Sebenarnya, apa arti sahabat yang sesungguhnya?
Mengapa ia terasa sangat membahagiakan tapi kemudian menusuk, menyakiti jiwa?
Mereka baru saja selesai sesi perkenalan antara murid dan wali kelas sekaligus pembentukkan struktur kelas. Biasanya di hari pertama masuk sekolah, belum ada kegiatan belajar mengajar. Sehingga tidak terlalu menguras otak mereka. Tapi, bagi Salsa mau belajar atau tidak, baginya sama saja. Sekarang gadis itu sudah mengelus-elus perutnya yang beberapa detik lalu bernyanyi.
"Ke kantin yok Syif! Denger-denger ada banyak menu baru di sana." Salsa berkata sambil mengelus perutnya. Tatapan matanya seperti sedang memikirkan makanan lezat baru yang akan mengisi buku menu.
Setelah merapikan alat tulisnya Syifa mengangguk. Ia juga penasaran. Setiap pergantian tahun, kantin sekolah akan menghadirkan makanan terbaru untuk pelanggan mereka. Membuat Salsa si Perut Karet mati penasaran, menebak-nebak makanan apa yang akan disajikan.
Mereka berdua hendak berjalan keluar kelas, sebelum sebuah tangan menahan mereka. Tangan itu berasal dari gadis yang sejak pertama menduduki kursi paling depan dekat pintu masuk. Gadis yang tadi sempat membuat gurauan kecil untuk kelas barunya.
Syifa dan Salsa sontak mengarahkan pandangan mereka menatap sosok baru itu.
"Kenalin, aku Aniisah. Panggil aja Nisa." Gadis itu memperkenalkan dirinya kembali. Tangannya terulur. Ia tersenyum ramah ke arah mereka berdua—tepatnya Salsa.
Salsa gesit penuh percaya diri menyambut uluran tangannya, "Salsa."
"Syifa," malu-malu Syifa menyebutkan nama. Bergantian menjabat tangannya.
Gadis itu tersenyum tipis.
Saudara kembarnya kembali tidak mau kalah. Wajahnya terlihat lebih ramah. Kali ini ia mengulurkan tangannya terlebih dulu kepada Syifa, "Aliisah, tapi panggil Lisa aja ya."
Syifa menyambut uluran tangan itu dengan perasaan lebih baik. Menyebutkan namanya pelan, tak lupa dengan mengandalkan senyum manis berlesung pipit pada pipi kirinya.
Salsa melakukan hal yang sama. Memperkenalkan dirinya dengan akrab.
"Boleh kami ikut ke kantin bareng? Aku sama Lisa belum tau letak kantin."
Salsa mengangguk cepat. Dalam hal seperti ini, dia yang paling senang jika sudah mendapat teman baru. Syifa mengikutinya. Jadilah mereka berempat berjalan bersama menuju kantin.
Salsa tersenyum bahagia. Ia terus bertanya sepanjang perjalanan. Lebih tepatnya bertanya pada Lisa dan Nisa yang merupakan anak baru. Ya, Syifa dan Salsa adalah alumni SMP Permata dan sekarang mereka berdua kembali satu sekolah di SMA Permata.
Syifa lebih banyak diam mendengarkan. Mencoba menjadi pendengar yang baik. Mengusir sesuatu yang mengganggu di benaknya. Tersenyum seolah ia ikut menyimak pembicaraan itu dengan seksama.
Hingga mereka tiba di kantin, menduduki empat buah kursi yang saling berjejer. Salsa duduk di antara Nisa dan Lisa. Tampaknya ia menikmati perbincangan dengan kedua teman barunya itu. Percakapan di antara mereka selalu berganti topik. Membuat seseorang yang berada di sebelah Lisa tidak dihiraukan. Mereka bertiga asyik tertawa lepas sambil menikmati pesanan mereka yang seragam.
Benar-benar malang sosok yang berada di paling ujung. Mencoba menutupi semuanya dengan senyum seolah ia baik-baik saja. Tatapan beberapa adik kelas yang mengenalnya cukup mengganggunya. Sejak tadi, ia mencoba berpikir positif. Salsa hanya ingin mengenal Nisa dan Lisa lebih dekat, tidak ada maksud mencampakkan Syifa. Pemikiran positif mengalir deras di otaknya, tapi malang, hati tidak dapat ia bohongi. Dalam situasi seperti ini, hati lah yang menguasai diri. Mau sepintar apapun otak memasok aura positif, pada akhirnya hati tak kuasa menahan tekanan batin tuannya.
Tawa mereka bertiga terdengar menguasai kantin. Beberapa pengunjung kantin sesekali melirik ke arah mereka berempat—tepatnya mereka bertiga, merasa terganggu. Salsa terlihat sangat akrab dengan dua teman barunya. Sejak tadi mereka bertiga bertukar pengalaman lucu. Saling menghibur satu sama lain. Hampir saja mereka melupakan makanan yang berada di sisi mereka, jika saja suara sendok Syifa tidak terdengar seperti mengingatkan.
Memang, sejak tadi yang lebih sering menyentuh makanannya adalah Syifa, demi mengusir prasangka buruk. Ia terus tersenyum mendengarkan, walau ia tidak tahu apa yang sedang sahabatnya bicarakan dengan dua teman baru mereka. Sebab mereka bertiga lebih sering bisik-bisik, kemudian tertawa lepas. Hingga akhirnya menu baru yang tadi ditunggu-tunggu Syifa di mangkoknya telah habis. Ia melirik makanan teman-temannya yang belum habis.
"Mereka benar-benar melupakan semuanya," batin Syifa dalam hati. Ia tersenyum miring.
"Lis, Nis, Sal, aku ke kelas duluan ya ...." Karena sudah tidak sanggup menahan kecanggungan ini, Syifa memutuskan kembali duluan.
Mereka bertiga hanya mengangguk pelan. Kemudian melanjutkan perbincangan mereka.
Syifa menghembuskan napas pasrah. Ia berjalan menuju Mbak Kantin untuk membayar pesanannya. Kemudian segera berlari menuju kelasnya. Ia melirik jam di pergelangan tangan kanannya sebentar. Istirahat tinggal lima menit lagi, jangan sampai sahabatnya telat masuk kelas. Tanpa ia sadari, hatinya terasa sedikit lega saat sudah meninggalkan mereka yang mencampakkannya. Ia tersenyum lebih baik menuju kelasnya. Jilbab putihnya berkibar seiring kecepatan larinya. Entah apa yang akan ia lakukan di kelas. Mengingat biasanya selepas menikmati makanan di kantin, ia dan Salsa suka sekali membicarakan apapun itu yang selalu mengundang tawa sebelum bel masuk memotong perbincangan. Tapi mungkin sekarang rutinitasnya akan mulai berbeda.
Syifa menduduki kursinya kasar. Suasana hatinya kembali buruk begitu melihat kelas yang kosong. Teman-teman barunya pasti sedang menikmati kantin baru mereka. Ia tidak punya kegiatan apa-apa sekarang. Hanya menatap kosong papan tulis. Mengkaji ulang beberapa kemungkinan yang sejak tadi meresahkannya. Memori-memori awal masa remaja melintas di benaknya. Awal mula ia dan Salsa mulai saling mempercayai.
Ia masih ingat sekali ketika menceritakan orang yang ia kagumi kepada Salsa. Saat itu Syifa sedang dekat dengan tujuh orang teman di kelasnya termasuk Salsa. Hingga akhirnya ia memutuskan menjadikan Salsa sebagai teman dekatnya. Dua tahun mereka selalu bersama. Dimana ada Syifa, sudah pasti Salsa di sisinya. Mereka berdua sahabat yang kompak. Baik teman sekelas maupun guru-guru, mereka semua tahu persahabatan mereka tidak akan mudah goyah.
Tapi mengapa sekarang berbeda? Ekspektasi mereka tidak terbukti. Syifa menatap sendu ke arah bangku di sisinya yang masih kosong. Apakah pertemanan mereka sudah sampai pada puncaknya? Apakah ini akhir dari yang diharapkan orang-orang sekitar mereka? Tidak. Syifa menggelengkan kepalanya kuat. Tanpa ia sadari setetes cairan bening keluar dari pelupuk matanya. Ia terlanjur larut dalam gejolak batinnya. Ia terlalu membawa perasaan. Padahal ini baru pertama kali, yang bukan berarti semua pikiran buruk di otaknya benar. Sebuah suara tertangkap indra pendengarannya. Suara tapak kaki seseorang menuju ke sini. Buru-buru ia menghapus cairan bening yang masih tersisa di wajahnya. Tidak ada yang boleh melihatnya menangis.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
All About My Life
SpiritualDalam hidup ini akan selalu ada hal-hal yang tak bisa dipahami. Entah itu rumitnya jalan kehidupan, perasaan, atau bahkan perubahan yang terjadi pada orang-orang terdekat kita. Tak ada yang abadi, karenanya jangan menyimpan harap pada manusia.