4• Benang Merah

106 22 170
                                    

Happy Reading!

"Dia rapuh. Dia sedih. Dia kesakitan. Tapi hebatnya, dia masih tetap tersenyum. Sepertinya memang dia sudah belajar sebegitu baiknya tentang arti syukur, tak sepertiku."

—Deva Grahadika

.
.
.
.
.
Dua remaja berseragam sekolah itu berhenti di salah satu rumah. Suara heboh seorang wanita yang akrab Deva sapa Tante Delia menyambut mereka. "DEVAAAAA? AKHIRNYA KESINIII...!"

"Ma, kalau Septa pulang kenapa nggak seheboh itu sih?" sahut sepupu Deva yang tak lain adalah anak seangkatannya juga. Satu sekolah pula. Anak kelas XII-IPS 4. Namanya Septa.

Evy yang belum dapat menguasai diri sepenuhnya pun hanya diam menatap kosong. Septa sedikit kaget melihat ada teman OSIS nya disini, datang bersama Deva lagi. Jarang-jarang sepupunya itu bersama seorang gadis.

"Vy? Ngapain?" tanyanya kemudian mendekat. Mengulurkan tangan ke Evy dan gadis itu membalas sekenanya. "Kalian pacaran?"

Pertanyaan tanpa sungkan yang dilontarkan oleh Septa membuat Deva menyorot tajam. Delia, ibu Septa kemudian memilih untuk menjadi penengah. "Halo cantik, saya Delia ibunya Septa. Ayo, ayo, masuk."

Evy pasrah ketika jabatan tangan Delia membawanya masuk ke dalam tanpa dilepas. Sebenarnya, ia juga terkejut karena selama ini tidak tahu-menahu soal Septa dan Deva yang ternyata adalah sepupu. Satu fakta lagi luput dari observasinya.
"Saya Evy, Tante. Teman OSIS nya Septa juga."

"Oh, iya iya. Duduk... Bi? Bi Inem?" panggil Delia kemudian. Ketika pembantu rumah tangganya itu datang, ibu dua anak itu memesan minuman. "Tolong siapin sirup yang baru aja dibawa Tuan Hario dari Swiss ya?"

"Siap, Nyonya."

Deva melihat sekeliling. Tampak tak ada siapapun. "Om Hario kemana, Tan?"

"Tidur. Kecapekan dia, Dev. Jauh-jauh ke Swiss cuman buat rapat. Beli oleh-oleh aja itu nyempetin katanya," balas Delia dan menyusul duduk. "Kamu kan disuruh malam kesininya, sekalian kita bisa makan malam bareng. Kalau sekarang kan Raina juga masih les, Dev. Padahal dia pengen banget ketemu kamu."

Deva hanya diam dengan raut datar seperti biasa. Secara tak sengaja pandangannya bertemu dengan Septa. Tentu Septa sudah lebih dari tahu bahwa Deva menghindari semua itu karena tak ingin berada dalam sebuah keluarga yang justru akan mengingatkan bahwa dirinya sangat menyedihkan.

"Mama apaan sih, yaudah kali biarin. Dia maunya kesini sekarang. Lagian gampang kali kalau Raina mau ketemu, ntar Septa tinggal ajak dia aja ke rumah Deva. Kan, Septa abang yang baik," sahut Septa. Tatapannya kemudian tertuju pada Evy yang hanya diam. Tak seperti Evy yang selama ini dia tahu. "Vy, diam aja? Kenapa sih? Sakit perut?" tanyanya jayus, ciri khas seorang Septa.

Evy menggeleng dengan tersenyum kecil. "Nggak kok, Sep. Nggak apa."

Sejak tadi Deva sudah menyimpan satu dugaan di kepalanya. Gelagat Evy sangat bisa terbaca olehnya. Tapi cowok itu memilih menunggu waktu yang tepat untuk bertanya. Kali ini ia membiarkan dulu Evy dengan pikirannya. Gadis di sebelahnya itu kemudian beranjak dengan mengambil ponsel dari dalam tas.

"Permisi, mau nelpon Ibuk, Tante. Pamit kalau pulang telat," ujarnya. "Oh iya, maaf, kamar mandi dimana ya, Tante?"

"Kamu lurus aja ke belakang. Di dekat tangga ada pintu, itu kamar mandi."

Entah Evy mengatakannya dengan sadar atau tidak, tapi Deva malah semakin yakin ada sesuatu dengan gadis itu. Jelas-jelas tadi ketika sampai dia sudah menelepon ibunya, alasannya pada Delia kali ini terdengar hanya alibi untuk Deva.

DRIED LEAVES [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang