3 - End

5.6K 114 12
                                    

Pikiranku kembali tertuju pada Dave yang kini menatapku pedih.

“Kau yang memaksaku mengakhiri semuanya, Dave! Aku memang mencintaimu, tapi kurasa definisi cinta bagimu berbeda dari pikiranku. Gara-gara kau, kini aku tidak punya teman sedikitpun! Bahkan Julie dan Mary menjauhiku sekarang! Semua itu gara-gara kau mengancam mereka yang bukan-bukan, ‘kan?!”

“Itu salah mereka sendiri, Alex,” balas Dave ketus, “Mereka merebutmu dariku! Aku hanya ingin kau ada di sisiku setiap saat, apa itu salah?”

“Aku ini bukan barang yang bisa kau klaim sesukamu! Aku juga punya kehidupanku sendiri.  All I need is some space, Dave! But no – kau selalu saja menuduhku macam-macam kalau aku pergi jalan-jalan sebentar dengan teman-temanku! Kau selalu saja menguntitku kemanapun aku pergi! Kau gila, Dave! Dan aku tidak mau berurusan lagi denganmu!”

Dave melotot marah mendengar hal itu. “Ya, aku gila! Aku gila karenamu. Kau pikir kau bisa lepas begitu saja dariku? Kau tidak berhak menolakku! Kau sadar, saat ini anak siapa yang kau kandung itu? Kau sadar,  hanya aku yang bisa mencintaimu? Hanya aku selama ini yang menemanimu, menghiburmu saat kau sedih? Menyerahlah, Alex. Sekuat apapun kau mengelak, kau takkan pernah bisa lepas dariku!” dicengkramnya pergelangan tanganku dengan cepat, “Kau milikku! Tak ada yang boleh memilikimu selain aku. Kita akan menikah secepatnya, dan tak ada yang bisa kau lakukan untuk mencegah itu, terlebih lagi dengan bayi yang kau kandung saat ini.”

Aku pun berusaha menepis cengkramannya yang semakin mengerat pada tanganku. Namun apa daya, tubuhku yang mungil tak mampu melawan kekuatannya.

“Soal orangtuamu – kau tak perlu cemas. Aku sudah membicarakan hal ini dengan mereka. Mereka sempat syok, tapi kau tenang saja. Aku sudah bilang akan bertanggungjawab, bahkan mereka setuju untuk segera melangsungkan pernikahan kita,” ujar Dave sembari tersenyum menenangkanku.

 Aku terbelalak tak percaya. Semudah itu Dave meyakinkan orangtuaku? Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan agar bisa lepas dari iblis ini?

“Ikut aku,  Alex,” bisiknya di telingaku, “Aku akan membahagiakanmu. Biarkan aku menikahimu.”

Janji manis itu sejenak membuatku luluh. Haruskah aku menerimanya? Namun batinku kembali menjerit. Aku bisa membayangkan kehidupanku bila aku menjadi istrinya kelak. Setiap hari terperangkap di sebuah mansion mewah yang hanya kami tinggali berdua, tanpa ada kontak dengan dunia luar. Mungkin aku tidak akan lagi bisa bertemu teman-temanku, maupun kedua orangtuaku. Aku hanya akan menjadi seekor burung kecil tak berdaya yang terperangkap di dalam sangkar berlapiskan emas. Hampa. Tak ada artinya.

Membayangkannya saja membuatku sesak.

Aku tidak mau berakhir seperti itu!

“Alex? Alex, kau mau kemana – Alex!” seru Dave memanggilku saat aku berhasil melepaskan cengkramannya dan berlari menjauh, sejauh mungkin.

Dengan geram ia pun mengejar tak jauh dari belakangku. Kupercepat lariku, terlampau takut untuk sekedar menoleh ke belakang.

“Kembali, Alex!” geramnya sambil terus mengejarku namun aku tak mengindahkannya. Namun seberapa cepat aku berlari, semakin cepat pula ia mendekat ke arahku. Rasa panik menyelimuti diriku. Meskipun aku tahu hal ini bodoh, aku memberanikan diri untuk menoleh sesaat ke arah belakangku. Dan yang kulihat hanya membuatku semakin ketakutan.

Ekspresi feral yang ia tunjukkan padaku begitu menakutkan. Wajah tampannya yang biasa terlihat lembut kini berubah murka. Tak jauh berbeda dengan seekor singa kelaparan yang hendak menerkam mangsanya.

Aku memekik ketakutan saat tangannya nyaris meraih bahuku.

Aku terus dan terus berlari, hingga akhirnya aku bernafas lega ketika langkahku tiba di tengah kerumunan kota. Dengan orang sebanyak ini mungkin aku bisa menyembunyikan diri darinya.

 “Alex, please!” serunya kini dengan nada memohon. Sesaat aku tergerak untuk berhenti. Karena walau bagaimanapun, aku masih mencintainya.

......Tidak, Alex. Fokus!

Hanya penderitaan yang akan aku dapatkan bila aku menikah dengannya! Aku tak boleh lengah!

Ku teruskan lariku ke tengah jalan hingga terdengar suara klakson berbunyi kencang. Aku berbalik dan terbelalak kaget melihat bus yang melaju cepat ke arahku. Insting untuk menyelamatkan diri terbuyarkan oleh bunyi klakson yang melengking bertubi-tubi, membuatku hanya mematung dalam posisi berdiri tak berdaya. Aku dapat mendengar banyak orang memekik menyaksikan bus itu kini siap meremukkan tubuhku tanpa bisa dihentikan.

“ALEX!!!!!!”

Nafasku berhenti tatkala tiba-tiba bus tersebut berhenti tepat beberapa sentimeter di depanku, nyaris menempel pada ujung hidungku. Terdengar orang-orang yang tadi memekik langsung menghela nafas lega. Begitu pula Dave yang kini berhasil menghampiriku. Sopir bus itu turun dengan panik ke arahku yang masih membeku di tempat. Sebelumnya sopir itu nampak ingin memarahiku atau semacamnya, tapi kurasa aku terlalu pucat untuk dimaki.

    “Lain kali hati-hati, nona!” tegurnya kesal sambil kembali menaiki bus yang dikendarainya. Aku mulai menemukan nafasku kembali yang sempat tertahan sambil merasakan pelukan Dave yang mengerat padaku.

    “Bodoh! Jangan lakukan hal itu lagi padaku! Kau membuatku takut!” isak Dave sambil menenggelamkan wajahnya di bahuku, tubuhnya bergetar menahan tangis ketakutan.

“Maaf,” ucapku lirih sambil balas memeluknya dengan rasa takut yang masih membekas dalam batinku.

--

      Suasana mulai mereda saat Dave memutuskan untuk duduk membicarakan ini semua di sebuah kafe tak jauh dari tempat kami berdiri. Amarahku padanya berangsur lenyap saat kulihat raut penyesalan di wajahnya.

      “Maafkan aku,” bisiknya lemah sambil menundukkan kepalanya, seakan dirinya tak pantas untuk bertatapan langsung denganku. “Gara-gara aku, aku nyaris kehilanganmu selamanya. Aku minta maaf,” ujarnya kini sambil meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat.

Aku hanya menghela nafas sambil mengelus tangan hangatnya yang menggenggamku.

Ia pun mendongakkan kepalanya perlahan, menatapku lekat-lekat.

      “Aku . . “ ia diam sejenak sambil menjilat bawah bibirnya dengan gugup, “Aku tahu aku salah. Memang kuakui aku terlalu keras mengekangmu. Tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa aku melakukannya karena aku sungguh mencintaimu, Alex.”

Aku hanya terdiam mendengar itu.

     “Kalau – kalau berpisah denganku membuatmu bahagia,” ia kembali berhenti sejenak untuk menahan air mata yang terbendung di pelupuk matanya, “Aku tidak keberatan bila kau tetap memilih untuk berpisah. Aku bahagia bila kau bahagia, Alex. Dan bayi kita . . aku juga akan ikut merawatnya bersamamu. Aku akan berusaha menjadi ayah yang baik untuk anak kita. Tapi aku janji tidak akan mengusikmu lagi, bila itu yang kau inginkan, Alex.”

Kini ia hanya menatapku pasrah, siap dengan segala keputusanku sekarang.

   Dengan gugup kualihkan pandanganku pada sekeliling kafe yang terlihat sepi saat ini, seakan sengaja memberi privasi bagi kami.

   Apa yang aku inginkan sekarang? Haruskah aku berpisah dengannya? Lalu bagaimana dengan bayi ini? Kualihkan kembali pandanganku ke arahnya. Ternyata ia masih menatapku lekat.

 .... lalu bagaimana dengan perasaanku padanya?

      Aku masih mencintai Dave. Aku tak bisa membayangkan diriku jatuh cinta pada orang lain selain Dave. Aku tetap mencintai Dave dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Selama ini aku memang hanya membohongi diriku sendiri. Aku memang bodoh.

     Kuhela nafasku kembali sambil balas menatapnya. Kurasakan tubuhnya mulai menegang dan genggaman tangannya padaku kian mengerat. Aku pun tersenyum lembut padanya sambil menganggukkan kepalaku. Senyum bahagia perlahan merekah di wajahnya.

Dan aku kembali jatuh cinta.

TAMAT

AlexandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang