BAGIAN 1

456 19 0
                                    

Gunung Panjar berdiri tegak dengan puncaknya yang seperti ingin menggapai langit. Dari kejauhan tampak asap keluar dari lubang kepundan langsung mengepul tinggi ke udara. Sementara matahari siang ini bersinar terik, seperti hendak memanggang daerah yang sunyi. Sinarnya terus menerobos sampai ke lembah-lembah berlumpur yang ditumbuhi pohon pohon pinus.
Daerah sekitar Gunung Panjar yang sangat sunyi memang terkesan angker. Apalagi pada saat-saat tertentu terdengar suara menggemuruh di dalam tanah. Seakan ada makhluk raksasa yang tengah menggeliat di dalamnya. Daerah ini memang merupakan sebuah teka-teki yang belum terungkapkan. Sehingga tidak seorang pun yang berani melintasinya.
Tapi rupanya keangkeran Gunung Panjar tidak berlaku bagi tiga laki-laki penunggang kuda berpakaian merah darah dan bersenjata pedang. Kuda mereka terus digebah melewati sela-sela hutan pinus yang tumbuh subur di sekitarnya. Melihat cara menggebah kuda kudanya tampaknya mereka memang tergesa-gesa. Sampai akhirnya, mereka berhenti di suatu tempat. Dua orang lainnya yang berkuda di belakang, memperhatikan laki laki berbadan tinggi tegap yang berada di depan.
"Di sinikah tempatnya?" tanya laki-laki tinggi tegap pada dua orang yang baru menjajari di samping kudanya.
"Memang di sinilah tempatnya, Kakang Yudistira!" sahut laki laki bertubuh kurus.
Laki laki tinggi tegap yang dipanggil Yudistira terdiam sejenak. Matanya yang tajam berkilat-kilat berselimut kejantanan, memandang ke puncak Gunung Panjar yang terus menunjukkan keangkerannya.
"Rasanya iblis itu tidak mungkin bersembunyi di sekitar sini, Somapati," duga laki laki satunya, yang bertubuh gemuk.
"Belasan murid Partai Tengkorak Darah raib di tempat ini, Kakang Gerdatama. Belum lagi tokoh-tokoh persilatan dari aliran hitam dan putih. Apakah bukti-bukti itu belum cukup kuat, kalau sebenarnya iblis terkutuk itu masih hidup hingga sampai saat ini?" tegas laki-laki kurus yang dipanggil Somapati.
"Hm." Laki-laki yang dipanggil Gerdatama menggumam tidak jelas. "Apa yang kau katakan memang sudah kudengar. Tapi menurutku, iblis itu sering berpindah-pindah tempat. Terbukti tindakannya selalu di berbagai tempat."
"Aku mendukung pendapat Gerdatama," tandas Yudistira sependapat. "Tapi walau demikian, tidak ada salahnya jika tetap bersikap waspada mulai dari sekarang!"
Kedua orang yang memang adik seperguruan Yudistira ini sama-sama mengangguk setuju. Gerdatama sekali lagi mengarahkan matanya pada Gunung Panjar yang tetap sunyi-sunyi saja, tanpa terlihat tanda-tanda mencurigakan.
"Manusia iblis! Aku yakin kau berada di sekitar sini. Tujukkanlah rupamu yang sangat menjijikkan itu!"
Tiba-tiba saja Yudistira berteriak keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tak penuh. Namun demikian suaranya sudah sangat menyakitkan gendang-gendang telinga. Bahkan suara itu terus menelusup ke lembah-Iembah yang terdalam. Setelah berlalunya suara Yudistira, maka suasana di sekitarnya kembali diliputi kesunyian mencekam.
Entah sudah berapa lama keadaan seperti itu berlalu. Dan saat-saat berikutnya, perlahan-lahan terdengar suara menggemuruh bagaikan gempa bumi. Malah disusul pula oleh suara auman seperti singa. Suara yang ditimbulkan bukan saja membuat wajah tokoh-tokoh yang berasal dari Partai Tengkorak Darah menjadi terkejut, tapi juga semakin meningkatkan kewaspadaan.
"Dia datang, Kakang!" desis Somapati.
"Ya.... Berhati-hatilah!" tegas Yudistira.
Baru saja kata-kata Yudistira selesai, mendadak.
"Herrrrrr...!" Tiba-bba saja, tanah di sekitar mereka bergetar hebat. Batu-batu yang terdapat tidak jauh dari depan, berpentalan keseluruh penjuru. Gerakan-gerakan dari dalam tanah yang sangat mengejutkan ini, tidak berhenti sampai di situ saja. Diawali terkuaknya sebuah lubang yang menganga, tiba-tiba dari dalamnya menyembul tangan yang sangat banyak berukuran raksasa. Begitu mengerikan, ketika menggapai-gapai ke segala arah seakan mencari jalan keluar. Tak lama, munculah sebuah kepala berbentuk singa, kemudian bagian-bagian tubuh lainnya.
Dan... Kemudian dengan satu lompatan berat, sosok bertubuh raksasa berwujud sangat mengerikan telah berdiri legak dengan angkemya, di depan tokoh-tokoh dari Partai Tengkorak Darah.
"Dialah manusia setengah singa, Kakang!" bisik Somapati.
Sementara kedua orang saudara seperguruan laki-laki kurus ini memperhatikan wujud makhluk setengah manusia dan setengah singa bertangan tujuh ini, dengan mulut menganga. Mereka benar-benar tercenung, seperti tersihir.
"Grauuung...!" Terdengar suara menggeram marah. Jelas suara yang terdengar bukan suara manusia, tapi suara singa yang dilanda kemarahan.
Siiing! Siiing!
Gerdatama dan Somapati langsung mencabut pedang dari warangka. Sementara itu kuda tunggangan mereka mulai, meringkik sambil mengangkat-angkat kaki depannya dengan gelisah.
"Manusia setengah iblis!" bentak Yudisbra yang dikenal sangat pemberani. "Aku yakin, kau dapat bicara. Sekarang kuperingatkan padamu, menyerahlah!"
"Hraaah...! Aku memang dapat bicara! Sayang, kalian terlalu angkuh untuk dapat mengakui keberadaanku, sebagaimana manusia biasa!" dengus laki-laki raksasa setengah manusia dan bertangan tujuh itu. Matanya berkilat-kilat tajam, memandang tiga orang dari Partai Tengkorak Darah.
Ketiga tokoh ini langsung tertawa-tawa pada saat mendengar ucapan laki-laki setengah manusia itu. Setelah tawa mereka terhenti, Gerdatama langsung melompat dari punggung kudanya.
"Kau bukan manusia. Wujudmu tidak lebih baik daripada iblis. Dan tahukah kau, apa yang akan kami lakukan padamu?" kata Gerdatama dengan senyum mengejek. Tangannya menuding, menyiratkan kebencian.
"Keangkuhan kalian harus ditebus dengan nyawa!" desis laki-laki mengerikan bertangan tujuh itu.
Kemudian tanpa berkata-kata lagi laki-laki berwajah singa ini, mengibaskan dua buah tangannya ke depan. Bukan main cepatnya gerakan tangan-tangan berkuku runcing itu. Bahkan seketika itu juga, menyambar agin kencang bercampur hawa panas menyengat ke arah Somapati dan Yudistira yang masih duduk di atas kudanya.
Seketika kedua laki-laki ini melentang tinggi dari punggung kudanya. Begitu keras angin sambaran pukulan itu, hingga baju mereka yang berwarna merah darah sampai berlabar kibar. Sementara tiga ekor kuda tunggangan mereka langsung lari terbirit-birit, meninggalkan majikannya.
"Gunung Panjar adalah kuburan manusia-manusia picik yang memusuhiku. Kalian nanti pun akan merasakannya! Grauuung...!" dengus manusia setengah singa ini.
Laki-laki setengah manusia ini kembali mengibaskan tangan tangannya yang berjumlah tujuh buah. Menghadapi serangan yang tidak dapat terduga, tentu saja Yudistira dan saudara seperguruannya menjadi kelabakan juga. Tapi sebagai tokoh kelas tinggi di Partai Tengkorak Darah, mereka sudah cukup berpengalaman luas dalam menghadapi keadaan yang sangat sulit sekali pun.
Maka hanya dalam waktu singkat, pertempuran seru di lereng Gunung Panjar tak dapat dielakkan lagi. Yudistira bersama dua orang saudaranya yang mengerahkan jurus pedang andalan 'Mengusir Mendung Menghalau Hujan', terus bergerak mencecar laki-laki setengah singa. Tapi untuk mendesak manusia setengah singa ini ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Jangankan untuk mendesak, sedangkan untuk menghindari serangan balasan saja sudah terlalu sulit. Manusia setengah singa bertubuh tinggi besar ini memiliki jangkauan tangan yang sangat panjang. Bahkan gerakan tubuhnya lincah bukan main. Malah serangan-serangan balasannya begitu cepat, tertuju ke bagian bagian tubuh lawan yang mematikan.
"Hiyaaa...!"
Ketiga laki-laki dari Partai Tengkorak Darah ini sangat penasaran bukan main, karena serangan-serangannya selahi kandas di tengah jalan. Dan sekarang, disertai teriakan membahana mereka merubah jurus-jurus silatnya. Jika semula mereka memainkan pedang dengan gerakan biasa, maka kini dengan gerakan sangat cepat luar biasa. Bahkan Yudistira mulai mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf tinggi.
Kini manusia setengah singa itu mendapat perlawanan dari segala penjuru. Malah sudah beberapa kali pedang ditangan Yudistira menghantam bagian punggungnya.
Crakkk!
"Heh?!" Yudistira terpekik kaget. Pedang pusaka di tangannya sama sekali tidak dapat menembus kulit tubuh manusia setengah singa. Padahal pedangnya dibabatkan dengan mempergunakan tiga perempat tenaga dalamnya. Kenyataan ini sebenarnya sudah membuka mata Yudistira, kalau manusia setengah singa yang dihadapinya kebal terhadap senjata.
"Tusuk perutnya!" teriak Gerdatama, sambil bergulingan. Nyaris saja ia terinjak kaki manusia raksasa itu.
Somapati yang mendengar aba-aba itu langsung bergerak ke samping kiri. Tapi mata manusia setengah singa yang tajam rupanya melihat gerakannya. Sehingga tangannya cepat digerakkan ke arah pedang yang menderu ke arahnya. Sedangkan tangan yang lain menangkis serangan Gerdatama dan Yudistira.
Crakkk! Crakkk!
Terlihat percikan bunga api ke segala arah begitu senjata ketiga tokoh dari Partai Tengkorak Darah ini menghantam pergelangan tangan manusia setengah singa. Sebaliknya, pada saat yang sama, manusia setengah singa itu berhasil menendang perut Somapati yang lowong.
Desss!
"Aaakh...!"
Tubuh Somapati terbanting keras di tanah. Perutnya terasa bagaikan hancur diaduk-aduk. Dia berusaha bangkit tapi ambruk lagi. Dari bibirnya tampak mengalir darah kental. Agaknya laki-laki kurus itu menderita luka dalam yang cukup parah.
Melihat kejadian yang tak disangka-sangka ini, Gerdatama dan Yudistira terkejut bukan main. Belum hilang rasa kaget mereka, kaki manusia setengah singa telah menginjak dada Somapati.
Krakkk!
"Aaa...!" Disertai jeritan panjang, mulut Somapati menyemburkan darah. Matanya langsung melotot dengan lidah terjulur keluar. Salah satu tokoh dari Partai Tengkorak Darah itu menemui ajalnya.
"Somapati!" teriak Yudistira dan Gerdatama hampir bersamaan.
Bukan main gusarnya mereka melihat kejadian yang memilukan ini. Mereka ingin mendekati mayat adik seperguruannya, tapi gerakan mereka terhalang oleh tangan tangan raksasa manusia setengah singa. Sehingga tidak ada pilihan lain lagi, kecuali menggempur manusia setengah singa dengan segenap ilmu olah kanuragan yang dimiliki.
"Hiyaaa...!" Gerdatama berteriak nyaring. Tidak tanggung-tanggung lagi langsung saja jurus terhebat yang dimilikinya dikerahkan. Sehingga pertarungan pun semakin menghebat. Gerakan kaki dan tangannya lincah bukan main, dalam melakukan tendangan telak ke arah bagian punggung manusia setengah singa. Sementara Yudistira sendiri telah mengerahkan jurus 'Membelah Mega'.
"Hraaakh...!" Manusia setengah singa itu menggerung marah. Terlebih-lebih setelah tendangan Gerdatama menghantam punggungnya. Seketika manusia setengah singa memutar tubuhnya sambil mengelebatkan tangannya yang berjumlah tujuh buah kearah Gerdatama. Sedangkan kakinya melakukan tendangan kilat ke arah Yudistira.
Buk!
"Aaakh...!" Seketika itu juga Yudistira jatuh terguling-guling di tanah. Hidung dan bibirnya mengeluarkan darah segar. Laki-laki itu merasa ada salah satu tulang iganya yang remuk. Napasnya mendadak terasa sesak.
Melihat ini manusia setengah singa segera menerjang Yudistira yang belum bisa bangkit berdiri. Dia memang bermaksud menghabisinya. Tapi pada saat itu, Gerdatama melihat saudara seperguruannya yang dalam keadaan terancam. Maka tanpa bicara apa-apa, dia melompat tinggi melepaskan pukulan maut.
"Hiaaa...! Werrr...!"
Seketika itu juga angin kencang menderu. Terlihat sinar merah membara melesat dari telapak tangan Gerdatama yang terhentak. Melihat datangnya serangan hawa panas ini, manusia setengah singa yang dapat menembus perut bumi ini langsung mengibaskan tangannya ke arah Gerdatama. Sementara tangan yang lain tetap terarah pada Yudistira yang belum bisa berbuat apa-apa akibat luka dalamnya.
Glarrr!
Seketika terjadi ledakan sangat kuat ketika dua pukulan jarak jauh beradu. Namun Gerdatama terpelanting roboh. Dari mulutnya menyembur darah segar. Secepatnya dia bangkit berdiri, tapi pada saat itu juga terdengar jeritan Yudistira. Begitu menoleh, tampak Yudistira sudah tercabik-cabik oleh tangan-tangan manusia raksasa berkepala singa itu.
"Grakkk! Grauuung...!"
Bukan main tajamnya kuku-kuku manusia setengah singa itu. Sehingga dalam waktu singkat, tubuh Yudistira sudah tidak berbentuk lagi.
Laki-laki bertangan tujuh itu mencampakkan mayat Yudistira ke arah Gerdatama. Namun dengan cepat Gerdatama mengelak. Lalu sambil menggerung penuh kemarahan, dihujaninya laki-laki setengah singa itu dengan pukulan pukulan jarak jauhnya.
Sayang, serangan-serangan gencar yang dilakukan Gerdatama selalu kandas di tengah jalan. Tak hanya berhasil dihindari, tapi juga dipapak oleh manusia setengah singa. Bahkan di lain saat terpaksa serangan-serangan ganas lawannya dihindari.
"Huuup...!" Gerdatama melompat ke samping kiri sambil membabatkan pedang kearah kaki lawan yang sangat besar.
"Grauuung!"
Laki-laki setengah singa itu menggeram marah sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Kemudian dua tangannya menyambar ke samping kiri. Gerakan manusia setengah singa cepat bukan main. Sehingga angin begitu terasa menyambar kebagian tubuh Gerdatama. Dan sesaat setelah itu, jemari tangan berkuku tajam manusia setengah singa telah menghujam didada Gerdatama.
Crakkk!
Tokoh Partai Tengkorak Darah ini, meskipun tubuhnya telah tertembus kuku-kuku tajam, masih mampu membabatkan pedang pusakanya kearah pergelangan tangan lawannya.
Crakkk!
Bunga api langsung memijar pada saat pedang ditangan Gerdatama membentur tangan manusia setengah singa. Namun sungguh di luar dugaan ternyata tangan itu seperti tidak mengalami apa-apa. Jelas, manusia raksasa setengah singa itu memiliki kekebalan tubuh luar biasa.
"Aaa...!" Malah Gerdatama yang kini menjerit-jerit. Dadanya yang tertembus kuku-kuku runcing, semakin koyak. Tubuhnya langsung roboh dan menggelepar dan terus berkelojotan, sampai akhirnya terdiam. Mati. Darah semakin banyak menggenangi tubuhnya.
Manusia setengah singa itu mendengus. Lalu ditendangnya mayat Gerdatama begitu saja. Dan mendadak manusia setengah singa diam mematung, seakan ada sesuatu yang dipikirkan.
"Ayah, ibu...!" rintih laki-laki bertangan tujuh, dengan kepala tertunduk. "Aku tidak tahu, bagaimana nasib kalian! Kehadiranku hanya membuat ayah dan ibu menderita dan menanggung malu. Bahkan banyak orang lain yang memusuhimu. Mestinya dulu aku tidak usah dilahirkan..! Satria Pemali tidak ingin membuat kalian semua menderita. Tapi awas! Siapa saja yang berani menyakiti ayah dan ibu, akan mendapat ganjaran setimpal!"
Mata manusia raksasa setengah singa yang bernama Satria Pemali berkilat-kilat aneh. Setelah memperhatikan keadaan di sekelilingnya, dia menjejak tanah dibawah. Seketika terdengar suara menggemuruh disertai berhamburannya batu-batu gunung.
Di bawah kaki Satna Pemali, kini terdapat sebuah lubang yang cukup besar. Laki-laki raksasa bertangan tujuh, berkepala singa itu kemudian memasuki lubang dalam itu. Dan begitu tubuhnya menghilang, lubang itu menutup kembali.

***

Seorang pemuda berompi putih tampak tengah menggebah kuda hitamnya dengan kecepatan laksana kilat. Sesekali terdengar suara ringkikan keras, disusul teriakan penunggangnya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Dan kuda hitam itu pun semakin melesat laksana kilat. Debu beterbangan menutupi jalanan yang dilewati. Sementara penunggang kuda berompi putih itu sesekali menyempatkan menoleh ke belakang.
Tidak terlihat apa pun di belakangnya, kecuali terdengarnya derap langkah kuda dalam jumlah cukup banyak. Rupanya penunggang kuda yang tidak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti ini sudah mendengar derap kaki kuda yang mengikutinya. Tapi sampai sejauh ini, para penunggang kuda di belakang sana masih belum mampu menyusulnya.
"Hm. Aku heran, sejak tadi mereka terus mengikutiku. Sebenarnya apa yang mereka inginkan, sehingga mengejarku," kata batin Rangga dalam hati.
Sambil terus memacu kuda hitamnya, Rangga berusaha mencari akal untuk menjebak orang-orang tidak dikenal yang mengejarnya. Sampai ke mudian, tiba-tiba laju kudanya dihentikan.
"Hieeeh...!" Dewa Bayu meringkik keras, seakan tidak senang dengan sikap majikannya. Tapi Rangga lantas menepuk-nepuk punggung kuda itu.
"Tidak perlu kecewa. Kita harus bersembunyi untuk menjebak mereka yang terus mengejar!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Dengan tergesa-gesa, Rangga membelokkan kudanya kesemak-semak belukar yang terdapat di samping kiri jalan yang dilalui. Lalu dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat pada salah satu dahan pohon yang terdapat di atas jalan. Dia segera sembunyi, sambil menunggu orang-orang yang mengejarnya.
Sementara itu derap langkah langkah kuda semakin lama semakin terdengar jelas. Sebentar saja, Rangga sudah dapat melihat lima orang penunggang kuda bergerak kearahnya. Yang keseluruhannya berpakaian serba hitam dan bersenjata pedang.
Hanya sekali lirik, Pendekar Rajawali Sakti sudah dapat memastikan kalau kelima penunggang kuda itu tampaknya berasal dari sebuah perguruan silat. Walaupun demikian, Pendekar Rajawali Sakti ini tetap membiarkan orang-orang itu bergerak melewatinya.
"Kita kehilangan jejak!" teriak salah seorang yang berkumis dan bercambang lebat.
Serentak empat orang lainnya langsung menghentikan laju kuda masing masing sambil memperhatikan keadaan di sekeliling dengan tatapan curiga.
"Mustahil dia dapat menghilang seperti setan!" desis seorang laki laki berperawakan paling tegap.
"Tapi kita memang harus mengakui kalau kecepatan kudanya benar-benar mengagumkan," timpal yang lain.
"Pokoknya, kalian harus menemukan orang itu secepatnya. Siapa tahu dia mata-mata dari Partai Tengkorak Darah! Guru kita pasti tidak ingin melihat korban kembali berjatuhan!" tegas laki-laki berkumis itu seakan mengingatkan. "Ayo cari...!" Seketika itu juga empat orang lainnya segera melompat dari atas punggung kudanya. Dalam waktu singkat, mereka sudah berpencar. Belum juga mereka menemukan apa yang ditemukan tiba-tiba...
"Aaakh...!" Mendadak terdengar seruan tertahan, yang disusul oleh ambruknya salah seorang. Bahkan sekujur tangan dan kaki orang itu sangat sulit digerakkan. Untuk bicara saja, dia tidak mampu.
"Kirana!" desis salah seorang laki-laki berpakaian serba hitam yang berada demikian dekat dengan laki-laki bernama Kirana. Dia langsung berteriak memanggil kawan-kawannya yang lain. Tanpa disadari lelaki berpakaian hitam itu, kembali terlihat benda kecil berwarna hitam melesat dari kerimbunan pohon. Lalu....
Tuk!
"Akh..!" Disertai keluhan samar, laki-laki itu jatuh terduduk tak jauh dari kawannya yang bernama Kirana.
"Kirana! Turangga! Apa yang terjadi pada kalian!" desis laki-laki berkumis dan bercambang bauk, begitu berada di depan dua laki-laki yang sudah tak berdaya. Jangankan bicara, nampaknya kedua laki-laki itu sudah sulit untuk menggerakkan tangannya. "Pasti seseorang telah menotok urat gerak kawanku-kawanku!"
Setelah membebaskan totokan pada kawan-kawannya, mata laki-laki berkumis itu dengan liar memperhatikan sekelilingnya. Namun tidak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Apalagi melihat penunggang kuda yang mereka kejar tadi.
"Siapa pun yang bersembunyi, kami harap sudi memperlihatkan diri!" teriak laki-laki yang sebenarnya bernama Karta dengan gusar bukan main. Sesaat suasana berubah hening. Bahkan angin pun seakan enggan bertiup. "Kami tahu, siapa kau Kisanak. Kau berada di sekitar sini. Cepat tunjukkan diri. Jika Kisanak bukan dari Partai Tengkorak Darah, kami pasti suka memberi maaf!"
Karta memperhatikan pohon pohon di sekitarnya lebih tinggi lagi. Sampai kemudian, matanya melihat sesuatu bergerak-gerak dari sebuah pohon berdaun lebat. Namun belum sempat Karta bicara lebih lanjut, tiba-tiba saja dari atas pohon itu berkelebat sosok bayangan putih.

***

143. Pendekar Rajawali Sakti : Iblis Tangan TujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang