BAGIAN 6

201 13 0
                                    

"Sungguh mengecewakan! Kau pergi ke Gunung Panjar dengan belasan anak buahmu, tapi kini kau pulang tanpa membawa hasil. Bahkan semua anak buahmu terbunuh! Memalukan, Banu Keling!"
Suara itu berasal dari sebuah ruangan pertemuan di dalam bangunan Partai Tengkorak Darah, sebuah suara merdu namun mengandung kebengisan seorang wanita cantik yang tak lain Sartika Padma.
Laki-laki yang dipanggil Banu Keling sejak tadi hanya mampu menundukkan kepala dengan segenap rasa bersalahnya. Kini dia menjura hormat pada Sartika Padma yang duduk diam di singgasana.
"Maafkan aku, Ketua," desah Banu Keling penuh permohonan. "Bukan dengan sengaja hamba meninggalkan mereka. Manusia iblis itu ternyata memang masih hidup. Bahkan kesaktian dan kekebalannya luar biasa. Sampai-sampai anak panah dan senjata kami tidak mampu menembus kulitnya. Anak buahku semua tewas. Dan kupikir, aku tidak mungkin menang menghadapinya, tanpa mengetahui titik kelemahannya."
"Mengapa kau tidak sekalian mati saja bersama anak buahmu, Banu Keling?! dengus Sartika Padma, dengan wajah berubah merah padam.
Banu Keling terdiam. Kepalanya kembali ditundukkan semakin dalam. Dia merasa percuma membantah kata-kata ketuanya. Salah-salah, Sartika Padma malah membunuhnya.
"Maafkan aku, Ketua!" ujar Kakek Praba. Laki-laki tua itu juga turut hadir di ruangan ini bersama seorang ahli sihir yang juga masih merupakan anggota Partai Tengkorak Darah. "Bukan aku bermaksud membela Banu Keling." Laki-laki tua ini terdiam sejenak sambil menghembuskan napasnya "Seperti yang pernah dikatakan adik Liku Jadra, jika ternyata memang benar keturunan Gatama dapat bertahan hidup, maka dia akan menjadi orang yang sangat berbahaya. Kita harus maklum, mengapa Banu Keling tidak dapat membunuhnya. Pertama selain wujudnya yang sangat besar, anak iblis itu juga kebal terhadap berbagai senjata. Dan sekarang, satu-satunya jalan yang harus kita tempuh adalah mencari titik kelemahan manusia setengah singa itu," jelas Kakek Praba.
Sartika Padma yang berjuluk Bidadari Tangan Api terdiam. Sedangkan Banu Keling diam-diam merasa berterima kasih atas pembelaan sesepuh Partai Tengkorak Darah itu. Cukup disadari, betapa beratnya hukuman yang harus dijalaninya. Terlebih-lebih mengingat kegagalan tugas yang diberikan padanya. Kini dalam hati, dia hanya mampu berharap agar ketuanya mau mendengar apa yang dikatakan Kakek Praba.
Sementara itu Sartika Padma masih tetap diam di atas singgasananya. Sesekali keningnya berkerut dalam. Kemudian kepala berpaling pada Liku Jadra, seorang laki-laki berambut putih, usianya lebih muda dari Kakek Praba.
"Paman Jadra!" desah Sartika Padma.
"Ada apa, Ketua?" tanya laki-laki itu sambil menghaturkan sembah.
"Sudah cukup banyak orang kita yang terbunuh di tangan iblis berkepala singa itu. Mereka semua berkorban demi kejayaan Partai Tengkorak Darah. Namun tidak demikian halnya Banu Keling yang pengecut ini. Maka dia harus menjalani hukuman pancung!"
Semua orang yang berada di dalam ruangan pertemuan itu tampak terkejut. Terlebih-lebih Banu Keling. Wajahnya seketika berubah sepucat kertas.
"Ketua! Tidak dapatkah ketua memaafkan dosa-dosa hamba?" desis laki-laki bertampang kasar ini, penuh permohonan.
"Banu Keling! Tidak ingatkah kau pada peraturan yang berlaku di Partai Tengkorak Darah?" dengus Bidadari Tangan Api, tersenyum sinis.
"Ak..., aku ingat semuanya, Ketua!" tegas Banu Keling semakin ketakutan. Kini kepalanya menoleh pada Kakek Praba, seakan mohon perlindungan.
"Bagus kalau kau selalu ingat, Banu Keling!"
"Ketua. Jika Ketua memberi kesempatan padaku untuk bicara, aku punya pendapat." Liku Jadra yang hanya terdiam sejak tadi, sekarang buka bicara.
"Apa pendapatmu, Paman? Coba katakan!" ujar Sartika Padma tidak sabar.
"Begini, Ketua. Kami semua tahu, Banu Keling melarikan diri dari pertempuran melawan iblis itu. Tapi jika ketua menghukum Banu Keling, itu sama artinya kita semakin banyak kekurangan anggota. Yang kukhawatirkan, jika sewaktu-waktu manusia iblis itu datang kemari, maka semakin bertambah sulitlah keadaan kita...!"
Ucapan Liku Jadra ini tiba-tiba terhenti, pada saat terdengar suara ketukan keras pada daun pintu. Belum sempat Sartika Padma berkata apa-apa, seorang laki-laki berbadan kurus menghambur ke arah mereka. Dia langsung memberi hormat.
"Maafkan hamba .., ket... ketua...!" kata laki-laki itu, tersendat-sendat.
"Jangan bicara bertele-tele di depanku. Katakan, kabar apa yang ingin kau sampaikan!" dengus Sartika Padma tidak sabar.
"Begini, Ketua. Pimpinan rombongan bersama kawan-kawan yang lain gagal melaksanakan tugas...!" lapor anggota Partai Tengkorak Darah itu dengan wajah pucat ketakutan.
Seketika orang-orang yang berada didalam ruangan ini tersentak kaget. Sartika Padma bahkan sampai terlonjak dari tempat duduknya. Tubuhnya bergetar, menandakan kalau sedang berusaha mengendalikan kemarahannya.
"Apakah kalian telah sampai ke Padepokan Belibis Putih?" tanya perempuan berwajah cantik itu dengan tatapan menyelidik.
"Kami hampir sampai di Padepokan Belibis Putih, pada saat pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti menghadang perjalanan kami!" jelas laki-laki yang ternyata anak buah Suta Jaladara, yang sempat melarikan diri.
Mereka yang sedang berkumpul di ruangan pertemuan itu langsung terperangah. Terlebih-lebih, Kakek Praba dan Liku Jadra. Sedangkan Bidadari Tangan Api tampak terdiam.
"Jadi kalian bentrok dengan pemuda itu, Soka?" Tanya Kakek Praba yang rupanya telah mengerti banyak tentang sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti.
"Benar. Bahkan junjungan Suta Jaladara tewas di tangannya," jelas laki-laki bemama Soka itu.
"Bagaimana kawan-kawanmu?" tanya Sartika Padma semakin gusar.
"Hanya dua orang saja yang berhasil meloloskan diri dan melaporkan kemari," ujar Soka penuh penyesalan.
"Hm." Sartika Padma menggumam tidak jelas. Menurutnya, kepandaian Suta Jaladara sangat tinggi. Senjata gadanya juga merupakan senjata yang sangat ampuh dan telah banyak menewaskan tokoh-tokoh pembangkang yang tidak bersedia tunduk pada Partai Tengkorak Darah. Tapi kali ini Suta Jaladara dapat dijatuhkan oleh seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Tidak dapat dibayangkan, betapa tangguhnya pemuda yang telah membunuh Suta Jaladara dan anak buahnya.
"Kakek Praba!" sebut Bidadari Tangan Api, mendesah.
"Hamba, Ketua," sahut laki-laki itu sambil menghaturkan sembah.
"Apakah Kakek tahu tentang pemuda yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?"
"Berhadapan secara langsung memang belum pernah. Tapi hamba pernah mendengar sepak terjangnya. Kalau tidak salah, namanya Rangga. Sebenarnya, dia adalah Raja Karang Setra. Sebuah daerah yang sangat jauh dari sini. Tapi Pendekar Rajawali Sakti lebih suka mengembara. Kepandaiannya sangat sulit dicari tandingan. Kalau memang benar pemuda itu yang menghambat orang-orang kita, sama artinya kita menghadapi dua masalah besar."
"Masalah besar bagaimana, Kek..?"
"Masalah pertama, kita berhadapan dengan iblis bertangan tujuh. Sedangkan masalah kedua, mungkin kita juga harus menghadapi pemuda itu...," jelas Kakek Praba. Ada nada cemas dalam ucapannya.
"Menurutmu apakah pemuda itu adalah jago bayaran yang berpihak pada Gatama? Tanya perempuan itu curiga.
Laki-laki tua berpakaian tambal-tambalan itu menggeleng "Dia bukan jago bayaran. Tapi kabar yang kudengar, dia adalah seorang pendekar yang berpihak pada kebenaran."
"Kalau demikian, tentu dia sudah bertemu Ketua Padepokan Belibis Putih. Sehingga kemudian menghadang perjalanan rombongan Paman Suta Jaladara," tebak Sartika Padma geram bukan main.
Tidak seorang pun yang berani menyimpulkan apa yang dikatakan oleh Ketua Partai Tengkorak Darah dengan gegabah. Liku Jadra yang merupakan ahli ramal saja, hanya mampu menundukkan kepala. Hanya Kakek Praba saja yang dapat bersikap lebih berani.
"Pendapat Ketua kukira memang ada benarnya," ujar kakek tua itu mendukung. "Jika tidak, mana mungkin Pendekar Rajawali Sakti menghadang orang-orang kita tanpa mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya."
Bidadari Tangan Api terdiam lagi. Semakin masuk akal saja apa yang dijelaskan sesepuh Partai Tengkorak Darah itu. Wanita cantik ini memang pantas mengakui kecerdasan laki-laki yang selalu melindungi sejak kecil. Hanya dengan kakek inilah, dia selalu memecahkan persoalan-persoalan yang sangat berat. Tidak heran, jika terhadap Kakek Praba, Sartika Padma tidak pernah bersikap kasar.
"Rasanya persoalan yang kita hadapi semakin berat, Kek!" tanpa sadar Sartika Padma mengeluh.
"Dengan jumlah orang-orang tangguh seperti kita yang semakin menipis, alangkah baiknya jika Ketua berkenan mengampuni Banu Keling."
"Hamba sependapat dengan usul Kakang Praba!" ujar Liku Jadra, mendukung.
Ketua Partai Tengkorak Darah tidak langsung menjawab. Kini dia memikirkan sekaligus mempertimbangkan segala apa yang dikatakan kedua tokoh tadi. "Siapa yang dapat menjamin kalau laki-laki pengecut ini tdak melarikan diri saat menghadapi pertempuran?!" tanya Sartika Padma.
"Hamba, Ketua!" sahut Liku Jadra menyanggupi. "Jika dia sampai berkhianat, maka aku akan menyihirnya menjadi batu."
"Ak.., aku bersumpah tidak akan mengkhianati Partai Tengkorak Darah hingga titik darah penghabisan!" sergah Banu Keling cepat.
"Bicaramu memang kelihatan dapat dipercaya. Tapi awas! Jika sewaktu-wakru kau tidak menunjukkan rasa kesetiaanmu, maka jangan harap akan bebas dari hukuman mati"
Banu Keling mengangguk setuju. Ruangan pertemuan terasa sepi. Masing-masing orang kelihatan sibuk dengan pikirannya.
"Aku punya satu permintaan yang harus Paman Liku kerjakan!" kata Sartika Padma, memecah kesunyian.
"Permintaan apa itu, Ketua. Hamba pasti akan melaksanakannya jika mampu," jawab Liku Jadra, mantap.
"Begini! Aku ingin agar Paman mencari tahu, di mana titik kelemahan iblis bertangan tujuh!" jelas Sartika Padma.
"Mengenai itu, akan segera hamba laksanakan sekarang juga." Liku Jadra menyanggupi sambil tersenyum.
"Bagus!" ujar Sartika Padma.
Tidak lama kemudian Liku Jadra mengeluarkan sebuah benda berbentuk bulat dari dalam sakunya. Benda bulat bagaikan intan itu diletakkannya di atas permadani tidak jauh di depannya. Lalu Liku Jadra menundukkan kepala. Bibirnya tampak berkemak-kemik membacakan sebuah mantera yang hanya dia sendiri yang tahu maknanya.
Tidak lama, benda bulat mirip intan itu bergetar hebat. Lalu terlihat kabut tipis berwama merah menyelimuti. Dan kabut itu semakin menebal. Namun sebagian diantaranya menebar ke segenap penjuru ruangan. Sekejap kemudian, kabut itu menghilang. Kini Liku Jadra membuka matanya lebar-lebar.
"Lihat!" desis Liku Jadra penuh takjub.
Kakek Praba mendekat dan memandang kearah intan didepan Liku Jadra. Di sana terlihat sebuah telapak kaki berukuran besar yang mengalirkan darah. Namun Kakek Praba masih belum mengerti artinya.
Sementara Liku Jadra sendiri kembali memejamkan matanya. Bibirnya berkemak-kemik sebentar, lalu diraihnya intan bulat itu dan dimasukkannya ke tempat semula.
"Apakah arti dari semua yang kulihat tadi, Liku?" tanya Kakek Praba merasa tidak sabar.
"Cepat jelaskan, Paman Liku...!" Sartika Padma juga ikut mendesak.
Liku Jadra menarik napas panjang. "Menurut penglihatanku, manusia iblis itu memiliki titik kelemahan yang terletak di bawah telapak kakinya...!"
"Apa!" sentak Sartika Padma dengan wajah berubah cerah kembali. "Maksudmu, jika kita berhasil melukai telapak kakinya, maka kita pasti dapat melukai bagian tubuh lainnya?"
"Tepat! Hanya dengan cara itulah kita baru dapat membunuhnya. Jika tidak jangan harap kita dapat menyentuhnya!"
"Hah... Suatu pekerjaan yang tidak mudah," desah Kakek Praba.
"Memang benar," timpal Liku Jadra. "Tapi hanya itulah satu-satunya cara menghancurkan manusia iblis itu."
"Apa yang dikatakan Paman Liku benar. Kita hanya memiliki satu cara untuk menghancurkannya. Tapi aku yakin jika kita bersatu padu dalam menghadapinya, pasti dapat berhasil," tegas Bidadari Tangan Api penuh semangat.
"Baiklah. Aku setuju. Kini tinggal menentukan, kapan kita kembali berangkat ke Gunung Panjar!"
"Kita harus mencari waktu terbaik dalam melakukan perjalanan nanti, Praba," desah Liku Jadra sambil berpikir.
"Apakah besok pagi!" kata Sartika Padma. Ditatapnya Liku Jadra yang masih terus terdiam dengan kening berkerut.
"Bagaimana, Liku?" entah mengapa, mendadak saja wajah Liku Jadra berubah memucat. Kenyataan ini tentu saja membuat yang lain menjadi heran.
"Ada apa, Paman?"
"Kita tidak perlu berangkat ke Gunung Panjar, karena menusia iblis itu kini sedang bergerak kemari. "
"Apa...!" desis Sartika Padma. "Siapkan semua orang kita untuk menyambut kedatangannya, Banu Keling!"
Laki-laki bertampang kasar ini tidak perlu bertanya tanya lagi. Segera dia meninggalkan ruangan pertemuan. Sampai di luar istana, Banu Keling melihat puluhan anggota Partai Tengkorak Darah tengah tertegun-tegun merasakan sesuatu yang terasa ganjil. Dan Banu Keling juga merasakan apa yang mungkin dirasakan puluhan anggota Partai Tengkorak Darah yang terus terlongong.
"Hm... Bumi bergetar bagai dilanda gempa. Pastilah ini semua karena ulah manusia iblis itu!" kata Banu Keling dalam hati.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Banu Keling segera mengumpulkan anggota Partai Tengkorak Darah. Baik mereka yang sedang melakukan ronda, maupun yang sedang beristirahat dibarak panjang bagian belakang.
Apa yang dikhawatirkan Banu Keling memang beralasan. Terlebih-lebih dia sendiri pernah merasakan tanda tanda kehadiran manusia bertangan tujuh yang bernama Satria Pemali.
Malam ini bulan bersinar pucat, dan bersembunyi di balik mega-mega. Angin pun enggan bertiup. Jauh di luar benteng Partai Tengkorak Darah, tampak sesuatu yang sangat besar bergerak cepat di bawah tanah. Gerakan itu kemudian disusul jerit ketakutan penduduk desa sekitarnya yang masih berada di bawah wilayah Partai Tengkorak Darah. Kemudian api pun berkobar di mana-mana. Kesunyian malam segera dikoyakkan oleh teriakan serta pekik kesakitan. Rumah-rumah bertumbangan. Tidak terhitung, berapa banyak yang tersungkur ke dalam lubang yang dilalui Satria Pemali.

***

143. Pendekar Rajawali Sakti : Iblis Tangan TujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang