Kejanggalan

45 2 0
                                    

"Gimana tadi di sekolah kak?" Umi bertanya sambil menciduk nasi di dalam Rice cooker.

Beberapa makanan sudah terhidang di meja makan. Mereka bertujuh siap untuk makan malam. Bertujuh? Ya, kalian tidak salah baca. Syifa memang memiliki banyak adik. Dua adik laki-laki, dua adik perempuan. Syifa tidak memiliki kakak, ia anak sulung. Dalam keadaan ini ia dituntut untuk bisa lebih dewasa dari anak-anak seumurannya. Terkadang ia merasa iri dengan Salsa yang memiliki seorang kakak laki-laki. Tapi inilah takdirnya, ia tidak boleh menyalahkan takdir terbaik yang telah Allah berikan kepadanya.

"Baik," Syifa menjawab pendek. Ia sedang menyendok makanan dalam piringnya.

Umi menolehkan kepalanya menatap Syifa yang sedang termenung. Dia jelas tidak baik-baik saja. Apakah ia mendapat masalah di hari pertama sekolah? Bermacam-macam pemikiran berlompatan di benak umi.

"Umi, mana makanan aku?" suara nyaring milik Ziya, anaknya yang keempat, memotong renungannya.

Ummi cekatan mengambilkan sepiring nasi lengkap dengan lauknya. "Zahra, tolong kamu suapin Faris," Ummi berkata menyuruh anaknya yang kedua.

Zahra yang hendak memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya, mendongak. Ia sedikit menggerutu. Kenapa harus ia yang menyuapi, padahal Kak Syifa hampir selesai. Dengan berat hati ia bangkit dari kursi mengambilkan makanan adiknya, melirik ke Syifa yang raut wajahnya tetap sama. Alis Zahra sedikit terangkat, tapi ia tidak menghiraukannya.

Syifa yang sudah selesai, bangkit hendak mencuci piringnya. Meninggalkan anggota keluarganya yang masih menikmati santapan makan malam. Ia tadi hanya mengambil sedikit nasi dari porsi yang biasa ia makan. Nafsu makannya sedang turun.

Setelah Syifa menyelesaikan tugasnya, ia segera melangkah ke kamarnya. Ponselnya sejak tadi berkedip dan bergetar tanda banyaknya pemberitahuan yang masuk. Dengan malas ia meraih benda kotak yang jarang ia pegang jika tidak ada kepentingan. Matanya segera membulat. Ternyata itu adalah notif dari grup kelasnya. Salsa sudah mengundangnya sejak tadi sore. Begitu banyaknya percakapan tidak berguna yang dilakukan oleh sahabatnya. Salsa segera berkenalan dengan anggota grup sekaligus teman sekelas. Ia, Nisa, dan Lisa, tadi siang saat jam istirahat kedua masih tersisa, ramai-ramai mendatangi setiap bangku teman-teman, meminta nomor telepon mereka, kemudian mengundangnya ke dalam grup pada salah satu aplikasi yang sedang nge-tren. Nisa dan Lisa juga ikut berkenalan. mereka bertiga mampu membuat suasana grup kelas yang canggung menjadi cair. Syifa tersenyum membaca percakapan tidak bermakna mereka. Ia hanya menjadi pembaca bisu. Cukup membaca tanpa berkomentar. Selain grup kelasnya, Salsa juga mengundang Syifa kepada sebuah grup yang membuat kedua alisnya mengerut.

'Dari mana Salsa bisa punya nomor telepon mereka?' batin Syifa dalam hati saat melihat nama-nama asing yang tertera di handphonenya. Dengan cepat ia mengirim pesan kepada Salsa.

Syifa: Sal, 'Kita Fams' itu grup apa?

Tidak perlu menunggu lama mendapat balasan dari sahabatnya itu. Salsa selalu online, karena itulah hobinya.

Salsa: Kamu join aja dulu Syif, entar kamu bakal tahu. Percaya sama aku deh, itu grup seru.

Ada apa ini? Salsa seperti merahasiakan sesuatu. Tapi, sudah tiga tahun mereka berteman, Syifa dapat mempercayai sahabatnya, begitupun sebaliknya. Akhirnya telunjuknya menekan tulisan 'Join'. Ia sangat penasaran sekaligus cemas.

Beberapa detik kemudian, Salsa muncul dalam grup itu.

Salsa : Welcomee ... (dengan stiker bergambar beruang sedang melempar kertas krep)

Syifa membalas dengan mengirimkan stiker berlambang terima kasih. Di dalam grup itu juga ada beberapa teman sekelasnya.

Fajar : Welcome (dengan stiker bergambar anak laki-laki sedang mempertemukan kedua tangannya)

Nama itulah yang membuat Syifa mengerutkan dahi mulusnya. Keheranan menghantui kepalanya. Dari mana Salsa bisa mendapatkan nomor-nomor murid laki-laki, sementara di sekolah mereka, gedung laki-laki dan perempuan dipisah agar tidak bisa saling berhubungan seperti pacaran dan seterusnya. Sekolah mereka adalah sekolah islam yang cukup ketat melarang murid-muridnya bertemu antara kaum adam dan hawa. Sehingga bila ada yang ketahuan, mereka akan mendapatkan hukuman berat. Syifa sendiri tidak tertarik menjalin hubungan yang belum jelas dengan lawan jenisnya, ia hanya sebatas kagum dan menyukai. Tidak pernah seperti beberapa teman-temannya yang bisa sampai pacaran hingga ketemuan, kebanyakan dari mereka tidak pernah tertangkap basah oleh guru-guru.

Syifa hanya membalas dengan stiker bergambar gadis perempuan berjilbab mengucapkan terima kasih. Di aplikasi ini terdapat banyak pilihan stikernya. Mereka bisa memilih sendiri, ingin mendownload yang mana.

Akhirnya malam itu, Syifa mengenal beberapa nama asing yang satu sekolah dengannya namun tidak pernah tertangkap mata. Beberapa nama baru itu juga mengucapkan kata welcome padanya. Ia mengenal mereka secara tidak langsung. Hanya melalui percakapan mereka. Mereka bertiga, Salsa, Nisa, dan Lisa, yang paling banyak berbincang dengan murid laki-laki, mulai dari perkenalan singkat hingga percakapan tidak berfaidah seperti di grup kelasnya—yang lebih banyak memberi notif pesan karena mereka terlalu banyak mengirim stiker. Selama itu Syifa hanya menjadi pembaca bisu. Laki-laki yang bernama Fajar itu juga tidak menampakkan kehadirannya, sepertinya ia juga memilih menjadi pembaca bisu seperti Syifa.

"Kakak!" suara Ummi membelah keheningan kamarnya yang sejak tadi dipenuhi dering pemberitahuan notifikasi pesan dari grup 'Kami Fams'. Suara itu lamat-lamat terdengar dari kamar sebelahnya.

"Apa Mi?" Syifa berteriak membalas seruan Umminya. Ia masih asyik membaca pesan-pesan dari grup barunya itu.

"Kakak!!"

Syifa mendengus pelan. Ada apa sih, ummi memanggilnya. Ia bergerak malas menuruni ranjang. Dengan langkah berat ia berjalan menuju asal suara. Kamar kedua orangtuanya.

"Apa Mii?"

"Kalau dipanggil tuh bukan, apa, apa! Gak sopan sama orang tua kayak gitu," giliran Ummi yang menggerutu. Tangannya cekatan melipat baju. "Kamu bantu Ummi membereskan baju-baju itu." sekarang tangannya menunjuk pakaian yang sudah dilipat.

Sebenarnya Syifa merasa sebal ketika tahu ia datang hanya mendapat kemarahan dan perintah dari ummi. Tapi bagaimana pun juga ia tidak boleh menggerutu karena itu adalah tugasnya sebagai anak. Perlahan ia meraih tumpukan baju yang sudah dilipat, kemudian memasukkannya ke dalam lemari pakaian. Padahal ia tadi masih ingin memainkan ponselnya. Berselancar di grup barunya. Grup yang besoknya akan merubah seluruh jalan hidupnya tanpa ia sadari.

Beberapa pikiran terlintas di benaknya. Pasti adiknya sedang santai-santai di dalam kamar, meluruskan kaki, bermain hape. Ia sangat benci menjalanakan tugas rumah jika melihat adiknya, Zahra sedang santai-santai. Karena biasanya mereka selalu mengerjakan pekerjaan rumah berdua. Rasanya ia ingin menyeret adik pertamanya untuk membantunya. Tapi itu tidak mungkin ia lakukan, karena pasti bukan ketaatan sang adik yang ia dapat, melainkan kemarahan ummi.

Akhirnya malam itu, Syifa terpaksa meninggalkan kesenangan dunianya yang baru beberapa detik ia dapatkan. Melirik sebal saat melewati celah pintu kamar di sebelahnya yang terbuka sedikit. Seorang gadis remaja tengah santai, meluruskan kedua kakinya dengan ponsel canggih tergenggam di tangannya.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

All About My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang