Si penyuka Bintang

35 11 3
                                    

Namanya Akia Chandani, orang-orang memanggilnya Kia. Rambut pendeknya sudah melekat pada dirinya. Matanya yang sedikit sipit seringkali mendapat olokan dari teman-temannya "hey Kia, kalau jalan jangan merem hahaha." dan tentu ia sudah terbiasa akan hal itu, karena hanya teman-teman terdekatnya lah yang berani seperti itu kedia.

Ayahnya seorang dokter ahli bedah. Dengan profesi dokter bedah, ayah Kia jarang ada di rumah. Tak jarang Kia membenci pekerjaan sang ayah, namun ia sadar bahwa itu sebuah kewajiban bagi seorang dokter dan sang ayah juga wajib menolong orang-orang yang membutuhkannya.

Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Sebenarnya ibu Kia mempunyai butik, tapi karena ibu Kia mempunyai pengalaman yang tidak mengenakan akhirnya ibu Kia memilih menjual butik nya tersebut.

Ia memiliki satu adik laki-laki yang sekarang tengah bersekolah menengah pertama.

Hari ini hari kenaikan kelas, Kia sekarang sudah kelas 11 SMA. Sejujurnya ia tak begitu senang dengan kenaikan kelas, ia merasa waktu-waktunya di sekolah tidak banyak lagi. Dulu, saat Kia masih duduk di bangku sekolah dasar ia memiliki cita-cita yang sangat konyol sehingga membuat teman-teman sekelasnya beserta satu guru tertawa.

"Ada yang mau beritahu ke ibu apa cita-cita kalian?"

"Kia bu"

"Apa cita-cita kia?"

"Ga mau naik kelas bu." semua yang ada di kelas pada saat itu tertawa. Bagaimana tidak, anak lain ingin naik kelas. Hanya Kia saja yang mempunyai keinginan tidak naik kelas.

"Loh memangnya kenapa Kia?"

"Kia mau di sekolah ini saja bu, tidak mau berganti sekolah. Kalau kita selalu naik kelas, pasti kia akan segera meninggalkan sekolah ini." Kia terdiam sejenak, lalu melanjutkan perkataannya.

"Bu, Kia benci perpisahan." ujarnya lirih.

Akia Chandani, gadis yang selalu ceria ternyata mempunyai satu hal yang ia benci yaitu perpisahan.

"Kiaaaaaa woy jangan melamun."

"Dina, ngangetin aja deh."

Dina temen sekelas Kia. Mereka berdua sangat akrab. Karena memang mereka berteman sejak SMP.

"Mikirin apasih? Dari tadi aku ajak ngobrol kamu, kamu nya malah diem."

"Mikirin mie ayam buatan ibu kantin."

"Hahaha kamu lapar? Yaudah ayok kekantin."

Dina sudah terbiasa melihat ekspresi Kia yang selalu datar saat kenaikan kelas. Ia tau memang Kia tidak suka dengan perpisahan, apalagi saat perpisahan SMP. Dina sedikit tertawa jika mengingat hal itu.

Saat perpisahan SMP, Kia tidak ingin pergi. Ia memilih mengurung dirinya dikamar dengan tangisan-tangisan yang begitu menyayat hati menurut Kia, namun menurut Dina itu sangat lucu.

Memang akhirnya Kia mau ke acara perpisahan setelah di bujuk habis-habisan dengan ayah, ibu, dan juga Dina. Setelah acara selesai, Kia tetap menangis memeluk teman-temannya.

Obrolan mereka pada saat itu sudah tidak asing di dengar. Mereka pasti berjanji tidak akan sombong, harus berkomunikasi selalu dan setelah beberapa hari mereka melupakan obrolan tersebut.

Itulah mengapa Kia sangat membenci perpisahan. Kia tau jika berpisah pasti akan menjadi orang asing satu sama lain. Kecuali dengan Dina, Dina masih menjadi temannya sampai saat ini. Tak banyak alasan mereka masih berteman, hanya saja menurut Dina Kia berbeda dari yang lain dan Dina nyaman berteman dengan Kia.

"Bu kantin, mie ayam nya dua yaaa hehehe."

"Iya neng siap."

Kia dan Dina duduk sembari menunggu makanan datang. Di sela-sela obrolan bersama Dina, Kia terlihat sedang mencari seseorang. Mukanya sedikit kecewa setelah mengetahui orang yang ia cari tak kunjung muncul.

BintangKuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang