Happy reading!
"Katanya setiap hal di dunia ini selalu punya konsekuensi? Ketika kita salah dan mendapat hukuman, itu wajar. Tapi bagaimana kalau kita tak melakukan apapun tapi dijadikan korban? Dunia seolah berhasil merenggut apa yang kita punya. Kehidupan mencurangi kita. Lalu, konsekuensi mana yang dimaksudkan?"
—Deva Grahadika
.
.
.
.
.
Selepas upacara bendera terdengar pengumuman bahwa guru-guru akan langsung mengadakan rapat sehingga suara sorak sorai pun memenuhi ruang kelas SMA Dharmawangsa. Semua wali kelas sebetulnya telah memberitahu ketua di kelas masing-masing agar tetap tertib mengingat rapat akan berjalan lama, tak seperti biasanya.Kabarnya juga, nasib seorang siswa akan ditentukan dalam rapat kali ini. Para guru makin hari makin dibuat resah dengan satu anak yang dijuluki si anak bandel itu.
"Kita harus segera bertindak. Tidak bisa seperti ini terus. Dia membawa pengaruh buruk, Pak Joko."
Penuturan satu guru wanita itu membuat Evy—siswi dari kelas XII-IPA 1 pun mendengus sebal ketika menguping dari balik pintu ruang guru. Ia memang sengaja memantau untuk mengetahui perkembangan kasus si anak bandel yang sedang guru-gurunya bahas.
Pak Joko selaku kepala sekolah pun membalas seruan Bu Andini—si guru wanita paling galak di SMA Dharmawangsa yang memiliki banyak musuh. Perawakan Bu Andini yang besar tinggi dengan raut muka garang membuat beliau ditakuti seluruh siswa. Tentu saja kecuali si anak bandel yang sering berseteru dengannya. Benar-benar tak ada takutnya pada guru wanita tersebut.
"Iya, Bu. Anda benar. Tapi bukankah dia tidak pernah membuat onar disini? Dia hanya minum untuk diri dia sendiri, kan? Apalagi dari yang saya dengar, dia tidak punya teman. Jadi kecil kemungkinan untuk dia dapat menyebarkan kebiasaannya," balas Pak Joko.
Derap kaki nyaris tak terdengar berhasil mengejutkan Evy hingga hampir saja berteriak. "Ih, Pak Klimis! Kaget, tau!" gerutunya dengan berbisik, jangan sampai ada guru yang tahu bahwa dia sedang menguping.
"Hayooo, nguping ya pasti?" tebak Pak Klimis tepat sasaran. Laki-laki dengan seragam satpam tersebut memang akrab dengan Evy karena sebagai anak OSIS dan siswa aktif, dia sering meminta bantuan Pak Klimis untuk diantar membeli keperluan-keperluan OSIS karena tak mau merecoki tugas teman-teman seorganisasinya yang lain.
"Kenapa sih si anak bandel bikin Neng Evy tertarik? Kenapa bukan Pak Klimis?" ujar beliau dramatis.
Evy langsung menyorot tajam, bercandaan Pak Klimis sama sekali tidak lucu untuk saat-saat seperti ini. Tapi tumben-tumbenan Pak Klimis tidak menggunakan pantun untuk menggoda Evy.
Sadar akan tatapan gadis di sebelahnya yang tak bisa diajak bercanda, Pak Klimis pun meringis kaku. "Bercanda atuh, Neng. Pak Klimis teu orangnya setia pisan. Cintanya hanya untuk Nyonya Klimis seorang."
Pak Klimis memang tidak memiliki anak meski pernikahannya sudah berjalan hampir dua puluh tahun. Evy, yang bisa dibilang dekat dengannya pun sudah seperti anaknya sendiri. Menurut Pak Klimis, Evy adalah gadis pintar yang penuh semangat dan tak suka neko-neko. Gadis itu menyukai akan puisi-puisi dan sajak serta novel maupun bacaan-bacaan yang berkaitan dengan cinta. Juga sangat menjaga sopan santunnya. Itu sebabnya Pak Klimis mudah mengakrabkan diri dengan Evy.
Tentu saja Pak Klimis masih sangat ingat ketika pertama kali Evy menyebutkan nama si anak bandel yang menjadi pusat perhatian gadis itu karena suatu hal. Setiap hari hanyalah satu nama itu yang diceritakan Evy tiap pagi ketika datang ke sekolah dan duduk-duduk di teras pos satpam. Begini, begitu, hampir seperti curhat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DRIED LEAVES [On Going]
Teen FictionDeva Grahadika. Dia bukan tukang rusuh. Dia juga tidak suka membuat onar. Tapi, dia selalu berurusan dengan guru BK. Karena tak ada yang mengharapkan apapun dari dirinya dalam hidup, ia merasa tidak punya keperluan untuk peduli dengan sekitar. Seora...