i | mereka, sepasang

1K 109 17
                                    

"Abra ada, nggak?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Abra ada, nggak?"

Di ambang pintu, Helga mencegat seorang gadis yang hendak keluar dari kelas--kalau tidak salah namanya Kumala. Yang diberikan pertanyaan terkejut sejenak, baru kemudian memutar lehernya untuk mencari-cari subjek yang disebut Helga. Helga turut mengikuti arah pandang gadis itu, yang akhirnya terhenti pada sebuah meja di saf kedua, banjar ketiga dihitung dari pintu. Di sana, tergeletak dengan sangat tenang kepala seorang lelaki di atas tumpukan lengan.

"Tuh."

Helga kontan tersenyum. "Thanks," kata Helga sembari menepuk pundak Kumala dua kali.

Di meja itu, Abra sedang tidur. Lelaki itu tidak sendiri; di sebelahnya, duduk seorang teman yang sudah Helga kenal jauh lebih lama sebelum mengenal Abra, namanya Niko. Berbeda dengan Abra, Niko punya perawakan yang lebih kurus dengan rambut ikal. Warna kulitnya lebih pucat daripada Abra yang cokelat keemasan.

"Tidur doi," celetuk Niko begitu menyadari presensi Helga.

Helga sejurus memutar bola matanya. "Ya, gue liat, sih. Bisa lebih bermutu lagi nggak informasi lo?"

Niko tak meladeninya, sibuk bermain gim di ponsel.

"Gue tadi denger anak kelas lo pada nyambat di luar. Abis ulangan, Nik?"

"Yoi."

"Apa?"

"Biologi."

"Hm." Helga melirik Abra. Mata lelaki itu terpejam, setengah mukanya tertutupi oleh hoodie abu-abu yang biasanya bakal Helga rebut untuk dihidu-hidu. Gadis itu menghela napas; situasi seperti ini bukan yang pertama kalinya, ia sudah hafal betul kebiasaan Abra yang terkadang membuatnya ingin menghadiahi peluk meski sudah dua tahun lebih mereka saling mengenal. Helga mengalihkan pandangannya kembali pada Niko, lalu telunjuknya mengetuk meja beberapa kali. Ketika perhatian Niko berhasil ia dapatkan, Helga mengibaskan tangannya. Sebuah gestur yang lantas membuat Niko mendecak.

"Bucin, bucin," desis Niko seraya beranjak dari kursinya, dilanjut dengan gerutuan: "Kenapa ya gue mau-mau aja dulu jadi mak comblang lo berdua."

Menariknya, Niko memang seperti diletakkan semesta menjadi titik yang mengakrabkan Abra dan Helga. Lelaki yang hemat bicara dan terkesan cuek itu sudah mengenal Abra sejak SD. Lalu ketika keduanya berpisah di SMP, Niko bertemu dengan Helga. Ketiganya kemudian berkumpul di SMA yang sama.

Helga tertawa tanpa suara. "Mending lo ke kantin, dah, Nik. Main game mana bikin perut lo kenyang, sih?"

"Sssh! Nggak usah komentar-komentar. Udah sono urus tuh pacar lo. Takutnya kenapa-napa gara-gara ulangannya Bu Rocha."

Sepeninggal Niko yang entah minggat ke mana, Helga langsung mendudukkan diri di sebelah Abra. Bahu lelaki itu naik-turun samar-samar, begitu pelan sampai-sampai Helga tidak tega apabila harus membangunkannya. Sebuah botol kecil yang sedari tadi berada dalam genggamannya ia taruh di dekat kepala Abra yang terkulai. Menatap lelaki itu sebentar, Helga mengeluarkan ponsel dari saku. Gadis itu membuka aplikasi kamera, membidik penampakan Abra, kemudian berpindah ke aplikasi perpesanan. Jemarinya mengetikkan deretan kalimat dengan lincah, sesekali melirik ke samping. Membaca sekali lagi pesannya yang sudah selesai, Helga mantap menekan tombol send.

let me walk with youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang