[Thirty Eight]

2.5K 264 34
                                    

Thirty Eight | TBFND

"Kehilangan apa?"

"Hatiku," jawabnya yang membuat pandanganku yang semula berada pada Kathy dan seorang teman perempuannya yang sedang berebut sepiring kue manis beralih pada Harry dengan alis yang terangkat.

Apa yang barusan ia katakan?

Hatinya, ia kehilangan hatinya saat bertemu denganku.

Bukankah itu suatu hal yang menggelikan untuk dikatakan? Atau ia sedang berusaha merayuku? Duh.

Aku bergeming di tempatku selama beberapa saat sebelum ia memecah keheningan itu dengan tertawa hambar.

"Hahaha, lupakan saja. Jadi, aku—" ia berhenti untuk menarik nafas dan aku bisa melihat gelagatnya yang terlihat gugup?

"Aku ingin menemuimu untuk terakhir kalinya—namun bukan karena aku akan mati," lanjutnya sambil mengangkat telapak tangannya ketika ia melihatku membuka mulut untuk menyela di saat ia mengatakan terakhir kali.

"Kau akan pulang dari asrama tahun ini dan aku akan menyelesaikan studiku juga tahun ini, atau mungkin lebih cepat. Aku harus kembali ke Inggris karena orang tuaku menginginkan agar aku mengambil alih perusahaan—yang sebenarnya aku tak mau, tapi, oh, maaf mungkin kau tak ingin tahu tentang hal ini—"

"Kau tak mau mengurus perusahaan keluargamu?" selaku. Mungkin itu kebiasaan burukku yang lain jika penasaran.

Ia menaikkan kedua alisnya. Mungkin merasa heran mengapa aku ingin tahu tentang masalah pribadinya, namun yang sebenarnya, aku hanya ingin tahu bagaimana hidup anak konglomerat itu. Bukankah hidupnya terjamin tanpa harus bersusah payah kesana-kemari untuk mencari pekerjaan? Dan aku yakin ia akan langsung menjadi pimpinan tertinggi sesaat setelah ia lulus dari sini. Kehidupannya hebat bukan? Hanya memangku tangan dan menjadi milyarder. Seharusnya ia merasa beruntung dilahirkan dalam keluarga Styles.

"Bukan, bukannya tidak mau, aku hanya ... entahlah. Mungkin nanti, bukan sekarang. Saat ini yang ingin kulakukan adalah menikmati hidupku, bukannya malah repot-repot mengurusi berkas ini itu," jelasnya. Matanya terlihat menerawang dan aku tak bisa menembus matanya untuk bisa mengetahui apa yang ada dalam pikirannya.

Menikmati hidup, katanya? Apa ia bercanda? Aku yakin selama masa hidupnya ia sudah cukup menikmati hidupnya. Bahkan aku yakin bahwa kolam renang di rumahnya—yang pastinya membuatku kesulitan menghitung digit angka dalam harganya—bukan berisi air, melainkan uang.

Mungkin aku terlalu sering menonton kartun, tapi siapa yang peduli?

"Menikmati hidup," gumamku sembari memutar mata yang tampaknya terdengar oleh Harry sehingga ia berkata, "banyak hal yang akan membuatmu berpikiran sama sepertiku jika kau ada di posisiku."

"Ya ya, kau mungkin benar. Jadi, hanya itu yang ingin kau katakan padaku? Bagaimana dengan penjelasan mengapa aku malah menemuimu bukannya Louis padahal ia yang mengajakku?"

"Wow, pelan-pelan, girl. Akan kujelaskan semuanya tapi maukah kau menemaniku mengambil beberapa kudapan di sana? Aku lapar," tunjuknya ke salah satu meja dengan kue-kue yang disusun ke atas menyerupai piramid.

Aku mengangguk mengiyakan karena sejujurnya aku juga lapar. Kathy tak memperbolehkanku memakan apapun dari tadi sore kecuali air, dengan alasan ia tak mau menghabiskan lipstick-nya untukku jika aku banyak makan sehingga lipstick-ku luntur. Kejam bukan?

Dan malam itu, aku menghabiskan waktu bersama Harry, tak mempedulikan ke mana perginya dua cewek centil yang tadi bersamaku. Untuk pertama kalinya aku bisa tertawa lepas karena leluconnya—yang sebenarnya buruk. Kami bahkan sempat berebut pai ceri yang tinggal tersisa satu di meja, namun akhirnya, Harry memberikannya padaku.

The Boy From the Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang