Saat itu El berusia lima tahun. Ingatan itu yang paling lama yang bisa ia ingat, sekaligus memang memori yang begitu mengendap dalam di benaknya.
Mama, papa, El, dan Abra pergi bertamasya ke berbagai tempat. Menyambangi rumah nenek di sela-sela perjalanan, mengunjungi taman rekreasi, bermain ke pantai. El ingat berlarian di pasir putih. El ingat angin yang membelai helai-helai rambut mamanya. El ingat kehangatan genggaman tangan papanya.
El juga ingat menemukan makanan favoritnya—bukan yang pertama, tapi yang paling ia sukai. Mama dan papa memesan aneka seafood dan ikan yang dimasak dengan berbagai bumbu. Entah apakah sebelumnya El sudah pernah makan udang sebelumnya, tapi udang balado yang ia rasakan saat itu mencuri hati dan indera perasanya. Mungkin karena pedasnya pas. Mungkin juga karena suasana pantai yang mendukung. Mungkin karena mama yang mengupaskan kulitnya dan menyuapkannya.
El makan lahap sekali hingga suatu tangis pecah.
Abra, yang saat itu berusia empat tahun, menangis. Kulitnya memerah.
Dan El menyadari bahwa sejak Abra datang ke rumah, bukan hanya tangisan Abra yang sering ia saksikan, tapi juga mama. El masih belum tahu kenapa Abra sering sekali membuat mama menangis; kenapa Abra kerap kali keluar masuk gedung yang baunya tidak El sukai. Lambat laun pun, meski El masih sesekali memprotes selayaknya anak kecil, ia tahu terpaksa harus puas bermain sendiri dengan buku-buku dan mainannya. Mungkin sesekali bersama papa.
"Abang, Abra nggak sesehat Abang untuk sekarang, jadi Mama harus nemenin Abra lebih banyak. Abang main sendiri, ya."
Dan begitu saja, El larut dalam dunianya sendiri. Ia mengisi kekosongan-kekosongan itu dengan buku-buku yang ia temukan di perpustakaan papanya. Kecermelangannya makin gemerlap dan El menemukan satu cara untuk mendapatkan perhatian-perhatian itu kembali.
Anak jenius Mama dan Papa.
El pun berlari, karena ia tahu akan semakin banyak yang ia peroleh.
"Bang, coba deh bantuin Abra belajar."
"Aku kan juga sibuk, bentar lagi aku ujian nasional, Ma."
"Kan sebentar aja, Bang."
"Kenapa nggak daftar bimbel aja, sih, Ma? Biar dia nggak nyusahin aku dan Mama."
Tahun demi tahun, El lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah; kegiatan lomba, organisasi, hobi. Tanpa ia sadari, semakin ia jauh berlari, ia juga semakin jauh dari rumah yang ia cari-cari.
*
*
Ketika menemukan Helga dengan rambut yang dicepol agak berantakan dan pakaian seadanya muncul di kamar, Abra sempat mengernyit kebingungan. Lalu, satu tebakan langsung muncul di kepala.
"Sori, lo pagi-pagi harus ke sini. Mama yang ngasih tau?"
"Makan dulu."
Abra menatap semangkuk bubur yang sudah ada di tangannya. Nafsu makannya sama sekali berada di bawah rata-rata sekarang, apalagi kepalanya masih berat bukan main. Tapi tatapan Helga memaksanya menyuap sedikit demi sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
let me walk with you
Short Story[▶ON HOLD] ❝ after all this time we've been running alone on our own track, we somehow forget that all we have is each other. so take my hand, and we will be okay. ❞ Tentang Abra yang ingin dipercaya untuk berdiri sendiri. Tentang El yang berlari ce...