Frio menyetir mobilnya dalam diam, dengan sang adik duduk di bangku penumpang.
Yuka tampak terdiam dengan sorot mata sendu yang mengelana jauh dalam tatapannya yang kosong. Sementara Frio sibuk dengan pikirannya sendiri.
Pria itu sudah berjanji akan bertanggung jawab atas kejadian yang telah menimpa adiknya. Tapi kini, menghadapi kenyataan bahwa papi mereka telah mengusir Yuka dari rumah tentu merupakan hal yang tidak mudah. Frio terus berpikir, kemana Yuka akan dibawanya. Ke penginapan, kah? Tapi entahlah, dia tak merasa penginapan adalah pilihan yang aman untuk gadis muda seorang diri, apalagi yang tengah hamil pula.
Berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepala Frio. Salah satunya adalah keinginanya untuk membunuh bajingan yang telah menghamili Yuka, meskipun ia tak tau siapa orangnya. Frio sempat menanyakan hal itu tadi pada Yuka, tetapi Yuka enggan menjawab. Bahkan walaupun Frio mencoba memaksanya, gadis itu malah memohon padanya untuk berhenti bertanya. Yuka memaksanya berjanji untuk tidak mengungkit hal itu lagi, karena Yuka benar-benar ingin melupakan lelaki yang telah mengecewakannya itu. Dan dengan terpaksa, Frio berjanji juga.
Frio memarkirkan mobilnya di halaman salah satu pasar swalayan yang ada di Kota Jakarta. Diputuskannya untuk membelikan beberapa makanan dan minuman terlebih dulu untuk bekal Yuka, walaupun dia masih belum tau kemana dia akan membawa Yuka bermalam untuk malam ini.
Setelah kembali ke dalam mobil, terlintas dalam benak Frio untuk meminjam tempat sahabat baiknya.
Diteleponnya nomor telepon yang tersimpan di ponsel pintarnya. Dengan kontak bernama Aksa.
“What’s up?” terdengar suara jawaban setelah dering pertama.
Frio menghela napas lega sejenak, sebelum mulai bersuara. Karena baru saja dia sedikit khawatir kalau-kalau teman baiknya tidak akan mengangkat telepon karena tengah sibuk dengan KKN-nya, atau mugnkin urusanyag lainnya.
“Bro?” tanya suara itu lagi.
“Sorry ganggu, bro,..” ucap Frio akhirnya. “Gue mau minta tolong…”
“Apaan?” tanya suara di seberang.
“Tempat sepupu lo kemarin, masih kosong nggak?”
“Apartemen sepupu gue?”
“Iya…”
“Setau gue masih. Do’i masih nyari penyewa.”
“Gue mau numpang sebentar, boleh, bro? Sampai dia dapat penyewa aja. Setelah itu gue bakal cari tempat baru…”
“Buat lo?”
“Bukan. Ada, buat seseorang,” jawab Frio.
Kemudian Frio teringat bahwa maminya sempat membekali Yuka sebuah kartu debit. Mungkin ada cukup uang di sana untuk menyewa apartemen itu setidaknya untuk beberapa waktu.
“Atau gue sewa aja deh, bro. Ntar kita bahas soal duitnya. Tapi gue butuh malam ini juga…”
“Wait. Lagi ada masalah?” tanya suara di seberang yang terdengar mulai tertarik.
“… Urgent, bro…” hanya itu jawaban yang diberikan Frio.
“Santai, lah. Lu pake aja dulu. Ntar gue yang urus sama sepupu gue. Perlu gue anterin kesana?”
“Masih pake pass code doank, kan, kuncinya?” Tanya Frio.
“Masih…”
“Lu kirimin aja ke gue via chat. Gue nggak mau ngerepotin lu. Lagian gue udah OTW kesana, nih.”
“Oke,” jawab suara di seberang sebelum kemudian menutup sambungan telepon.
Tak sampai semenit berlalu, pesan berisikan nomor pass code apartemen yang diminta Frio sudah masuk ke dalam ponselnya. Tanpa pikir panjang, Frio segera melajukan mobilnya ke tempat tujuannya. Setidaknya dia tak harus memikirkan dimana Yuka harus bermalam, malam ini, dan beberapa malam yang akan datang.
“Kita kemana, kak?” akhirnya Yuka bersuara ketika melihat mobil Frio memasuki parkiran sebuah gedung apartemen yang cukup elit.
“Tempat sepupunya teman kakak…” jawab Frio, sambil memarkirkan mobilnya.
“Tapi, kak… Aku nggak mau ngelibatin orang lain dalam masalah aku…” pinta Yuka.
“Kamu tenang aja, apartemen ini kosong sejak beberapa waktu lalu, waktu sepupunya temen kakak pindah ke luar negeri,” jawab Frio seraya menatap adiknya dengan lembut.
“Teman kakak?”
Frio mengangguk. “Kakak nggak ngasih tau dia apapun kok, dan dia juga bukan tipe orang yang ikut campur kalo nggak diminta. Jadi kamu nggak usah khawatir. Lagipula dia itu temen baik kakak. Dia bisa dipercaya, kok…”
Yuka hanya diam dan mengangguk menjawab kalimat Frio.
Mereka kemudian berjalan menuju tempat yang dimaksud.
Yuka berkeliling melihat isi apartemen itu. Apartemen kecil dengan satu kamar yang cukup bagus, tak jauh berbeda dengan apartemen milik Meera. Dan dia tau, apartemen seperti ini tidak murah harganya. Walaupun ukurannya tidak begitu besar, tapi ruang yang tersedia cukup luas, dilengkapi dengan perabotan yang juga terlihat mahal.
Ada sofa berukuran sedang dengan warna putih bersih di ruang utama yang mungkin berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus ruang santai. Sofa itu tepat berhadapan dengan sebuah TV LED berukuran 32 inch, ukuran yang sudah cukup untuk ruangan yang tidak besar. Di antara sofa dan TV terdapat meja pendek tampat untuk menjamu tamu atau untuk sekedar menaruh barang. Meja itu berhiaskan bunga plastik berwarna ungu, mencerminkan bahwa penghuni sebelumnya mungkin seorang perempuan. Tak jauh di belakang sofa, terdapat meja tulis yang bisa berfungsi sebagai meja kerja atau meja belajar. Di sisi lainnya terdapat meja makan kecil dan juga dapur kecil. Di sisi kanan ruang utama barulah terdapat sebuah kamar tidur.
“Malam ini kita nginap di sini dulu aja, ya…” ucap Frio setelah mengunci pintu apartemen itu.
Yuka menoleh dan menatap kakak laki-laki semata wayangnya itu.
“Kakak nginap di sini juga?” tanyanya.
“Iya. Kakak nggak bisa ninggalin kamu sendiri…” jawab Frio.
“Tapi nanti papi-mami nyariin kakak…”
“Kakak ini udah dewasa, Ka. Udah semester akhir. Beberapa waktu ini malah kakak jarang pulang karena sibuk KKN dan persiapan penelitian,” jawab Frio seraya duduk di atas sofa.
Yuka mengangguk paham dan segera mengikuti duduk di sebelah Frio.
“Ka, mami bekalin kamu kartu debit mami, kan?” tanya Frio.
Yuka mengangguk.
“Kakak pinjam ya, buat cek isinya? Mau lihat cukup atau nggak buat nyewa tempat ini. Gak mungkin juga tinggal gratisan kalau lama, kan… Atau sambil kita cari-cari tempat tinggal yang lain juga… Kakak lagi nggak megang uang. Uang simpanan kakak banyak habis buat urusan kampus. Dan papi juga belum sempet ngasih jatah kakak bulan ini,” jelas Frio panjang lebar.
Yuka mengerjap sejenak mencerna ucapan Frio barusan. Dia tersadar, mungkin menempatkan semua bebannya di pundak sang kakak lelaki tidaklah adil. Semua ini akan terlalu berat untuk ditanggung Frio. Bagaimana jika papi mereka memutuskan sgela fasilitas untuk Frio juga? Lelaki itu tengah mengusahakan semester akhir kuliahnya, tentu sulit baginya untuk meluangkan waktu untuk mencari uang. Yuka sendiri tidak tau apakah uang yang diberikan maminya akan cukup jika digunakan untuk kebutuhan mereka berdua, apalagi jika termasuk sewa apartemen seperti ini. Bahkan Yuka berencana benar-benar hanya menggunakan uang pemberian mami seperlunya saja, sesedikit mungkin, karena sesuai janjinya pada dirinya sendiri ketika dia mengambil keputusan ini, dia tak ingin merepotkan siapapun. Bahkan tidak keluarganya sendiri.
“Maafin Yuka ya, kak…” itulah kalimat yang keluar dari mulut Yuka.
Kalimat yang justru membuat Frio bertanya-tanya. Karena rasanya tidak sesuai untuk menjadi jawaban atas ucapannya sebelumnya.
“Kok minta maaf?”
“Aku udah nyusahin kakak banget… Bikin kakak bingung mikirin kehidupan aku…” jawab Yuka pelan.
“Kamu itu adik kakak. Yang ada di dalam perut kamu itu bakal keponakan kakak. Kakak udah janji bakal jaga kalian sebaik-baiknya,” jawab Frio.
Jawaban yang semakin membuat Yuka tak ingin melibatkan Frio lebih jauh lagi.
“Ini udah malem. Kamu tidur, gih. Tuh, di kamar. Kakak di sini aja,” ucap Frio. Tangannya menepuk-nepuk sofa tempat mereka tengah duduk.
Yuka mengangguk. “Aku cariin selimut buat kakak, ya,” ucap Yuka seraya beranjak menuju satu-satunya kamar yang tersedia di apartemen itu.
Melihat Yuka beranjak, Frio segera membaringkan tubuhnya di atas sofa yang sesungguhnya kekecilan untuk tubuhnya yang cukup tinggi itu.
Desahan berat terdengar dari mulut Frio.
Tubuhnya tengah begitu lelah karena kesibukannya telah membuat intensitas istirahatnya jauh dari kata cukup. Dia bahkan baru pulang KKN beberapa waktu yang lalu. Masih menyiapkan laporan sekaligus juga menyiapkan bahan penelitian untuk skripsinya. Tapi hari ini badai datang menghantam keluarga mereka. Segala keharmonisan yang mereka punya selama ini seolah terenggut begitu saja. Karena satu kesalahan yang dibuat oleh adik kecilnya.
Frio ingat, hal-hal semacam inilah yang membuatnya selalu menghindar dari menjalin hubungan asmara. Walau tentu saja beberapa gadis di kampus sering memberi kode-kode asmara untuknya. Sesekali memang dia tertarik. Tetapi bahkan sebelum percikan cinta muncul di hatinya, dia seringkali memilih mundur. Bahkan sampai digelari PHP. Padahal dia hanya tidak ingin berakhir menyakiti salah satu dari mereka. Apalagi melihat lingkungan yang ada di sekitarnya, teman-temannya pun tak luput darinya. Seks bebas seperti sudah rahasia umum di ibu kota seperti ini. Dan kini, hal itu terjadi pada adiknya.
Ada sedikit sesal dalam hatinya, dia yang begitu menjaga hubungan antara pria dan wanita, kini harus melihat adiknya menjadi korban. Dosa manakah yang kini harus ditebus oleh keluarganya dengan adanya kejadian seperti ini? Apa mungkin doa-doa para gadis yang mengaku di-PHP olehnya bisa berakibat seperti ini?
Ah, entahlah. Dia pun tak tahu jawabannya.
“Ini selimutnya, kak.”
Suara Yuka membawa Frio kembali dari pikirannya yang baru saja telah mengelana begitu jauh.
“Makasih ya, Ka… Tidurlah. Kamu perlu istirahat,” pinta Frio lagi.
Yuka mengangguk dan segera masuk ke kamarnya, setelah sebelumnya singgah ke meja pantry di pojok ruangan yang sekaligus merangkap dapur kecil untuk mengambil segelas air dan membawanya ke dalam kamar.
Yuka tidak menutup pintu kamarnya. Dia duduk di tepi tempat tidur berukuran queen yang tersedia di kamar itu, tempat tidurdengan sprei dan sarung bantal berwarna putih bersih. Yuka bahkan tidak berniat mencari alas tidur yang lain untuknya, karena mungkin dia hanya sebentar saja di sini.
Yuka mengambil obat dan vitamin dari dalam tasnya, menelannya dan meneguk segelas air yang tadi diambilnya sampai habis. Lalu diletakkannya gelas itu di atas meja kecil di samping tepat tidurnya. Dilihatnya sofa tempat Frio tidur, yang terlihat jelas dari tempatnya duduk. Lelaki itu sudah terlelap. Suara dengkuran halus terdengar dari mulutnya.
Sekali lagi Yuka tersadar, Frio sudah terlalu repot tanpa harus Yuka menambahkan masalahnya kepada abangnya itu. Sudah diputuskannya, Frio tak harus direpotkan olehnya lebih lama lagi.
Menghela napas sejenak, Yuka akhirnya berbaring di kasurnya dan memejamkan matanya. Tertidur. Melepas kepenatan jiwa dan raganya sepanjang hari ini.
*
Yuka terbangun pagi itu dan menemukan bahwa Frio tak ada di apartemen. Dilihatnya sepucuk kertas yang tertempel di pintu lemari es.
“Kakak beli sarapan dan cari bahan makanan untuk seminggu ini, ya,” tulisnya.
Yuka sadar, ini saat yang tepat untuk mengakhiri keletihan Frio.
Yuka meninggalkan sepucuk kertas di atas amplop coklat berisi uang yang diletakkannya di atas meja. Tanpa pikir panjang, dia pun pergi meninggalkan apartemen itu.
Tiga puluh menit berlalu sampai Frio kembali tiba di apartemen dimana dia meninggalkan adiknya pagi itu. Tapi tak ditemukannya adiknya di dalam sana. Bahkan setelah dia memanggil-manggilnya beberapa kali. Tidak di kamar tidur, tidak di kamar mandi, tidak ada.
Pandangan mata Frio terjatuh pada sepucuk kertas dan amplop di atas meja. Frio segera membuka kertas itu.
“Kak, maafin aku, ya, udah banyak ngerepotin kakak. Aku tau kakak lagi sibuk-sibuknya urusan kuliah kakak. Dan aku tau itu penting, buat masa depan kakak. Plis, jangan cari aku, kak. Aku akan belajar hidup mandiri, dan aku yakin aku bisa. Kembalilah ke rumah, kak. Aku nggak mau mami sama papi kehilangan kedua anak-anaknya karena kesalahan aku. Titip salam aku buat mami, ya, kak. Aku tinggalkan uang ini buat kakak, aku harap cukup buat bayar sewa apartemen ini satu malam. Dan mungkin untuk mengganti uang yang kakak pakai untuk beli bahan makanan. Aku masih punya cukup uang yang mami kasih kok, kak. Nggak usah khawatirin aku, ya. Aku harap kita akan segera bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik nantinya. Aku sayang kakak.”
Frio mengusap wajahnya dengan keras begitu selesai membaca surat itu. Entah kenapa dia tak menduga sama sekali bahwa Yuka mungkin akan mengambil keputusan sendiri dengan gegabah. Dia tersadar bahwa tak seharusnya dia meninggalkan Yuka sendirian. Bahkan tidak walaupun hanya semenit. Dan sekarang, dia tak tahu kemana harus mencari Yuka. Dia bahkan tak punya nomor ponsel Yuka. Ya, Yuka belum sempat membeli simcard baru untuk mengganti simcard lamanya yang sudah rusak.
“Gua harus bilang apa sama mami!?” batinnya.
Sangat gusar hatinya dibuatnya. Adik kecilnya yang berusia 17 tahun ingin menghadapi dunia sendirian. Dunia yang kejam. Apalagi padanya, mungkin.
Frio terduduk lagi di sofa yang tadi malam menjadi tempat tidurnya. Terpandang lagi olehnya amplop di atas meja. Dilihatnya isi dari amplop itu. Lima ratus ribu rupiah. Lumayan juga isinya.
“Argh, kenapa Yuka tak membawa saja uang ini?” batinnya lagi. Tentu saja dia tahu Yuka lebih butuh uang ini daripada dirinya.
Suara ketukan di pintu membuat Frio segera beranjak menuju pintu itu dan tergesa-gesa membukanya. Berharap itu Yuka, yang kembali dan menyesali keputusanya. Tapi, mungkinkah?
“Bro…” sapa suara itu. Suara milik pria berpostur tinggi ramping dengan kaos merah dan celana jeans menutupi tubuhnya. Pria yang tengah berdiri di ambang pintu. Teman baik Frio.
Rasa kecewa menghampiri Frio saat itu. Walaupun sebenarnya dia tau bahwa memang tak mungkin Yuka kembali. Tidak jika dia memang sudah memutuskan akan pergi. Dia tahu betul adiknya itu cukup teguh pada pendiriannya.
“Boleh gue masuk?” tanya pria itu di hadapannya itu.
“Masuk aja, bro. Ini kan tempatnya keluarga lu,” jawab Frio.
Lelaki itu masuk dan mengikuti langkah kaki Frio yang segera menmpatkan diri di atas sofa lagi.
“Lu sendirian?” tanya lelaki itu lagi, setelah celingak-celinguk memeriksa isi apartemen.
Frio mengangguk.
“Bukannya tadi malam lu bilang ada yang mau nempatin tempat ini?”
“Iya. Tapi dia udah pergi, bro… dan gua nggak tau harus nyari dia kemana…”
“Emangnya siapa?”
“Adik gua.”
“Cewek?”
“Adik gua cuma satu kan, bro?”
Lelaki itu mengangguk paham. Kemudian memilih diam melihat wajah Frio yang tampak kusut.
“Lu gak mau cerita ke gue, apa yang terjadi?”
Frio mendesah berat. Dia ingat Yuka berpesan tak ingin orang lain terlibat. Tapi ini teman baiknya, Aksa. Aksa bukan orang lain bagi Frio. Frio hampir tak pernah menyimpan rahasia apapun dari Aksa sejak pertama kali mereka dekat.
“Adik gue ngalamin insiden yang amat sangat gue hindari…” ucap Frio akhirnya. Berat dan perlahan.
Aksa hanya diam mendengarkan, menunggu Frio melanjutkan ceritanya.
“Gue bakal punya ponakan,” sambungnya.
Aksa sedikit terhenyak mendengar pernyataan itu. Berkelebat di dalam pikirannya hal-hal yang pernah dia lakukan selama ini.
“Jadi maksud lu, dia kawin lari?” tanya Aksa.
Frio menggeleng pelan. “Bahkan kawin lari bakal jadi lebih baik, bro. Tapi nggak, cowok itu minggat. Dan adik gue nggak mau ngasih tau gue siapa orangnya. Bahkan dia nyuruh gue janji gak bakal nanya lagi, dan juga nggak bakal cari tau sendiri.”
Aksa mengangguk mendengarkan.
“Dan sekarang bokap ngusir adik gue…” ucapnya lagi. “Gue udah janji sama dia, kalo gue bakal jagain dia. Gue juga udah janji sama mami gue. Tapi ternyata dia memilih pergi karena nggak mau ngerepotin gue.”
Aksa kembali terhenyak mendengarnya. Cukup terkejut dia mendengar apa yang telah dialami oleh adik dari sahabatnya itu. Tentu saja bukan suatu hal yang mudah untuk dihadapi oleh seorang gadis belia sepertinya.
“Sekarang gue bingung harus ngapain….” ucap Frio kemudian, yang lebih terdengar seperti untuk dirinya sendiri.
Frio kemudian teringat bahwa sahabatnya ini juga mungkin tak asing dengan hal-hal berbau seks bebas. Walaupun dia mungkin tak melihat dengan pasti konsekuensinya.
“Pesen gue ke elu, bro. Lu hati-hati. Gue tau gue nggak bisa ngatur lu ataupun ikut campur urusan pribadi lu. Tapi gue harap, jangan sampe ada yang ngalamin kayak adik gue. Gue tau banget gimana beratnya ini…”
Aksa masih diam mendengarkan. Dia tau benar, sahabat baiknya ini memang tak sama dengan teman-temannya yang lain. Yang jarang sekali absen ke masjid atau musholla kampus ketika waktu sholat tiba. Yang hampir tak pernah berhubungan dekat dengan perempuan. Yang menghindari betul apa yang namanya zina. Yang sangat jauh berbeda dengan dirinya. Ini juga bukan pertama kalinya Frio mencoba mengingatkannya. Walaupun juga bukan banyak kali. Tapi selalu dengan cara yang halus. Yang bahkan tak menyinggungnya sedikitpun. Dan di saat ada kejadian seperti ini, Aksa sangat mengerti jika Frio kembali mengingatkannya lagi.
“Thanks…” sahut Aksa. “Mungkin, gue akan mengubah gaya hidup gue,” sambungnya.
Untuk pertama kalinya, Aksa menjawabnya dengan kalimat semacam itu, walaupun sebelumnya biasanya dia hanya diam mengabaikan, atau malah menertawakan Frio. Tapi kali ini, entah kenapa, hatinya terasa goyah. Mungkin hidup yang selama ini dinikmatinya memang salah. Mungkin saja ini sudah saatnya dia kembali ke jalan yang benar.
Frio tersenyum mendengar jawaban yang tak diduga dari sahabatnya itu.
“BTW gue harus ke kampus dulu… Lu kabarin aja ke gue, anytime lu butuh bantuan gue, oke?”
Frio mengangguk, dan Aksa beranjak hendak meninggalkan apartemen.
“Aksa…” panggil Frio tepat sebelum lelaki itu membuka pintu.
Aksa menoleh.
“Ini titipan adik gua, buat bayar sewa apartemen ini satu malam. Terserah lu mau ambil berapa…” ucap Frio seraya menyodorkan amplop berisi uang yang sejak tadi ada di dekat tempatnya duduk.
Aksa beranjak mendekati sahabatnya. Diulurkannya tangannya mengambil amplop itu dan dibukanya. Dilihatnya beberapa lembar uang lima puluh ribu yang tampak cukup banyak.
“Dari adik lu?” tanya Aksa.
Frio mengangguk menjawab pertanyaan itu.
“Lu simpan aja. Kembaliin ke dia nanti pas kalian ketemu lagi. Gue yakin kalian akan ketemu lagi secepatnya.”
Frio hanya terdiam mendengar ucapan Aksa.
“Dia pasti lebih butuh ini daripada gue…” tambah Aksa.
“Apartemen ini?”
“Lu bukan orang lain buat gue, lu bisa pinjem apa aja punya gue kapan pun lu butuh. Begitu juga adik lu…” jawab Aksa lagi.
Frio tersenyum kecil mendengar ucapan Aksa.
“Berarti gue harus simpan duit ini baik-baik… Karena gue nggak tau kapan dia bakal balik,” ujar Frio.
Aksa tampak berjalan mendekat, dan selanjutnya dia menepuk pundak Frio pelan.
“Lu tenang aja. Kita cari dia sama-sama,” ucap Aksa.
Dan entah kenapa, ucapan itu cukup sedikit menenangkan hati Frio yang sejak tadi gusar.
“Thank’s ya, bro…” sahut Frio kemudian.
Aksa hanya menjawabnya dengan senyuman.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Way Back Into Love
RomanceCinta masa muda telah menjerumuskan Yukana ke dalam noda hitam yang kelam. Hamil di usia 17 tahun tidak pernah ada dalam rencana hidupnya. Tapi itulah yang dialaminya. Terlebih ketika Arga, sang kekasih, menolak menikahi Yuka dengan alasan masih har...