Happy reading!
"Aku takut kehilangan sesuatu yang sebetulnya tak pernah jadi milikku. Tapi aku malah membukakan jalan untuknya menghilang. Hidupku yang sudah sepi, terasa makin tak berarti setelah dia pergi."
—Deva Grahadika
.
.
.
.
.
Pagi ini, Yessy memperhatikan putrinya yang lebih banyak diam. Bahkan, nasi yang ia ambilkan tak disentuh sama sekali. Kemarin Evy memang sudah begitu raut mukanya di pagi hari, tapi masih mau makan. Tidak seperti sekarang. Yessy menghela pelan kemudian mendekatkan bangkunya ke Evy. Tangannya membelai halus rambut panjang anak gadisnya."Kalau ada masalah itu cerita. Jangan di pendam sendiri," ujar Yessy pelan.
"Nggak ada apa-apa kok, Buk."
Evy langsung mengambil tasnya dan berjalan ke depan. Langkahnya terhenti ketika pintu utama diketuk. Matanya langsung terbelalak, terkejut dengan napas yang tercekat. Ia benar-benar takut karena mengira itu mungkin adalah Yanuar. Yessy yang menyusul ke depan sedikit tertegun ketika melihat Evy hanya diam mematung tanpa membukakan pintu. "Kok nggak dibukain sih, Vy?"
Ketika Yessy berjalan menuju pintu, Evy mundur beberapa langkah. Tangannya mencari pegangan karena keseimbangan tubuhnya mulai hilang. Salah satu tangannya berpegangan pada lemari berisi perabot. Matanya masih menatap lurus ke depan. Saat daun pintu terbuka dan menampakkan seseorang dengan seragam sekolah, Evy langsung melega dan berlari cepat menujunya. Memeluk Rowena saat itu juga.
Tubuh Rowena sedikit terpental ke belakang karena Evy yang menghambur ke pelukannya tiba-tiba. Tapi sesaat setelah itu, ia membalas pelukan Evy. Semalam Evy telah menceritakan semua padanya lewat telepon. Itu sebabnya ia datang sekarang. Cukup lama mereka berpelukan, sampai-sampai Rowena menyadari bahwa Yessy menatap penuh tanya. Segera ia melepaskan pelukan Evy.
"Saya sama Evy mau berangkat bareng, Tante," ujarnya dan langsung menjabat tangan Yessy. Disitu Evy ikut menyusul bersalaman.
Karena dalam mobil ada sopir pribadi keluarga Rowena, dua gadis itu jadi tak bisa membahas soal masalah Evy. Mereka hanya saling diam. Tepatnya Evy yang terus membisu, tak berkata apa-apa jika Rowena tidak bertanya. Ia terus memikirkan malam ini. Hari yang ditunggu-tunggu Yanuar tapi sangat ia benci.
Setelah mobil van itu berhenti di depan gerbang SMA Dharmawangsa, Rowena ikut keluar menyusul Evy. Lagipula masih pagi, dan Winston International High School tak begitu jauh dari sana.
"Vy, lo nggak akan pergi malam ini, kan?" tanya Rowena mengawali pembicaraan.
"Gue nggak punya pilihan, Ro. Dia tau yang mecahin kaca kantornya itu gue sama temen-temen gue. Bisa aja dia punya CCTV dari kantor atau kamera jalan, kan?"
Rowena menghela pelan dengan tangan yang terkepal. "Vy, lo harus laporin dia ke polisi! Oke, lo emang nggak punya bukti. Kita akan cari solusinya. Gue bakal minta Tama—"
"NGGAK!" sentak Evy menyambar kalimat Rowena. "Gue nggak mau Tama tau. Apa bedanya? Kalaupun dia tau dia nggak akan peduli! Lo lupa, dia pernah bilang kalau gue bukan sahabatnya lagi?"
"Tapi, Vy. Orang itu nggak bisa dibiarin. Gue bahkan nggak tau lagi gimana nyebutnya. Dia itu paman macam apa sih, ha? Gimana bisa dia kayak gitu sama keponakannya sendiri. Itu orang udah gila, Vy!""
KAMU SEDANG MEMBACA
DRIED LEAVES [On Going]
Genç KurguDeva Grahadika. Dia bukan tukang rusuh. Dia juga tidak suka membuat onar. Tapi, dia selalu berurusan dengan guru BK. Karena tak ada yang mengharapkan apapun dari dirinya dalam hidup, ia merasa tidak punya keperluan untuk peduli dengan sekitar. Seora...