"Kita harus bertanya pada Winwin."
"Tidak," Dejun menahan tangan suaminya. "Jangan seret dia ke dalam masalah ini."
Hendery diam. Dalam hati, ia juga membenarkannya. Winwin pasti punya permasalahan sendiri. Hendery bahkan melihat sendiri tadi temannya mabuk.
"Benar." Hendery menyimpan kembali ponselnya. "Seharusnya aku juga tidak menyeretmu. Ini masalahku."
"Apa katamu?" Dejun memengang kedua pundak Hendery. "Dengar ya, ini bukan hanya masalahmu. Ini masalah kita!! Jangan pernah merasa menanggung beban sendiri. Masalahmu adalah masalahku. Kita harus mencari solusi bersama."
Si Wong tidak menyangka akan mendengar itu dari istrinya. Hendery diam, tak mengucap apapun. Tapi langsung menarik Dejun ke dalam pelukan hangatnya. Tak lupa, ia kecup dalam-dalam keningnya.
"Terima kasih untuk selalu bersamaku. Maaf, aku tidak bisa menjadi laki-laki yang sempurna untukmu."
"Hei, it's alright." Dejun mengusap punggung suaminya. "Terima kasih telah membuka hatimu untukku. Terima kasih sudah mau menceritakannya padaku. Aku tahu, pasti kejadian itu meninggalkan rasa penyesalan. Sekarang, kita harus memperbaikinya bersama."
Si Xiao mengecup singkat pipi Hendery, lalu terkekeh pelan.
"Sudah hampir jam delapan, Dejun. Ayo makan."
Senyumnya sirna. Dejun menggeleng kecil. "Aku masih kenyang."
"Dejun, makan. Nanti kamu sakit."
"Tapi, dapurnya.." Dejun menggantung kalimatnya, tapi sudah cukup membuat si Wong paham.
"Ya sudah. Kalau begitu tunggu di sini, ya. Aku yang masak, bagaimana?"
Si manis menggenggam erat tangan Hendery. "Aku ikut."
***
Pria bermarga Xiao itu baru selesai mandi, setelah perjuangan melawan rasa takutnya. Ia memilih kamar mandi yang ada di kamar, bukan yang di dekat dapur. Sepertinya dia tidak akan memakai kamar mandi itu lagi.
"Sudah selesai?" tanya Hendery. Ya, Dejun sampai meminta suaminya itu untuk menunggunya di kamar, saking takutnya.
"Sebentar lagi. Jangan kemana-mana, lho."
"Iya, sayang." Sambil menunggu, Hendery memainkan ponselnya di atas ranjang. Menggulir layar yang menampilkan berita-berita terbaru. Namun, fokusnya buyar, teringat foto yang mereka tinggalkan di ruang tengah semalam. Ditatapnya pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Tinggal sebentar tidak apa-apa, kan? Kan cuma mau ambil foto.
Hendery meletakkan ponselnya di meja nakas, turun dari ranjang dan beranjak keluar kamar. Menyusuri setiap ruangan sambil mematikan lampu-lampu dan membuka tirai, membiarkan cahaya matahari pagi mengisi rumahnya. Terakhir, Hendery kembali ke meja depan tv. Foto itu masih di sana.
Pendengarannya menajam. Samar-samar terdengar suara air dari dapur. Apa Dejun sudah selesai mandi?
"Dejun?" panggilnya sambil berjalan ke dapur. Namun, tak ada siapa-siapa di sana. Hanya kran air yang menyala. Hendery langsung menutup krannya penuh tanya.
Lagi, suara air itu terdengar. Kali ini dari kamar mandi yang tak jauh dari tempat ia berdiri. Hendery berjalan perlahan, mendekati pintu kamar mandi dengan ragu. Tangannya menyentuh pintu, lalu mendorongnya pelan.
Tidak ada apa-apa, Hendery menghela napas lega. Sepertinya ia mulai terpengaruh oleh ketakutannya sendiri, sampai berhalusinasi hal-hal menyeramkan. Tak ingin membuat Dejun menunggu, Hendery masuk ke dalam dan mematikan kran airnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESENTMENT • henxiao ✔
Fiksi Penggemarresentment [rəˈzentmənt] (n) kebencian; dendam; kemarahan. Apa yang kau tanam, itu yang kau tuai. ▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄▄ - story by liuphoria written in Indonesian - horror!au; bxb - bahasa baku - cover : pinterest - contains misgendering, mpreg ...