Awal

50 7 3
                                    

Gemericik air kran di wastafel menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan. Kubiarkan saja mereka menggenang begitu saja sementara aku menatap bayanganku yang terpantul di cermin.


Pandanganku kosong.


Aku tak bisa merasakan apa-apa saat ini. Semua kejadian datang begitu saja tanpa pertanda, bahkan aku hanya bisa menyadari itu ketika semua sudah terlambat. Tanpa sadar, pandanganku tertuju pada noda tanah di kaos putih yang kukenakan.


"Sial!"


Aku bergidik melihat noda itu, mengingatkanku akan tragedi mengerikan yang terjadi siang ini. Segera saja, kulepas dan kulempar kaos itu ke dalam tempat sampah di sudut kamar mandi. Selanjutnya, kutadahkan tanganku mengambil air dan membasuh wajahku dengan harapan mendapatkan ketenangan setelahnya.


Namun, semua sia-sia. Aku masih tetap mengingat kejadian mengerikan itu.


Kutatap kembali wajahku, melihat tetesan air yang jatuh dari rambut hitam kelamku sembari mengingat bagaimana tragedi itu terjadi.


Perasaan aneh itu mendadak muncul, seolah menyuruhku untuk menatap ke atas sebuah gedung lantai dua yang merupakan supermarket di kotaku. Dari atas, sesosok manusia meluncur dengan cepat dan berakhir dengan suara yang cukup keras.


Seketika, keributan terjadi saat orang-orang mulai berlarian menuju lokasi jatuhnya sosok tersebut.


"Bunuh diri! Bunuh diri!" Seseorang berteriak.


Namun, pandanganku justru tertuju ke atas gedung tersebut. Di sana, sesosok manusia yang memiliki sayap kelelawar terbentang menatap ke bawah—ke sosok yang baru saja jatuh. Entah kenapa, aku merasakan ada perasaan akrab dengan makhluk itu.


Dan juga, aku juga tidak merasa takut sama sekali.


"Hey! Ada apa?" Suara seseorang bertanya tepat di sampingku.


Ketika  aku menolehkan pandangan, kutemukan sosok pemuda berkacamata yang juga melihat ke arah sosok aneh itu. Hanya saja, pandangan pemuda itu tampak biasa saja dan justru menatapku kebingungan.


"Apa dia tidak bisa melihat makhluk itu?" Aku berpikir sembari melihat kembali makhluk itu.


Dia masih disana, namun Rivan—pemuda berkacamata di sampingku—tampaknya tidak bisa melihat sosok itu. Akan tetapi, kenapa aku bisa melihatnya?


Seolah menyadari tatapanku, makhluk itu menatap balik ke arahku. Di wajahnya yang menyerupai kelelawar, taring besar mencuat dari bibir atasnya layaknya taring smilodon. Kedua mata merahnya memiliki sebuah kobaran api hitam di bagian bola matanya yang terlihat jelas.

EclipseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang