3. Should Be Me and You

11 2 2
                                    


"Violet!" Nana berteriak cukup keras dari ujung telpon sana.

"Hai." aku berucap pelan, sambil mengelus telingaku yang berdenging karena teriakan Nana.

"Kenapa kau baru menelpon sekarang? Kemana saja dua hari ini?" Nana mulai mencerca dengan berbagai pertanyaan.

"Maaf, aku lupa." aku memasang wajah bersalah seakan Nana ada di depanku.

"Lupa? Tega sekali kau melupakanku hanya karena terlalu asyik liburan seorang diri." ia berucap dengan nada sedih yang dibuat-buat, aku hanya tertawa mendengar keluhannya. "Aku dan Mark khawatir." perkataan Nana meredam tawaku, terganti dengan ucapan maaf lagi.

"Maaf menelpon malam-malam."

"Tidak masalah. Lagipula aku baru saja pulang setelah jalan-jalan dengan Mark."

"Lain kali, kita harus pergi liburan ke New Zealand bersama."

"Apa di sana menyenangkan?" Nana bertanya dengan antusias, ia sangat suka yang namanya liburan.

"Tentu. Kemarin aku mencoba cable car, lalu mengunjungi museum dan... oh! aku kemarin mengunjungi tempat syuting The Hobbit."

"Wah, benarkah?" ia memekik girang. "Kau punya fotonya? Kirimkan padaku." pintanya. Ia penggemar berat film The Hobbit.

"Tentu, akan aku kirim setelah ini."

"Kau berpergian sendiri? Vi, dengar, kau harus hati-hati, itu luar negeri, sangat luas, hati-hati tersesat, kau itukan buta arah. Oh, dan lagi..."

"Aku pergi bersama seorang teman." potongku cepat, sebelum Nana benar-benar mengeluarkan semua petuah nasihatnya.

"Teman?" Nana memasang nada penuh curiga. "Seorang laki-laki?" godanya, lalu terdengar tawa menyebalkan Nana.

Aku memutar bola mataku malas. Aku hanya mengiyakan perkataannya dan memintanya berhenti tertawa cekikikan seperti sekarang.

"Cepat sekali move on." ia masih saja melemparkan godaannya.

"Ia benar-benar hanya teman saja, teman yang baru dikenal." aku benar-benar merengek, memintanya untuk berhenti membahas hal itu.

"Baiklah." ia berhenti tapi tetap tertawa. "Di sana sudah pagi, kan? Sudah sarapan?"

"Sebentar lagi aku akan keluar mencari sarapan."

"Baiklah. Boleh aku tutup telponnya sekarang, aku sudah mengantuk."

"Tentu. Sampaikan salam ku pada Mark. Good night, Nana."

"Bye."

Setelah menelpon Nana, aku mencari foto tempat syuting film The Hobbit yang aku janjikan padanya dan mengirimkannya.

.
.
.

Aku memilih restoran kecil di depan penginapan. Saat memasuki restoran itu, entah kebetulan atau apa, Daniel yang juga tengah duduk di salah satu meja melambai padaku dan meminta untuk bergabung dengannya.

"Kebetulan sekali." ujarku sembari menarik kursi di depan Daniel, lalu memesan sandwich tuna pada pelayan yang menghampiri kami.

"Tidak." ia meminum kopinya sejenak, lalu melanjutkan perkataannya, "ini mungkin takdir." ia mengerling jahil.

Aku memutar bola mata dengan malas, "Daniel, please, tidak lucu."

"Kenapa? Kita selalu bertemu, apalagi kalau bukan takdir namanya." ia tetap bersikeras.

Holiday To RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang