"Selamat, anda sedang mengandung, ini kantung janinnya, sudah masuk minggu ke tujuh," ucap Dokter Mei, aku terbeliak. Hamil?
"Anda serius, Dok? Tapi saya tidak mual atau pusing."
Dokter itu tertawa kecil. "Iya, ibu. Tidak semua wanita hamil mengalami hal demikian, makanya ada wanita yang baru mengetahui kehamilannya setelah tiga atau empat bulan, karena menganggap itu siklus haid yang biasanya telat, apalagi untuk kehamilan pertama. Usahakan jaga kandungannya dengan baik ya, Bu. Makan makanan yang bergizi, jangan olahraga berat dan jangan stres."
"Baik, Dok. Terima kasih."
Aku lalu berkonsultasi pada Dokter Mei, tentang apa yang tidak dan harus kulakukan. Kujabat tangan Doktet bernama Mei itu, lalu segera keluar dari ruangannya setelah aku selesai dengan pemeriksaanku dan juga konsultasi mengenai kehamilanku.
Kuhirup napas sebanyak yang kumampu, memegang perutku gamang. Bukannya aku tak bahagia hanya saja aku masih belum percaya dengan kehadirannya. Pagi tadi memang Ara menyarankanku untuk pergi ke dokter kandungan, untuk memastikan kehamilanku.
"Lo gemukan deh, kayak orang hamil. Coba periksa ke dokter langganan gue," ucapnya pada sore itu, selepas pertemuan kami di kafe milik Adit yang sekarang menjadi tempat favoritku.
Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit, menuju sebuah apotik yang terletak di lantai paling bawah, tentu aku menggunakan lift untuk turun, tak mau terlalu bodoh untuk menuruni anak tangga dari lantai 3 ke lantai 1, terlebih ada nyawa yang tengah kubawa saat ini.
Setelah sampai apotik, aku mengeluarkan kertas resep pemberian Dokter Vita lantas mengangsurkannya pada apoteker, setelah berbasa-basi sedikit.
"Ini Mbak obatnya, semuanya tiga ratus ribu rupiah," ucapnya. Aku tersenyum tipis dan menyerahkan sejumlah uang pada apoteker itu.
"Le!" Panggil seseorang ketika aku berbalik badan.
"Adit? Ngapain lo di sini?"
"Mau beli vitamin. Lo sendiri?"
"Nebus obat, nih."
"Lo sakit?"
"Nggak."
"Terus?"
"Gue hamil."
Adit membelalakkan matanya, menatapku tak percaya untuk sepersekian menit, hingga aku menepuk dahinya pelan untuk membuat jiwanya kembali menepi.
"Kok bisa?"
"Ya bisalah, gue kan punya suami."
Laki-laki itu terlihat salah tingkah dengan menggaruk belakang kepalanya dan bibirnya yang tersenyum malu.
"Lo mau pulang?"
"Heeh."
"Naik apa?"
"Taksi."
"Gue anterin ya?" Tawarnya.
"Nggak deh, lo kan mau nebus obat."
"Itu bisa nanti, yaudah yok!"
Adit menggandeng tanganku lalu mengajaknya naik ke mobil yang beberapa waktu lalu sempat kupinjam. Tanpa mengidahkan penolakanku. Laki-laki ini memang pemaksa. Dan, suatu kebetulan aku bertemu dengannya lagi hari ini.
***
"Makasih ya."
"Ok, gue balik dulu."
"Hm, hati-hati."
Aku melambaikan tangan pada Adit yang sudah mengemudikan mobilnya meninggalkan kompleks perumahanku, selepas mengantarku pulang. Sedikit bersenandung, aku melangkah memasuki kediamanku dengan hati yang berbunga, membayangkan statusku yang sebentar lagu akan berubah menjadi seorang 'ibu'. Oh Tuhan, aku sudah tak sabar. Mungkin Rendi juga akan bahagia mendengar kabar ini atau mungkin sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, My Rendi
Romance"Ini tentang perjalanan hidupku, pernikahanku dengannya, dia yang menjadikanku pelampiasan cintanya, mengenai bagaimana aku mencintai seorang laki-laki--kakak sahabatku, Rendi Alfarezi, pria yang telah menghuni hatiku sekian lama." -Lea Mareliva Pa...