1

23 3 6
                                    

Aku bersembunyi disebuah tempat paling sunyi, tempat tanpa cahaya. Tempat yang sejatinya bukan tempat yang layak untuk menghabiskan masa tua. Pilihan ini semata demi menyelamatkan manusia dari kesunyian yang menyayat hati.
Diriku mengandung zoonosis mematikan yang bisa menular kepada siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Demi misi sosial, biarlah sunyi,aku dan sebangsaku yang menikmati.

Dimensi gelap,sunyi,dan dingin merupakan cara terbaik mengisolasi diri. Itulah sumbangsihku menjaga kesinambungan roda kehidupan. Tahukah kamu bulu hitam dikulitku akibat sebaran hormon yang tidak stabil? Ribuan zoonosis itulah yang mengacaukan sebaran hormon ditubuhku.

Dahulu nenek moyangku memang meminta Tuhan agar sebangsaku dilahirkan dalam keadaan buruk rupa. Rupa yang menyeramkan,menjijikan. Rupa yang membuat merinding. Ia juga meminta  kepada Tuhan agar keturunannya kelak dilahirkan dalam keadaan tidak sempurna penglihatannya agar mereka tidak terbebani dengan nasibnya sendiri. Permintaannya kepada Tuhan bukan tanpa alasan. Sebagai bagian dari darah dan dagingnya,tentu ia akan mewariskan ribuan penyakit yang bertakhta di sepanjang aliran darahnya.

Tuhan bermurah hati, keturunannya terlahir sesuai yang ia inginkan: bermata hitam, bulu kulit hitam, bermoncong, dan bertaring. Mungkin doanya terkabul sebagai balasan karena sebangsanya sudah bersedia menanggung titipan ribuan penyakit dari-Nya.

Ketika Kookie, adikku lahir aku ajak ia ketempat paling gelap dan sunyi. Tempat yang tidak mungkin terjamah tangan siapapun. Aku ajari dia mempertajam ekolokasi. Mendengar dan mengeluarkan pantulan bunyi sebagai alat navigasi. Bukankan anak siapapun meskipun bukan sebangsa apabila diasuh dengan cara kita, maka ia akan hidup seperti kita, semua hanya butuh pembiasaan.
Aku ajari dia cara hidup tak normal. Mencari makan diwaktu malam, istirahat diwaktu siang. Sepasang sayap tipis yang dihadiahi Tuhan sangat membantu kita terbang dikesunyian malam. Apabila matahari telah memunculkan cahayanya disitulah sepasang sayap tipis ini berubah sebagai pelindung diri. Kami istirahat. Kami bergelantungan membungkus diri, sepasang mata yang sudah terbiasa dengan kegelapan, terlalu silau dan perih menatap cahaya.

Malam jatuh tanpa sepotong bulan. Kepakan sayap terbang diantara ranting daun daun tampak basah. Disebuah gang sempit aku dan adikku melesat berburu serangga kecil, tapi sebenarnya kami lebih suka makan buah-buahan, dedaunan dan nektar sambil lalu menatap bintang yang menggantung di angkasa.
Tahukah engkau melihat dunia dari sisi berbeda membuat banyak hal tercipta. Seperti nama codot atau kampret yang disematkan kepada kami, ternyata diberikan juga pada manusia-manusia yang terbelalak mengais rezeki disepanjang jalan, malam nan kelam dan sunyi. Bedanya kami terbang sedangkan manusia -manusia itu merayap diantara tembok dan pagar tetangga.
"Apa mereka saingan kita?" Tanya Kookie
"Tidak dik, mereka tidak suka makanan kita,"tukasku
"Lantas mengapa mereka mencari makan dimalam hari juga?"
"Mereka hanya kurang beruntung, menempel, mengais bahkan merampas hak orang lain."
"Apakah kita juga seperti mereka?"
Aku tercekat sebentar. Berpikir memberikan jawaban yang benar. Aku tak bisa pungkiri betapa mereka dipanggil kampret karena bertingkah laku seperti kami. Tetapi kami lebih terhormat dibanding mereka, apa yang kami lalukan semata hanya siklus rantai makanan. Menjaga keseimbangan proses kehidupan.
Adikku Kookie menatap tajam menunggu jawaban, akhirnya aku ceritakan apa yang pernah bangsaku minta kepada Tuhan.

...

Jalan Sunyi Menuju MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang