Pagi ini Seno dan kedua orang tuanya tengah menikmati sarapan pagi bersama. Suasana cukup hening, tidak ada percakapan antara mereka. Yang ada hanya suara dentingan garpu dan sendok yang saling beradu di atas piring. Namun, selang beberapa menit, Regina membuka suara, percakapan pun terjadi antara mereka bertiga.
"Seno, kapan kamu akan mengenalkan calon menantu kepada mama sama papa?" tanya Regina disela-sela mengunyah makanan.
Seno menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah ibunya. "Maksud, Mama? Bukannya Seno pernah bilang kalau Seno akan menikah dengan Cristie."
Regina meletakkan sendok dan garpu di atas piring. "Seno, harus berapa kali mama bilang. Kalau mama sama papa tidak akan pernah setuju kamu menikah dengan Cristie. Apa kamu lupa dengan apa yang sudah orang tuanya perbuat kepada kita."
"Apa yang mamamu katakan memang benar, Nak. Mereka pernah membuat kita terjatuh, dan sekarang kamu ingin menikahi putrinya," sela Akbar.
Seno terdiam sejenak. "Seno tidak peduli dengan apa yang pernah terjadi dulu. Yang jelas, Seno akan tetap menikah dengan Cristie. Keputusanku sudah bulat, jadi Seno minta mama sama papa bisa menerimanya."
"Seno sudah kenyang." Seno berdiri dan beranjak pergi meninggalkan meja makan.
Regina menghembuskan napasnya, ia tidak menyangka jika putranya itu tetap bersikukuh untuk menikah dengan Cristie. Wanita karier yang telah mampu membuat Seno mabuk kepayang. Namun Regina sama sekali tidak setuju jika putranya menikahi wanita itu. Memang cantik, tetapi kepribadiannya sangat diragukan.
"Sudahlah, Ma. Jangan dipaksa terus, nanti lama-lama Seno pasti akan menikah," ucap Akbar yang mencoba menenangkan sang istri.
"Iya, Pa. Mama tahu, tapi kita harus lebih waspada. Mama tidak setuju jika Seno menikah dengan wanita itu," ungkap Regina penuh dengan kekesalan.
"Papa tahu, Ma. Ya sudah lanjut dulu sarapannya." Akbar kembali melanjutkan sarapan paginya, begitu juga dengan Regina.
Sementara itu Seno tengah bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Pria berjas itu saat ini tengah mengambil kunci mobilnya, setelah itu ia bergegas masuk ke dalam mobil. Perlahan mobil BMW i8 berwarna putih melaju meninggalkan halaman rumah mewah berlantai dua. Mobil melaju dengan kecepatan cukup tinggi, Seno memilih fokus untuk menyetir meski ucapan orang tuanya masih terngiang-ngiang di telinga.
"Ah, sial. Kenapa sih mama sama papa tidak pernah setuju kalau aku menikah dengan Cristie." Seno memukul setir mobilnya dengan hati yang cukup dongkol.
"Tapi kalau aku tidak nurut, mama sama papa tidak akan tinggal diam," ucap Seno kemudian.
Setelah itu Seno mengambil ponselnya, ia berniat untuk menelpon Cristie. Namun setelah dicoba, sama sekali tidak ada jawaban. Jujur, ia merasa kesal dengan kekasihnya itu. Semenjak pergi ke luar negeri, komunikasi mereka memang kurang baik. Cristie seperti tidak ada waktu untuk sang kekasih.
***
Mobil BMW i8 berwarna putih berhenti di pelataran kantor. Dengan cepat Seno keluar dari mobilnya, sebelum melangkahkan kakinya ia terlebih dahulu membenarkan jasnya. Setelah itu Seno berjalan memasuki gedung bertingkat tersebut. Seno hanya tersenyum dan mengangguk saat mendapat sapaan dari para pegawainya.
"Seno, tunggu." Suara yang sudah tak asing lagi mampu membuat Seno menghentikan langkahnya. Pria berjas itu menoleh ke arah sumber suara tersebut.
"Ada apa?" tanya Seno.
"Ke ruangan meeting sekarang, sebentar lagi meeting dimulai," ucap Bima, asisten pribadi Seno, sekaligus teman dekatnya.
Seno mengernyitkan keningnya, ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu baru menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit, tetapi Bima bilang meeting akan segera dimulai. Seno menghela napas dan kembali menatap pria di hadapannya itu.