2

4.7K 75 2
                                    

“Kau bilang ini hadiah terindah untukmu, hah? Ini jelas-jelas musibah, Dave! Entah apa reaksi orangtuaku bila mereka tahu hal ini!” bentakku padanya. Dave hanya mengernyitkan dahi sambil sedikit memiringkan kepalanya. “Kau tak perlu khawatir tentang itu,” katanya dengan senyum menawan yang hanya ia tunjukkan untukku,  “Mereka sudah tahu hal ini. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Bila estimasiku benar, kandunganmu sudah berusia seminggu. Benar, ‘kan?”

Aku mengerutkan dahi tak percaya. Ternyata memang benar semua ini bagian dari rencananya!

“Keparat kau, Dave! Apa yang kau lakukan padaku!?”

“Sstt... tenang Alex, emosi yang berlebihan tidak baik untuk perkembangan janinmu,” ujar Dave sambil meraih tanganku sebelum akhirnya kutepis dengan kasar.

“Jawab pertanyaanku!!” tukasku marah.

Dave menghela nafas sambil mengalihkan pandangannya. “Malam itu.. tepat di hari ulangtahunku, kau terlanjur mabuk saat aku memberimu terlalu banyak wine.” Jelasnya singkat.

         Aku berusaha memutar otakku kembali pada hari itu, tepatnya hari Senin pada minggu yang lalu. Aku memang ingat tengah merayakan ulangtahunnya di restoran hotel berbintang malam itu.

Saat itu aku terpaksa menyanggupi ajakannya, namun dalam hati aku sudah mantap akan memutuskannya pada keesokan harinya. Tapi setelah meneguk beberapa gelas wine, semuanya menjadi gelap. Aku hanya ingat saat aku terbangun pagi harinya di sebuah kamar hotel. Dengan baju yang masih melekat erat di tubuhku. Sendiri, tanpa ada Dave di sebelahku.

“Kau tidak ingat kejadian malam itu, Alex,” rona merah mulai menghiasi pipinya, “Tapi kau sangat cantik malam itu. Aku tak bisa menahan diri. Esoknya saat kau terbangun aku langsung merapikan dirimu dan kemudian menunggu sampai kau terbangun di lobby hotel. Aku sengaja merahasiakan ini darimu karena aku malu. Tidak sepantasnya aku melakukan hal itu padamu. Aku . . minta maaf, Alex.”

Aku hanya menunduk memandangi tanah tempatku berpijak, terlalu syok setelah mendengar pengakuannya.

“Tapi aku tidak menyesalinya!” tukas Dave tiba-tiba, “Dengan entengnya kau akhiri hubungan kita setelah sekian lama kita bersama. Kau tidak tahu betapa hancurnya aku begitu kau dengan mudahnya mencampakkanku? Aku mencintaimu, Alex! Apa sebenarnya  yang kurang dariku?” lirih Dave sambil menatapku sedih dengan matanya  yang mulai berkaca-kaca. Sejenak aku pun tak tega melihatnya seperti itu.

Mungkin pantas bila orang-orang menganggapku gadis yang paling beruntung, dicintai sedemikian rupa oleh pemuda seperti Dave. Aku pun sempat berpikir begitu. Aku tidak cantik seperti gadis-gadis lainnya. Tubuhku terlampau mungil dan terlihat datar-datar saja, tidak semolek gadis-gadis seumuranku yang bertebaran di sekitar kampus. Rambutku yang agak mencuat pun hanya pendek sebahu, tidak terurai panjang nan indah seperti milik mereka.

Entah apa yang dilihat Dave dariku. Entah apa yang membuatnya memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku yang memang sejak lama menyukainya pun hanya tersenyum bahagia sambil mengiyakan permintaannya saat itu. Gadis serba standar seperti diriku bisa memiliki Dave? Seharusnya aku bangga. Namun bukan itu yang kurasakan saat hubungan kami dimulai.

Aku merasa tertekan. Tak hanya oleh tatapan sinis dari orang-orang yang selama ini meremehkanku, tapi juga dari Dave sendiri. Ia selalu mengikuti kemana pun aku pergi. Sebisa mungkin ia selalu menyempatkan diri untuk mengantarku ke kelas, bahkan bila kelas telah berakhir aku bisa menemukannya tengah menungguku dengan sabar di luar kelas. Ia juga selalu menjemputku ke kampus dengan mobil mewahnya yang tak pernah gagal menarik perhatian tetangga-tetanggaku, tak lupa ia juga selalu mengantarku pulang setiap hari.

Awalnya aku senang dengan perhatiannya. Selama ini tidak ada yang begitu mencintaiku seperti dirinya. Namun semuanya menjadi aneh saat ia mulai membatasi pergaulanku. Ia akan sangat marah bila aku pergi keluar dengan temanku tanpa memberitahukannya. Ia pun selalu memastikan bahwa aku tidak terlalu dekat dengan pria lain, bahkan pernah membanting handphone-ku dengan marah saat aku hendak menerima telepon dari Jacob, teman sekelasku yang saat itu hanya mau menanyakanku perihal tugas yang harus dikumpulkan esok pagi.

Kejadian yang paling mengejutkan adalah saat aku memergokinya tengah mengacak-acak isi kamarku secara diam-diam ketika aku baru saja pulang kuliah. Pantas saja saat itu ia berhalangan mengantarku pulang. Entah bagaimana caranya ia masuk ke kamarku. Terjadilah pertengkaran yang hebat saat itu. Ternyata Dave sengaja memanipulasi orangtuaku, entah bagaimana caranya, agar mereka tidak ada di rumah saat ia melancarkan aksinya itu.

Hal itu membuatku takut. Ia berusaha mendominasiku dengan caranya sendiri. Parahnya lagi, Dave berhasil mengakrabkan diri dengan orangtuaku, meraih simpati mereka terhadapnya. Aku semakin sulit melepaskan diri darinya.

AlexandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang