Hari telah berganti, sejak kejadian semalam keduanya sama-sama diam. Hanum malu saat mengingat kejadian itu, begitu juga dengan Seno. Saat ini keduanya tengah menikmati sarapan pagi, tidak ada percakapan yang ada hanya dentingan garpu dan sendok yang saling beradu di atas piring. Sesekali Seno melirik ke arah wanita yang duduk di hadapannya, tetapi Hanum tetap fokus pada makanannya.
"Ehem, cepat selesaikan sarapannya. Sebentar lagi kita harus pergi," ucap Seno mencoba mencairkan suasana.
"Ba-baik, Tuan." Hanum menganggukkan kepalanya, setelah itu ia segera menghabiskan sarapannya.
Setelah selesai, Hanum langsung membereskan bekas makan tersebut. Tak lupa ia juga mencuci piring dan gelas yang kotor. Selepas itu Hanum segera bersikap untuk pergi ke butik, tentunya bersama dengan Seno. Setelah siap keduanya segera keluar dari apartemen dan melangkahkan kakinya menuju lift.
Tidak butuh waktu lama kini Seno dan Hanum sudah berada di dalam mobil. Perlahan mobil BMW i8 berwarna putih milik Seno melaju meninggalkan apartemen tersebut. Hanum memilih untuk melihat ke luar jendela, sementara Seno fokus untuk menyetir. Pria berjas hitam itu teringat akan kekasihnya yang telah lama pergi. Terkadang dalam benak Seno beranggapan jika Cristie telah melupakannya.
"Sayang, apa kamu telah melupakanku. Sudah tiga tahun lebih kita berpisah, tiga tahun lebih juga aku tidak pernah mendengar kabarmu," batin Seno.
"Hanum, setelah kita menikah nanti. Aku harap kamu bisa menyembunyikan status kita kepada orang lain, terutama Cristie. Aku tidak ingin dia tahu kalau kita menikah," ungkap Seno. Ia benar-benar tidak ingin orang lain tahu jika dirinya akan menikah.
"Maksud, Tuan." Hanum menoleh menatap pria di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat begitu bingung.
Seno menghela napas. "Aku ingin kita menyembunyikan status pernikahan kita. Jangan sampai orang lain tahu, terutama Cristie, apa kamu paham."
Hanum terdiam sejenak. "Baik, Tuan saya paham."
"Ok." Seno bernafas lega, setelah itu ia menambah kecepatan laju mobilnya agar cepat sampai ke butik.
Setelah hampir satu jam lebih, kini mobil Seno sudah terparkir di pelataran butik milik ibunya. Sejujurnya ia malas untuk datang, tetapi jika tidak datang. Regina pasti akan marah, Seno takut jika nanti banyak orang tahu kalau dirinya akan menikah. Seno tidak ingin pernikahannya dengan Hanum diketahui oleh orang lain, karena itu bisa menjadi masalah di masa yang mendatang.
Seno dan Hanum bergegas turun dari mobil, keduanya melangkah masuk ke dalam butik tersebut. Setibanya di dalam, terlihat jika Regina telah menunggunya. Seno dan Hanum berjalan menghampiri Regina, ada rasa gugup dalam diri Hanum, tetapi ia tepis jauh-jauh. Berbeda dengan Seno, yang ia rasakan adalah takut dan khawatir, jika sampai orang lain tahu.
"Akhirnya kalian datang juga, Hanum ayo kamu coba baju pengantinnya." Regina menarik tangan Hanum untuk ikut dengannya. Wanita berambut panjang itu hanya bisa pasrah.
"Ma, Seno ke kantor dulu ya. Nanti kalau sudah selesai, Mama telpon Seno," ucap Seno, ia berniat untuk pergi agar bisa menghindar. Namun usahanya gagal, lantaran Regina mencegahnya.
"Kamu tetap di sini, mama sudah menyuruh Bima untuk menghandle semua urusan kantor. Jadi kamu tidak perlu khawatir," ungkap Regin, hal itu sukses membuat Seno mati kutu.
Pasrah, itu yang akan Seno lakukan. Tidak ada alasan lagi untuk bisa pergi, ternyata ibunya lebih cerdas dari yang ia bayangkan. Seno menghela napas, setelah itu ia memilih untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Sementara itu, Regina dan pegawai butik itu tengah membantu Hanum untuk mencoba baju pengantin yang akan Hanum pakai nanti.