Kening Ketua Padepokan Belibis Putih ini langsung berkerut dalam. Kembali diperhatikan pemuda itu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Pandangan matanya yang tajam kemudian terhenti pada pedang bergagang kepala burung yang tergantung di punggung Rangga. Lalu dia pun menarik napas lega.
"Rangga! Hm.... Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti, bukan?" tebak laki-laki berbadan jangkung itu.
Rangga tentu saja tersentak kaget. Sama sekali tidak disangka kalau laki-laki di hadapannya mengenalinya. "Bagaimana Paman tahu?" Tanya Rangga, penasaran.
Laki-laki berumur sekitar lima puluh tahun ini tersenyum kecut. Wajahnya yang agak pucat, tidak menunjukkan gairah sama sekali. "Sering kudengar tentang sepak terjangmu dalam membela kebenaran, Rangga. Pakaian dan pedang yang kau bawa, itulah ciri-ciri yang selalu kudengar tentangmu," jelas laki-laki ini.
"Paman Gatama," sebut Rangga kemudian.
Sekarang laki-laki itu malah yang terjekut. "Bagaimana kau mengenal namaku, Rangga?" Tanya laki-laki bernama Gatama penuh selidik.
"Salah seorang murid Padepokan Kencana Ungu yang mengatakannya padaku, agar aku menemui Paman."
"Hm, begitu...," desah Gatama tidak bersemangat. "Lalu apa yang ingin kau ketahui dariku?"
"Maaf, Paman. Sebenamya aku tidak ingin mencampuri segala sesuatu yang terjadi disini. Tapi menurut pendapatku, apa yang dilakukan orang-orang Partai Tengkorak Darah terhadap dua padepokan bersaudara, benar-benar sangat keterlaluan," kata Rangga.
Sepasang mata Gatama yang tak memiliki cahaya kehidupan ini agak terbelalak. Namun sebentar saja sikapnya sudah berubah seperti biasa kembali. Tampak jelas kalau laki-laki berpakaian serba putih ini sedang mengalami tekanan jiwa yang berat.
"Dunia ini memang penuh segala tipu daya dan keangkaramurkaan. Sudah lama aku berusaha menguburkan penstiwa yang pahit ini. Dan rasanya tidak ada gunanya aku menceritakan segala sesuatu yang terjadi di Padepokan Belibis Putih ini."
"Maaf, Paman. Bukannya aku ingin mengungkap kesedihan hati Paman. Tapi jika Paman bersikap masa bodoh, bagaimana nasib murid-murid padepokan ini?"
"Aku memang bersikap sedkit tidak peduli setelah kepergian istriku yang sudah berlangsung sejak lama! Tapi mereka merupakan murid-murid yang sangat tahu diri," tegas Gatama tanpa semangat.
Sekarang jelaslah sudah bagi Rangga, bahwa laki-laki yang duduk di hadapannya ini benar-benar tidak peduli dengan suasana di sekelilingnya. Hal ini sangat berbahaya. Terlebih-lebih, Rangga sudah mendengar dari murid Padepokan Kencana Ungu mengenai penyerangan Partai Tengkorak Darah untuk membasmi kedua padepokan itu.
"Paman! Jika merenungi kepergian istri Paman, walau hingga seratus tahun lagi, yang sudah mati pasti tidak akan pernah kembali. Sedangkan kita yang hidup, harus menjalani sebagaimana layaknya!" kata Rangga, tanpa maksud menggurui.
Mata laki-laki tua yang selalu tampak meredup itu, sekarang terbuka lebih lebar. Gatama memperhatikan Rangga agak lama. Entah apa yang dipikirkan Ketua Padepokan Belibis Putih ini.
"Apa yang kau maksudkan, Rangga?" Tanya Gatama agak meninggi nada suaranya.
"Maaf, Paman. Aku hanya bicara tentang kemungkinan orang-orang dari Partai Tengkorak Darah melakukan serangan kesini."
"Bagaimana kau tahu?"
"Menurut murid Padepokan Kencana Ungu, Partai Tengkorak Darah akhir-akhir ini sering mengirim mata-mata. Selain itu, mereka juga telah kehilangan beberapa orang penting di Gunung Panjar!"
"Apa?!" desis Gatama, tersentak kaget. "Mereka kembali ke Gunung Panjar?"
"Benar, Paman," tegas Rangga. "Kabarnya, orang-orang kepercayaan mereka tidak kembali setelah melakukan penyelidikan."
Di luar dugaan, Gatama tiba-tiba tersenyum sinis. Tidak jelas ditujukan pada siapa. "Sejak dulu mereka memang tidak pernah berhasil membunuh putraku yang tidak memiliki salah apa-apa. Mereka menyebut putraku dengan sebutan iblis. Padahal merekalah yang iblis," tandas Gatama, berapi-api.
"Paman! Apakah benar putra Paman masih hidup?" tanya pemuda berompi putih itu, tiba-tiba.
Seketika tawa Gatama terhenti. "Kenyataan yang sebenarnya aku tidak tahu, Rangga! Mereka meramalkan kalau kelahiran anakku yang aneh hanya akan membawa melapetaka di kemudian hari. Itulah sebabnya, orang-orang Partai Tengkorak Darah menculik sekaligus membunuhnya!" geram Gatama, sambil mengepalkan tangannya.
Rangga kembali terdiam. Rupanya duduk persoalan yang sebenarnya tentang anaknya sendiri. Ketua Padepokan Belibis Putih ini tidak tahu sama sekali Dan sungguh mengherankan jika berita yang demikian gencar tentang anaknya, laki-laki bertubuh jangkung ini berusaha tidak mencari tahu. Ataukah Gatama memang sengaja merahasiakan keberadaan anaknya?
"Paman Gatama. Tahukah kalau anak Paman sekarang sedang dicari-cari oleh orang-orang Partai Tengkorak Darah?" Tanya Rangga, lebih lanjut.
Namun laki-laki berkumis tipis ini hanya menggeleng.
"Paman tidak berusaha mencarinya?" desak Rangga.
"Mencari anakku merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Kalau raksasa setengah singa itu memang anakku, tentu cepat atau lambat akan mencari orang tuanya," kilah Gatama.
"Paman tidak merasa khawatir bila dia terluka di tangan orang Partai Tengkorak Darah?" desak Rangga lagi.
Gatama menyeringai kecut. Tampak jelas pada saat itu jiwanya semakin tertekan. "Apa yang kutakutkan?" sahut Gatama seakan bertanya pada diri sendiri. "Suatu hari, aku mendapat wangsit tentang kesaktian yang dimilikinya. Dia tidak memiliki guru, dan tidak belajar llmu olah kanuragan. Kesaktiannya datang dari langit! Kau mungkin tidak percaya. Tapi aku merasa yakin orang-orang Partai Tengkorak Darah tidak akan mampu mengalahkannya."
"Mengagumkan sekali, Paman," desah Rangga. Dalam hati, Pendekar Rajawali Sakti mulai ragu akan kebenaran cerita Gatama. Dia berpikir, jangan-jangan laki-laki ini sekarang telah sinting.
"Rangga!" Suara Gatama menyentakkan Rangga dari lamunannya. Pemuda berompi pubh ini kemudian memandang seksama pada Ketua Padepokan Belibis Putih.
"Aku merasa sudah sangat tua, Rangga. Aku ingin minta tolong padamu...," ucap Gatama agak ragu.
"Katakan saja, Paman. Jika sanggup melakukannya, aku pasti akan menolongmu!" tegas Rangga.
"Begini. Jika suatu saat kau bertemu anakku yang bernama Satria Pemali, tolong katakan padanya kalau lbunya telah tiada. Dan satu lagi..., jika orang-orang Partai Tengkorak Darah menyerang kemari, tolong bantulah aku. Sekarang ini, aku merasa kekuatan yang kumiliki semakin menurun. Dan sebenarnya, aku sedang menderita sakit!" desah laki-laki itu sambil mengurut-urut dadanya.
Pernyataan Gatama tentu saja sangat mengejutkan Rangga Sama sekali tidak disangka kalau laki-laki itu menderita tekanan batin demikian parah! Bahkan membuatnya teramat menderita.
"Paman! Bolehkan aku memeriksa keadaan Paman?" Tanya Rangga, menawarkan diri.
"Tidak usah repot-repot. Aku bukan sedang menderita luka dalam akibat pukulan seseorang. Penyakit ini aku sendiri yang membuatnya. Tanpa kusadari."
Rangga merasa tidak ada gunanya membujuk Gatama. Laki-laki ini termasuk sangat keras kepala dalam pendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
143. Pendekar Rajawali Sakti : Iblis Tangan Tujuh
AksiSerial ke 143. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.