Satu bulan berlalu, kehidupan rumah tanggaku dengan Rendi masih sama--tak ada perubahan berarti di dalamnya. Aku masih tetap mencoba menjadi isteri yang baik baginya, belajar memasak--walau sejatinya aku sama sekali tak bisa memasak, jangankan memasak, mengenal bahan dapur pun aku tak pernah. Semenjak kecil, kedua orang tuaku memang sangat memanjakanku, mengiyakan apa yang selalu menjadi mauku dan tak pernah menolak apa yang kuharapkan, selama itu masih dalam batas wajar. Memang, aku adalah satu-satunya buah hati mereka, sehingga tak heran kedua malaikatku itu sangat memanjakanku.
Kuseka air mataku lagi, memotong bawang memang pekerjaan yang sangat sukar, bukan karena cara melakukannya, terlebih karena bawang kerap membuat mataku perih.
"Nya, biar saya saja, Nyonya istirahat dulu." Suara Mbak Darmi menginstrupsi apa yang kukerjakan.
"Nggak papa Mbak, nanti Mbak bantu aku ya, aku masih nggak bisa masaknya."
"Inggih, Nya."
Dari Mbak Darmi-lah aku belajar memasak dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Terlahir manja, bukan berarti aku harus manja selamanya bukan? Lebih lagi aku adalah seorang isteri saat ini. Yah, setidaknya cukup pantas untuk menyandang isteri dari seorang Rendi. Sampai kapan pun, aku tak akan menyerah terhadapnya, bukankah pepatah mengatakan, banyak jalan menuju Roma? Begitu pula yang kupegang teguh, akan banyak jalan untuk menggenggam hati Rendi, menjadikan aku satu-satunya perempuan di hatinya, ya selama nafasku masih ada, aku akan tetap bertahan dan berjuang untuk memenangkan hatinya.
***
Siang ini, kuatarkan serantang makanan untuk suamiku tercinta, di kantornya, sebuah kantor Firma hukum miliknya yang kebetulan terletak tak begitu jauh dari kampusku. Makanan kesukaan Rendi yang sudah susah payah kubuat, meski aku tak begitu yakin dengan hasilnya, tapi semoga saja Rendi menyukainya.
"Saya ingin bertemu Pak Rendi," ucapku pada sekretaris Rendi yang bernama Denna--kubaca dari name tag-nya.
"Eh, anu Bu ... itu Bapak sedang ada tamu."
"Sebentar saja, saya ada kuliah setengah jam lagi."
"Eh ... Bu, tapi--"
"Sebentar saja kok." Denna terlihat ingin menahanku ketika aku telah memasuki ruangan ini.
"Kak Ren--" suaraku tercekat saat mataku harus melihat perempuan itu di ruangan ini, perempuan yang kuketahui bernama Shandy--alasan Rendi menikahiku, karena patah hatinya pada Shandy, perempuan yang kuyakini masih ada di hati Rendi.
"Oh, ada Shandy, ha ... hai Shandy, apa kabar?"
"Eh, Kak Lea. Baik, Kakak gimana?" Shandy menyodorkan tangannya padaku.
"Baik, kamu?"
"Baik juga."
"Eh Kak Ren, ini makan siangmu. Cukup kok kalau Shandy mau makan juga, aku harus pergi, sebentar lagi ada kuliah soalnya."
"Mari Shan, Kak. Aku permisi."
Aku keluar dari ruangan itu, kulihat Shandy mengangguk sedang Rendi pun masih diam, hanya memberiku sebuah senyum yang kurasa tak ada gunanya. Aku bangga pada diriku sendiri, karena bisa menahan air mata sialan ini yang saat ini telah keluar, menahan sakit di dadaku yang teramat sesak. Tak pernah kubayangkan Shandy akan kembali pada kehidupan Rendi. Membuatku takut kehilangannya, dan ketakutanku yang hanya aku yang tahu, ketakutan yang kupeluk sendiri.
"Lo kenapa, Le?"
"Eh? I'm okey, Ra!"
Bahkan aku tak sadar telah sampai di kampus, mungkin patah hati membuat otakku tak bekerja dengan baik, kusyukuri pada Tuhan, karena aku tak menabrak selama di perjalanan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, My Rendi
Romance"Ini tentang perjalanan hidupku, pernikahanku dengannya, dia yang menjadikanku pelampiasan cintanya, mengenai bagaimana aku mencintai seorang laki-laki--kakak sahabatku, Rendi Alfarezi, pria yang telah menghuni hatiku sekian lama." -Lea Mareliva Pa...