Peluk yang ku rindukan - Julian

62 0 0
                                    

setiap keluhan yang selalu diredam habis oleh pembelaan. Lagi lagi disini aku yang merasa disalahkan.

"aku lelah kalau seperti ini terus. setiap cerita yang ingin aku bangun dengan sempurna selalu saja jadi akhir yang percuma." sudah cukup aku memendam ini semua dari lama, aku ingin menumpahkan segala api amarah yang tertahan didalam sana.

"Ais, gak ada yang sempurna didunia ini. sempurna hanya milik sang maha pencipta. coba kamu tenang dulu, bicarain baik-baik apa yang membuat kamu jadi kesal gini?"

semakin dia berbicara pelan dan lembut, kenapa rasanya ingin dibalas dengan lantang ya?

"setiap hari, setiap waktu kamu selalu bilang mencoba untuk tenang, tenang dan tenaang. aku sudah menahan ini dari lama. mau sampai kapan sih harus terus-terusan kayak gini?"

aku mengacaki rambut penuh emosi, "kenapa? mau cari pembelaan yang gimana lagi? sampai kapan aku harus menahan diri untuk tidak bertindak seperti ini Julian?"

ku dengar helaan nafas cukup dalam dari mulutnya. mungkin laki-laki itu sudah mulai gusar, biarkan saja. aku ingin melihat sejauh mana rasa sabarnya.

dia sudah mulai mengatupkan mulut, aku kembali bersuara. "apa? kamu selalu kayak gini. tidak pernah benar-benar menemukan titik temunya. aku sudah.."

"aku rasa kamu harus diam sebentar... redain.." Julian menelungkupkan kedua tangannya didepanku, menyiratkan maksud seperti tahan-dan-redam-dulu-emosinya.

sebelum sempat dia melanjutkan omongan, sudah ku potong perkataannya, "selesaikan sekarang. kenapa harus diam sih?"

lalu dia mendekat ke arahku perlahan, menarik tubuhku dengan sebelah tangan. aku bisa merasakan secara tiba-tiba dada ini sudah menempel terdekap dengan sangat erat oleh tubuhnya. seketika kehangatan menyelimuti dirimu, peluk hangat yang sudah lama tidak ku rasakan. tanpa sadar air mata menetes jatuh ke pipiku.

sementara ia diam, helaan nafasnya terdengar cukup dekat ditelingaku. ia tidak menyadari bahwa aku sedang menangis. dia memandang ke arah luar jendela, ke langit yang sudah tak lagi biru.

dia mengusap punggungku, berusaha menenangkan keadaan. usap yang selalu dielukan oleh perempuan manapun disaat membutuhkan ketenangan. aku merasa sedikit menyesal telah mengeluarkan emosi dengan keras dihadapannya.

selalu saja penyesalan datang belakangan.

"sudah lebih tenang?" tanyanya setelah waktu sudah berlalu selama sepuluh menit lamanya.

hening, tak ada jawaban sepatah katapun yang berhasil keluar dari mulutku. bisakah peluk yang tadi berlangsung lagi? andai waktu bisa ditahan untuk dijeda, aku tidak mau melanjutkan waktu selama aku bisa didekapnya seperti ini terus.

matanya memandangi wajahku yang masih menggantung didadanya. mataku yang sembap oleh tangisan yang telah ku usap sendiri dipandanginya sesaat.

"kamu nangis?" tanyanya kaget. reflek aku memutar tubuh menghadap ke belakang, malu untuk memperlihatkan wajahku yang basah oleh tangisan.

"aku membuatmu menangis lagi. aku minta maaf Ais..." dia terlihat memohon, sudah pasti wajahnya memelas karena suaranya terdengar sedikit parau ditelingaku.

"aku tidak bermaksud. jujur aku ingin menenangkan kamu... itu saja."

ketika laki-laki itu terus saja memohon, aku menutupi wajahku dengan kedua tangan. nyatanya, aku tidak berhasil menahan tangis. air mata sudah jatuh karenanya, pun berhenti karenanya.

"Ais... kamu bisa meminta apa saja, asal jangan menangis. aku tidak bisa melihat perempuan bersedih, aku merasa gagal jadi laki-laki kalau sampai melukai kamu. Maaf Ais."

berulang kali kata maaf terucap dari bibirnya. kata maaf yang terdengar sangat lembut. dalam hubungan ini entah sudah yang ke berapa kalinya ia meminta maaf padaku.

sebenarnya aku merasa iba kalau dia sudah memohon seperti itu, namun aku hanya tidak suka kalau kata-kataku disanggah olehnya. memang terdengar egois, tapi moodku sedang jelek hari ini aku sedang tidak bisa menahannya. setidaknya dia bisa mengerti perasaan sensitif perempuan.

"kamu mau eskrim, roti coklat atau susu strawberry? atau apa sebutkan saja. kamu mau jalan-jalan keliling kota? atau nonton film? bilang saja apa yang kamu mau." pintanya lagi, dia mengatupkan kedua tangannya dihadapanku.

Julian selalu bisa mencairkan suasana, apalagi keadaan yang sudah terlanjur kaku.

"Kalau aku ganti semua itu dengan satu kali peluk bolehkan?"

tanpa menjawab dia menarik tubuhku erat. mengalungkan kedua tangannya dileherku.
mengecup ujung rambut yang menempel didagunya.
helaan nafas lega terdengar cukup kuat.

aku tahu dia sedang tersenyum meski tak kelihatan. senyum yang menandakan dia menyayangiku sepenuhnya. Julian, maafkan aku sudah membuatmu khawatir.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Short story // Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang