Prolog - Senja Penuh Cerita

7 1 0
                                    

Ria memandang jalanan yang memadat dengan nanar. Kumpulan deru motor saling bersaut-sautan seakan tak mau kalah dengan isi kepala cewek berpipi bulat yang mulai kalut. Kepulan asap yang dihasilkan dari motor-motor tersebut kerap kali membuatnya terbatuk-batuk. Beberapa kali ia mengamati satu persatu kendaraan yang melintas sambil berharap angkot berwarna biru yang akan mengantar ke tujuannya itu muncul.

Siang ini Kale, pacarnya tiba-tiba menelepon dan memintanya untuk bertemu di kafe yang tidak pernah lupa mereka datangi ketika berjalan-jalan bersama. Ria yang saat itu masih terisak dan menenggelamkan diri di bantal kesayangannya terbelalak sekaligus cemas. Ya, dirinya sangat takut pada akhirnya berpisah merupakan ujung dari hubungannya. Perpisahan itu menakutkan. Perpisahan itu derita. Perpisahan itu adalah akhir dari pertemuan mereka yang tidak bisa dibilang singkat.

Beberapa hari sebelumnya atau lebih tepatnya sepanjang mereka berdua bersama, dirinya selalu saja membuat masalah dan sering kali memaksa Kale untuk menyelesaikan semuanya dengan dewasa dan jemawa. Namun, kemarin lusa merupakan puncaknya. Kale mengaku lelah menghadapi segala tindak tanduk diri cewek tersebut yang kekanakan. Hingga pada akhirnya, cowok tersebut terpaksa mengambil keputusan untuk membuat Ria dapat berpikir dahulu dengan memutus komunikasi dengannya selama sehari.

"Ri, boleh ketemu kamu? Di tempat biasa ya," suara dari seberang telepon memulai obrolan. Suara yang sangat ia rindukan sekaligus dikhawatirkan olehnya seharian ini.

Ria menahan tangisnya tidak pecah lagi. Ia menyumbat hidungnya dengan tangan agar Kale tak mendengar suara hidungnya yang berair. "Iya," jawabnya lirih dan telepon pun dimatikan sepihak oleh cewek itu.

Dan di sinilah ia berakhir setelah berhasil menyetop satu angkot yang syukurnya ia temukan di tengah keramaian. Cewek itu memainkan kukunya dengan gelisah. Ketakutan akan kehilangan itu tak pernah berujung. Dirinya berasumsi kejadian apa yang akan ia hadapi nanti? Apa yang harus ia katakan kepada cowok yang telah menjadi sandarannya setelah sekian lama?

Berulang kali Ria menyalahkan dirinya sendiri sekaligus bertanya-tanya mengapa cowok tersebut tidak mengantarnya dan malah membiarkan cewek itu sendirian di kendaraan yang melaju terseok-seok seperti ini namun berujung mengumpati diri sendiri untuk pertanyaan bodoh macam itu. Cewek itu terbiasa dimanja, baik fasilitas maupun pemikiran. Fasilitas dari orang tuanya kadang membuatnya sulit untuk bersyukur dan pemikiran yang sebagian besar didapat dari Kale yang menjadikannya malas berpikir, sulit untuk membuat keputusan dan segala kekurangan yang ia punya itu. Ria tersungkur dalam realita yang terus menariknya tanpa ampun. Realita bahwa selama ia menjalin hubungan dengan Kale sering membuat dirinya berpikir cowok tersebut tidak bahagia bersama dengannya.

Angkot tersebut berjalan dengan lambat seolah-olah tahu bahwa salah seorang penumpangnya tidak ingin cepat-cepat sampai di tujuan. Matahari yang perlahan turun dari cakrawala seakan mendukung suasana. Senja menuju malam memang menjadi waktu yang sempurna untuk mengakhiri hari termasuk mengakhiri hubungan. Debu-debu jalanan yang mulai menempel di wajah mulusnya seolah berteriak padanya, sudahlah untuk apa berias dan menutupi bengkak di matamu jika setelah ini kamu akan menangis lagi.

"Ikhlaskan dan lepaskan, Le. Untuk apa kamu memelihara parasit seperti aku," Ria menggumam pahit dalam hati sesaat setelah turun dan menyerahkan pecahan dua ribuan ke sopir angkot. Pandang matanya membeku saat menatap motor ninja hitam yang telah terparkir dengan cantiknya di depan kafe. Air mata yang mati-matian ia tahan di dalam angkot kembali menetes sebagai bukti ketidaksiapannya dengan kemungkinan yang akan ia hadapi. Namun, segera ia elap dengan cepat. Dirinya tidak ingin terlihat menyedihkan di depan cowok itu. 

Semakin kecil jarak yang ia buat antara cewek itu dengan Kale yang tengah duduk di tengah kafe dengan kepala tertunduk, semakin berat langkahnya seakan ada bongkahan batu yang menahannya ke sana. Hingga jarak yang ia buat dengan cowok itu semakin tipis seperti alarm bagi Ria bahwa hubungannya hari ini juga setipis dan serapuh jarak yang telah ia ciptakan ini.

"Hai, Le. Apa kabar?"

Dan temaramnya lampu kafe pun menjadi saksi pertemuan penuh emosi mereka kali ini.

Titik Tanpa JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang