Ajang Pencarian Jodoh

13 2 0
                                    

Walau tertatih kaki Giana kini berhasil berada tepat di depan bangunan cukup megah, ia menarik napas kasar setelah seharian mencari alamat yang diberi Cesha. Entah apa maksud sahabatnya itu, yang jelas ia benar-benar kesal.

Bagaimana tidak. Semalam penuh dia memohon, meminta agar dirinya mau pergi ke tempat yang konon katanya akan mudah mendapatkan jodoh. Awalnya Giana menolak. Namun, Cesha selalu punya cara agar keinginannya terpenuhi.

"Aku sahabat kamu, 'kan? Dua hari lagi ulang tahunku dan aku mau kamu datang bersama seseorang." Cesha terus saja memohon via gawai.

"Cesha, aku enggak bisa datang ke alamat itu. Enggak ada gunanya."

"Ayolah, demi aku. Kamu coba dulu jalani dengan jodohmu di sana, kalau enggak cocok boleh pisah, kok." Ibanya, lagi.

Giana menarik napas, permainan apa itu. Jika tidak cocok boleh berpisah? Ah, selemah itukah cinta. Ia tidak habis paham dengan cara pikiran seseorang yang menurutnya labil. Mengapa harus ada permainan dalam cinta? Cinta itu sakral dan bukan bahan lelucon.

"Giana, mau, ya. Demi aku, sekali ini saja." Kali ini Cesha memohon lebih, berharap sahabatnya menurut. Bukan apa, ia hanya tidak ingin wanita itu tetap terjebak pada kisah masa lalu.

Kisah yang bahkan tidak tahu kapan akan berakhir. Selama ini, tidak pernah ia temui cinta pada diri Giana. Bahkan, sejak kuliah pun bukan sedikit lelaki yang mencoba mendekati. Namun, selalu ditolak. Cesha hanya ingin Giana terlepas dari bayang seseorang yang telah meninggalkannya.

"Oke, aku coba, tapi ini yang terakhir." Keputusan berat itu mendarat dengan sempurna. Menyebalkan!

Giana memijit pelipis yang terasa pening, ragu untuk masuk ke dalam rumah itu. Ia benci permainan yang menyangkut dengan perasaan. Baginya, cinta sejati tidak perlu dicari, dia akan datang dengan sendiri pada waktu yang sudah tepat.

Menarik napas kembali, mencengkram kuat tali tasnya. Perlahan mendekat lalu menekan bel, tidak membutuhkan waktu lama, seorang wanita berpakaian merah muda dengan nuansa bentuk hati di setiap sisinya membuka pintu, melebarkan senyuman dan mempersilakan masuk.

Wanita itu membawa Giana pada sebuah kolam renang di belakang rumah lalu memasangkan nomor peserta pada bajunya, di luar dugaan, puluhan anak manusia sudah berkumpul. Mendadak ia merasa resah karena hanya dirinya yang berbeda.

Beberapa wanita seusianya memakai gaun mewah, sedangkan ia sendiri hanya memakai jeans dan kaos berwarna putih. Giana melangkah ragu. Setiap pasang mata menatap dengan berbeda pandangan. Namun, ia acuh. Mengontrol diri agar terlihat biasa saja.

Seorang wanita datang, memakai pakaian seperti wanita lain yang baru saja membukakan pintu. Ia mengarahkan mangkuk besar yang terhias indah, matanya mengedip ke bawah memberi tanda jika Giana harus memasukkan tangannya pada benda tersebut.

Giana pasrah, merogoh sesuatu di dalam mangkuk, hanya kertas tergulung. Ia mengangkat alis tidak mengerti. "Apa ini?"

"Jangan dibuka!" Cegahnya saat Giana hampir membuka, "tunggu sampai ada aba-aba dari peri cinta."

"Hah, peri cinta?" Giana memicingkan mata semakin tidak mengerti.

"Dua menit lagi acara inti akan dimulai, simpan saja kertas itu. Jangan dibuka atau kamu akan jomlo seumur hidup."

Giana tercengang. Apa maksudnya? Jomlo seumur hidup? Siapa yang sudah membuat mitos senekad itu. Ia menggeleng frustrasi sembari menatap kepergian wanita yang memberinya kertas.

"Hallo semua ...." Suara cempreng dari mikrofon terdengar sangat nyaring. Membuat mereka yang sedang asik berbincang fokus pada seorang wanita yang tengah berdiri di atas panggung. Giana mengikuti, melangkah lalu bergabung bersama yang lain.

WAKTU YANG TAK PERNAH SALAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang