1

5.1K 72 1
                                    

Aku keluar dari Rumah Sakit dengan lesu. Beribu-ribu pertanyaan melintasi pikiranku. Kuelus pelan perutku yang kini sedang mengandung janin yang tidak pernah ku harapkan ini.

Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Sudah terbayang olehku raut wajah kecewa yang pasti akan tergambar di wajah kedua orangtuaku jika mereka mendengar hal ini. Tentang aku, anak mereka satu-satunya yang sangat mereka banggakan, kini sedang mengandung anak yang bahkan belum jelas siapa ayahnya.

Demi Tuhan, aku masih terlalu muda! Aku hanya seorang mahasiswi biasa. Tidak mungkin aku siap merawat bayi ini. Kugigit bibirku sambil menahan air mata. Aku yakin, semua ini gara-gara ulah Dave!

“Alex..?”

Aku bergidik saat sebuah suara baritone yang familiar terdengar dari belakangku.

“Alex..”

Suara itu kembali terdengar, bahkan semakin dekat hingga aku bisa merasakan hembusan nafas di leherku. Aku pun hanya mematung sempurna saat sepasang lengan yang kokoh melingkarkan diri di pinggangku.

“Aku sudah dengar semuanya, Alex.” Bisiknya lembut di telingaku. Tangannya kini mengelus-ngelus perutku dengan hati-hati. “Tadi aku mengikutimu sampai kesini,” sudah kuduga ia akan melakukan hal semacam itu,”Terimakasih, Love. Kau tak tahu betapa bahagianya aku saat ini. Ini hadiah terindah yang pernah kau berikan untukku,” ujar Dave sambil menyandarkan dagunya di bahuku.

“Aku sudah mengurus semuanya, Alex. Kita akan menikah minggu depan.  Sudah kusiapkan tempat resepsi, cincin pernikahan, baju pengantin, kartu undangan, dan semuanya yang akan kita perlukan di pesta pernikahan kita nanti. Kau tenang saja, semuanya pun sudah kuatur. Bahkan tempat tinggal kita,” aku kembali bergidik membayangkan apa jadinya bila aku akhirnya harus serumah dengannya, “Kau ingat mansion yang pernah kita lewati saat kita berlibur di pinggiran kota Balcainhalm? Tepat di tepi danau Riviera, seperti yang kau impi-impikan. Mansion itu sekarang sudah menjadi milik kita. Kita akan tinggal disana untuk membesarkan anak kita nanti.” Lanjut Dave dengan nada puas sambil tak henti-hentinya membelai perutku.

“Siapa juga yang sudi menikahimu?” tukasku marah sambil melepaskan lengannya dengan kasar. Kutatap rambut coklat milik Dave membingkai sempurna wajah tampannya yang kini hanya menatapku lembut.

Ribuan gadis mungkin akan meleleh seketika dengan tatapan itu. Belum ada satu orang pun yang menerima tatapan itu selain aku. Dave yang terkenal dengan julukan Pangeran Es di kampus, selalu terlihat sempurna setiap saat dan tak sembarang orang bisa mendekatinya. Hal itulah yang membuatku hanya tercengang keheranan saat ia mengajakku bicara suatu hari. Saat itu aku sedang berada di kantin, dan dengan bodohnya tak sengaja kutumpahkan semua makananku ke arahnya, tepat mengenai jaket Armaninya yang terlihat sangat mahal. Aku ingat ketakutan yang kurasakan saat itu ketika ia mematung memandangi kemejanya yang berlumuran saus sandwich yang akan menjadi makan siangku. Ketika ia mengangkat kepalanya sambil menatapku, aku terkejut saat ia hanya tersenyum ramah sambil terkekeh melihatku. Aku masih ingat tatapan iri gadis-gadis yang menyaksikan saat itu ketika Dave mencoba menenangkanku yang sudah terlampau panik sambil meminta maaf berkali-kali.

Sejak momen itulah kami mulai dekat. Well, lebih tepatnya Dave yang mulai mendekatiku. Aku hanya menurut saja bila ia mengajakku mengobrol di waktu senggang. Aku takut ia marah bila menolak.

Namun tidak sekarang. Sekarang aku bukan lagi gadis lemah yang bisa menuruti apa saja yang ia mau.

AlexandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang