one : photo

5.3K 601 273
                                    

Seorang pria berdiri di depan sebuah bangunan tua dengan pandangan kagum. Ia sangat menyukai rumah-rumah bermodel klasik. Dipandangnya papan tua yang hampir seluruhnya berkarat bertuliskan "Panti Asuhan" tanpa nama. Yah, sebenarnya panti itu punya nama, hanya saja, pria bersurai pink itu tidak bisa membaca tulisan yang sudah tertutup karat.

Kemudian, pria lain berambut hitam menghampiri dan merangkul pundaknya. "Kenapa belum masuk?"

"Aku menunggumu, Hendery," balasnya tanpa repot-repot menoleh. "Sepi sekali. Sudah berapa lama tidak terpakai?"

"Sepuluh tahun ... mungkin? Setelah aku berumur delapan belas, panti ini berhenti beroperasi," cerita Hendery. Pria itu tersenyum. "Ayo masuk. Ibu pasti menunggu."

Tangan dipundaknya beralih menggandeng si manis, mengajaknya masuk ke dalam. Meski bangunan itu sudah tua, tapi ternyata sangat bersih dan nyaman. Apalagi untuk Hendery, yang sejak kecil tumbuh di sini. Setiap sudutnya menyimpan kenangan tersendiri baginya.

"Ibu?" panggil Hendery. Tak lama, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam.

"Hendery..?" Rautnya terlihat bahagia. Hendery menghambur ke pelukannya. Wanita yang telah ia anggap seperti ibu kandungnya itu masih terlihat bugar, kendati usianya telah menyentuh angka enam puluhan.

"Maaf, Ibu. Aku datang terlambat. Sepertinya anak-anak yang lain sudah kemari, ya?"

"Iya, kemarin mereka ramai-ramai kemari. Kenapa kamu baru datang sekarang?"

"Aku sangat sibuk, Bu. Oh, iya," Hendery memanggil pria yang tadi bersamanya untuk mendekat. "Ini istriku, Xiao Dejun."

Yang disebut namanya langsung membungkuk sopan. "Halo ... Tante?"

Sang wanita terkekeh. "Aku kan juga ibumu." Tangannya mengusap pundak Dejun. "Ayo kita mengobrol di ruang tengah saja."

"Uhm, tunggu.." panggil Dejun membuat dua orang di depannya urung berjalan. "Boleh aku melihat-lihat tempat ini?"

"Tentu saja, ini juga rumahmu, sayang," ujar sang ibu. "Kau boleh melihat-lihat, tetapi jangan ke halaman belakang, ya."

"Siap, Bu!"

"Jangan sampai hilang kamu, ya," kata Hendery jenaka, sebelum mengikuti ibunya masuk ke dalam.

"Memangnya aku anak kecil," gumam Dejun. Matanya mengobservasi tiap sudut ruang tamu. Mulutnya tak berhenti menggumam kagum menatap hiasan-hiasan antik di rumah. "Kalau dijual pasti harganya mahal sekali."

Dejun berjalan keluar rumah. Mengamati sekitar panti yang sepi, tak ada rumah lain di sana. Hanya ada sawah dan alas. Tapi bagi Dejun, ini pemandangan favoritnya. Udaranya masih segar, tidak seperti rumahnya yang berada di tengah kota. Pemandangannya pun cuma bangunan-bangunan membosankan.

Tubuhnya berbalik, kembali meneliti bangunan panti. Pandangannya tertuju pada satu pagar kecil di samping rumah. Penasaran, Dejun menghampirinya.

Pagar setinggi satu setengah meter itu dikunci dengan rantai karat tanpa gembok. Nampaknya, sudah lama tidak ada yang membukanya, dilihat dari ilalang yang tumbuh menutupi nyaris separuh pagar. Tapi, Dejun sudah kepalang penasaran. Tangannya bergerak menarik pelan rantai hingga tidak lagi mengunci. Lalu, ia buka perlahan pagar itu, menciptakan bunyi derit yang cukup keras.

Dejun menatap sekitarnya, memastikan tak ada yang melihatnya. Seperti mau maling saja.

Si Xiao menyusuri gang sempit dengan rerumputan yang tinggi. Gang itu merupakan celah antara dinding rumah dengan dinding pembatas sawah dengan area rumah. Tapi untuk apa fungsi celah itu?

RESENTMENT • henxiao ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang