2

10 3 0
                                    

Aku terbaring lemas disudut pasar. Golok dan pisau bergantian berayun diatas talenan. Mencabik, mencincang, dan mengiris daging dengan berbagai ukuran, sesekali golok itu dibilas dengan air dalam drum besar. Anyir darah menyeruak tajam.
Entah bagaimana aku bisa sampai ke tempat ini, sekawananku yang lain juga tampak disini. Ada ular yang mendesis dalam goni, jangkrik yang melompat-lompat panik dalam plastik, ada kodok yang menatap pasrah, ada tikus yang menggigit jeruji besi, anak koala yang cemas, rubah yang teronggok mati, buaya yang dikuliti, ada juga babi yang terlihat hangus dan salakan anak anjing yang menuyedihkan.
Adikku! dimana adikku?
Aku memberontak sekuat tenaga,namun balok kawat yang mengurungku terlalu kuat untuk dipatahkan. Percakapan antar pedagang dan pembeli yang memuakkan aku coba runcingkan pendengaran mencari setitik suara yang aku kenal. Gagal! Suara adikku tak terdengar. Hanya gemuruh suara laba-laba yang masuk penggorengan.
Adikku! Dimana adikku?  Aku mendesis geram kekuatan sudah tak sebanding dengan kepanikan. Sepasang tangan terbungkus sarung karet memindahkanku dalam balok kaca yang berukuran lebih kecil. Balok kaca yang disodorkan oleh dua lelaki didepannya. Aku hanya bisa menatap geram.
Dua lelaki itu membawaku keluar pasar, meraka terus berjalan bercakap-cakap dengan bahasa yang tak aku mengerti. Aku memberontak didalam balok kawat, sekujur tubuhku perih karena luka-luka. Virus-virus yang bersarang dalam tubuhku mulai menemukan ruang terbuka. Berhamburan tanpa jeda.
Adikku! Dimana adikkku?
...

Jalan Sunyi Menuju MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang