnya agak malu membaca tulisan lamaku. Tapi kupikir sayang kalau buku ini tidak ditamatkan. 

Untuk kamu dan aku yang masih malu dalam berkarya, jangan khawatir, lakukan saja! Malu lebih baik daripada sesal, dan kalau kamu tidak pernah memulai, kamu tidak akan pernah berhasil. 

Untuk kamu yang hanya membaca satu atau dua bagian buku ini, terima kasih!

Untuk kamu yang meninggalkan jejak sebelum menutup cerita, terima kasih!

Untuk kamu yang membaca sampai akhir, dari hatiku terdalam aku sangat berterima kasih.

Sampai jumpa lain kali! 


Lalu untuk yang terakhir kalinya:

Salam sayang,
Hennelore


Januari, 2023

The Dark, it Keeps Following MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang