Never Not, Kim Nara

13 2 0
                                    


Yang kemarin minta lanjutan Maybe I was not, nih dah kubikin lagi.
Eniwey, masih kuharapkan jejak like, react, komen dan semuamuanyaaa. Kalo nggak gue ngambek sambil ngunyal sendal jepit, nih.

Gosah lama2, kuylah dibacakkk.

***

Gabak di langit sudah hampir merata. Memberi warna kelabu suram pada langit Gijang, daerah terpencil di antara Haeundae-gu dan Ulsan di wilayah Yeongnam, Busan.

Kupercepat laju mobil sebelum hujan merajai bumi dan membuat jalanan licin. Perjalanan dari Daegu ke Busan utara cukup membuatku lelah. Sejak berangkat aku harus dua kali berhenti untuk beristirahat. Sekedar membeli minum atau menumpang buang air kecil di toilet umum.

Ini kedua kali aku menginjakkan kaki di Gijang, setelah sebelumnya-tepat delapan tahun lalu aku mengantar Kim Nara pulang ke rumah orang tuanya.

Gijang tidak banyak berubah. Ladang dengan jagung dan padi masih asri dan tumbuh subur di sana. Dari jauh aku bisa melihat semenanjung pantai dari Laut Jepang. Mataku benar-benar dimanjakan dengan pemandangan alam Gijang yang masih alami.

Aku memarkir mobil tak jauh dari bangunan yang kuingat betul sebagai rumah Nara. Akan tetapi, bangunan itu telah berubah bentuknya. Rumah sederhana Hanok itu kini bertingkat dua dengan plakat besar tertulis "Kedai Mie Miyeok"* dengan segala aktivitas ramainya.

Aku masih memerhatikan dan memastikan apa benar itu rumah Kim Nara. Jika dilihat dari letaknya, aku yakin itu rumah yang akan kutuju, tetapi....

"Ya! Buang air ini, cepat!" teriakan seorang wanita sampai pada telingaku. Tak lama seorang perempuan tergopoh-gopoh keluar membawa seember air kotor untuk dibuang. Namun, sebelum air itu membumi, sebuah guyuran air kotor lebih dulu menyiramnya dari belakang.

Aku menyangka wanita tambun itulah yang berteriak pada Kim Nara yang kini berusaha menahan apa yang diterimanya. Aku mengenal wanita tambun itu. Kim Nara pernah mengatakan bahwa wanita itu adalah bibinya, adik dari sang ayah.

"Cepat sedikit, Bodoh! Pelanggan sudah menunggu. Cepat ganti bajumu!" teriak wanita itu lagi, kali ini sambil memukul belakang kepala Nara dengan nampan kayu di tangannya.

Tanganku mengepal, tidak terima Kim Nara diperlakukan seperti itu. Namun, kulihat Nara menjawab lantang dan pergi ke belakang rumah. Kuputuskan untuk mengikuti Nara untuk mengetahui apa yang sedang dilakukannya di sana.

Nara berjongkok melipat lutut dan menyembunyikan wajah pada lengan yang melingkar. Gadis itu terisak. Membuat hatiku trenyuh dan ingin memeluknya sesegera mungkin.

"Kim...."

"Lewatlah pintu depan, Anda bisa memesan dari sana."

Setelah berkata demikian, Nara berdiri dan pergi tanpa menoleh ke belakang.

***
"Bibi, apa di lantai atas ada pengunjung?" tanyaku pada bibi Nara, yang entah sejak kapan tuturnya menjadi lembut. Berbeda dengan teriakannya pada Nara tadi.

"Kosong, Tuan. Anda ingin menempatinya?"

"Ya, aku pesan dua porsi dan aku ingin Kim Nara yang mengantar." Tanpa memedulikan wanita itu lagi, aku segera menuju ke lantai dua, menunggu pesananku datang.

Tidak lama, seseorang mengetuk pintu. Aku tahu dari bayangannya bahwa gadis itu adalah Kim Nara. Rambut basahnya dikuncir asal dengan kepala masih tertunduk.

"Pesananmu, Tuan," katanya, sambil menaruh dua mangkok Mie Miyeok di meja.

"Kim Nara, kenapa kau pergi?"

Sesuai dugaanku, Kim Nara mendongak, tersentak begitu aku melepas masker penutup mulut. Lihat, bagaimana dia sangat hafal suaraku? Bukankah ini membuatku makin kerdil di hadapannya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Maybe, I was Not (MYG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang