Setiap hal yang kujumpai pada pagi hari selalu sama. Menyiapkan sarapan untuk Rendi dan keperluan kantornya, setelahnya menjalani makan pagi yang membosankan dengan pria yang kucintai itu. Mungkin, karena tak ada nyawa dalam pernikahan ini dan ya selalu berakhir dengan kepergianku ke kampus, tanpa salam perpisahan dari Rendi. Selalu seperti itu, tapi kabar bagusnya, Rendi sedikit berubah sejak kedatangan Naola beberapa waktu lalu. Kami sering menjalani rutinitas sebagai suami istri sejak saat itu.
Mungkin, ada yang berbeda pagi ini. Rutinitas pagi yang membosankan itu sungguh ingin kuubah dengan sedikit keceriaan, entahlah, yang jelas pagi ini aku benar-benar menginginkan sarapan romantis dengan Rendi. Tapi, masalah dari semuanya adalah, aku tak kuasa meminta pada Rendi untuk memenuhi keinginan konyolku itu, melihat ekspresi datar Rendi pagi ini. Seperti ekspresi-ekspresi pada pagi yang lalu. Sungguh, kadang aku bertanya pada malam yang tak memiliki jawaban, mengapa Rendi begitu berbeda ketika berbicara denganku dan Ara--adiknya? Padahal statusku sebagai isterinya, walau bukan isteri yang dicintainya. Aku cukup tahu diri.
"Kenapa?"
"Apa?"
Rendi melirikku sekilas dari balik koran Jawa Pos yang sedang dibacanya.
"Kenapa kamu gelisah?"
"Bukan apa-apa."
"Oh."
Kutelan roti selai di depanku dengan setengah hati. Lalu, meneguk teh hangat yang kubuat tanpa gula. Bukannya aku diet, tapi aku memang tak menyukai banyak gula pada minuman yang kutelan. Aku benar-benar kesal pada Rendi yang irit bicara.
"Katakan keinginanmu," katanya lagi, kuhela napas panjang. Sembari menghitung dalam hati, antara berterus terang atau tetap berdusta.
"Aku, ak--"
"Cepatlah, Le ... aku tak punya banyak waktu."
Rendi menutup korannya, dan meletakannya di meja makan.
"Suapin aku nasi gorengmu itu," paparku lancar. Aku tak tahu kalimat dari otakku yang sebelah mana, sehingga mulutku ini lancang berujar.
"Hah?"
"Eh, anu itu Kak ... lupakan saja, hehe."
Rendi menaikkan satu alisnya, lalu tangan kananya menyodorkan sesondok nasi goreng padaku.
"Makanlah, aku harus segera kerja."
Aku menurut dan menghabiskan nasi goreng di piring Rendi, dengan suapan pria itu. Kurasa mimpi kejatuhan Durian semalam adalah jawaban dari pagi ini.
"Nanti aku akan makan siang dengan Shandy, kamu nggak perlu nganterin makanan."
"Uhuk ... uhuk ... uhuk." Aku tersedak, kuambil air putih di gelasku lalu meneguknya cepat-cepat.
"Kamu nggak papa?"
"Hem ...."
"Sudah kan, makannya?"
Aku mengangguk, walau masih dongkol dengan Rendi yang merusak moment romantis ini dengan pernyataannya mengenai makan malam dengan Shandy.
"Hati-hati, Kak."
***
Sepulang dari kampus, untuk mengambil keperluan wisudaku, aku mampir ke kafe milik Adit. Seperti biasa, memesan segelas cokelat panas--minuman favoritku dengan duduk di spot kesukaanku pula. Jam di tanganku baru menunjukkan pukul 11 pagi menjelang siang. Yah, rencanaku hari ini adalah menguntit Rendi dan Shandy dalam acara 'kencan' mereka. Lalu, berperan menjadi medusa yang mengacaukan makan siang mereka. Biarkan saja, toh menguntit suami itu tidak dosa, selama itu berdampak positif. Sebagai perempuan, aku hanya ingin mempertahankan rumah tanggaku saja. Tidak lebih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, My Rendi
Romance"Ini tentang perjalanan hidupku, pernikahanku dengannya, dia yang menjadikanku pelampiasan cintanya, mengenai bagaimana aku mencintai seorang laki-laki--kakak sahabatku, Rendi Alfarezi, pria yang telah menghuni hatiku sekian lama." -Lea Mareliva Pa...