Bulan memendek di balik punggung kita, sementara pada satu titik di hadapan, jarak menjelma penanti. Serupa denyut di leher, detak detik itu tak menjeda.
Dalam gegasnya celah pada ruang bertandang, resah turut serta. Pun gelisah atas masa milik kita yang bergulir ke penghabisan.
Ada umpatanmu kepada runyamnya bumi, yang kutahu terlontar sebab sang runyam menghadirkan satu konkret, bahwa ia telah merupa aral; mencegat suanya kita dalam rengkuh.
Sementara janji renjana adalah pasti, kan menggebuk kita hingga babur, walau tak berujung jera pun reda. Lalu sekali lagi lidah-lidah meludahkan umpat.
Lantas kita kembali meringkuk di sudut asa yang sekarat. Sebab setelah tenggat telah memeluk, kau dan aku sama-sama tahu, yang menanti seusai detik bernyanyi di purnama baru, ialah sebuah tanda tanya tak berjawab perihal masa esok yang buram pula suram.
Maka kau membasuh lidah, mengajakku turut serta. Lalu katamu, "Mari kita merayu Langit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hening yang Kita Teriakkan [Kumpulan Puisi]
PoetryPerihal suara-suara di kepalaku yang menyahuti suara-suara dalam kepalamu.