(Bukan) Suami Idaman

10 0 0
                                    

Awal bulan. Awal gajian. Awal belanja sepuasnya.

Ini hari Minggu semua mall pasti ramai. Kemarin Sabtu tidak jadi keluar karena si Laras lupa ada acara ulang tahun teman kantornya. Laras adalah orang yang pelupa.

Melihat banyaknya deterjen aku jadi ingat, "Ras, deterjen kita udah abis belum ya?"

"Abis!" Laras berteriak keras padahal jarak aku sama dia hanya ujung dengan ujung rak. Aku menoleh sekitar ternyata banyak yang melirik ke arah kami. Aku tidak akan malu. Ini sudah biasa. Karena memang Laras begitu, malu-maluin!

Karena satu motto kami saat berbuat yang memalukan.

'Besok juga nggak bakal ketemu lagi sama orangnya, jadi santai aja.'

Aku mengambil lima deterjen lalu memasukkan ke trolly sekalian buat stok satu bulan. Lalu aku mengikuti Laras ke arah serba-serbi bahan masakan. Kali ini aku akan diam biar Laras yang memilih. Jujur saja aku di rumah hanya pernah memasak nasi goreng selebihnya Laras yang memasak. Bukan aku tidak mau ikut andil memasak, tapi laras yang tidak boleh aku memasak. Katanya, 'Masakan lo lebih buruk dari eksperimen gue.' Padahal waktu aku makan rasanya enak-enak aja cuman kelebihan asin dikit.

Aku melihat Laras memasukkan semua bahan masakan ke dalam trolly. Aku membungkukkan badan seperti bersanggah ke gagang trolly sambil mendorong mengikutinya. Aku teringat sesuatu dan langsung meraba kantong celanaku.

"Ras, dompet gua mana, ya?" Tanyaku yang baru tersadar.

Laras hanya melirikku lalu berjalan lagi, "Bukannya jatuh di tempat deterjen tadi?"

"Kok lo gak kasih tau?" tanyaku dengan suara keras karena kaget. Punya temen gini amat.

Dia menghampiriku sambil membawa botol kaca kecap dan memukulkan ke kepalaku, "Pikun. Kan lo yang titip di tas gue.

Aku meringis menerima rasa sakit di kepala, sakit banget asli. "Itu botol kaca, loh."

"Udah tau." Jawabnya sambil kembali melangkah.

Laras itu kadang bisa cuek dan bisa ramah. Buat aku yang sedikit menyukai keramaian ketimbang sepi aku menyukai Laras yang ramah dan banyak omong. Ketika Laras dalam mode cuek itu artinya dia lagi serius atau dia lagi malas ngomong. Biasa. Cewek. Terkadang moody-an.

Setelah selesai memilih-milih kita berjalan ke arah kasir yang kebetulan tidak ramai, hanya menunggu satu orang saja. Aku melihat ibu-ibu di depanku malah membuatku berpikir. Apakah nanti kalau aku berkeluarga, kebutuhan belanja bulananku seperti dia? Lihat saja dia pakai dua trolly dan ada dua kardus sepertinya itu deterjen dan minyak. Mungkin nanti aku tidak membutuhkan minyak terlalu banyak.

Aku mengedipkan mataku berulang kali setelah melihat total belanja ibu itu yang tertera. Totalnya seperti angka nominal gajiku. Mungkin kalau itu pengeluaranku, aku tidak akan bisa makan lagi di luar rumah. Oh my god. Pantas saja belanjaannya segitu banyaknya. Kartunya saja item. Aku menepuk jidatku dan melangkah maju untuk giliranku.

Aku mengamati pertambahan total di layar. Walaupun terlihat jelas perbandingan belanjaku dengan belanjaan ibu-ibu tadi, aku tetap berdoa agar pengeluaranku tidak membuatku terdiam beberapa detik.

"Totalnya delapan ratus tiga ribu dua ratus rupiah."

Aku mengangguk lalu menoleh ke belakang untuk mengambil uang di Laras dan seketika aku terdiam beberapa detik diikuti detak jantung yang semakin cepat.

Kampret. Dia kemana?

**

Bunyi gelas yang diketuk berkali-kali dengan ujung sendok membuyarkan konsentrasiku yang sedang mengerjakan kerjaan. Siapa lagi kalau bukan Laras yang iseng membunyikan suara cempreng gelas itu.

Capture HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang