Pelet?

6 0 0
                                    

Pagi hari ini aku menyiram taman kecil di depan rumah. Jadi kontrakan kami kecil minimalis berlantai dua. Di bawah ada ruang tamu, ruang tengah yang berisi sofa dan meja dilengkapi tv dan speaker untuk memutar musik waktu lagi bersih-bersih, ruang kecil untuk koleksi barangku dan Laras, dan kamar tamu. Sedangkan di lantai dua hanya ada dua kamar, tapi aku dan Laras sepakat untuk tidur bersama. Dan kamar mandi masing-masing satu di setiap lantai.

Aku lebih memilih menyiram taman dibanding harus jogging di pagi hari. Menurutku jogging itu melelahkan dan bikin betis jadi besar. Satu kelemahanku setelah jogging adalah gatal-gatal disekitar paha dalamku. Aku juga tidak tahu kenapa bisa gatal-gatal. Dulu waktu SMA diisuruh lari 12 menit. Aku hanya lari kecil tanpa berhenti. Lalu setelah dua belas menit aku duduk selonjor sambil mengusap paha dalamku. Semakin aku usap rasanya semakin gatal dan baru tidak gatal setelah satu jam. Padahal temanku saat itu tidak mengalami apa yang aku rasakan. Karena aku tidak mau ada hal buruk jadinya aku berpikiran positif saja.

Aku juga penyuka tanaman. Dulu waktu dirumah, ibu sering menanam tanaman apapun jenisnya. Mulai dari tanaman sayuran sampai tanaman hias. Aku lebih menyukai tanaman hias karena bisa berbunga dan cantik waktu bermekaran pagi hari. Tapi, di taman ini aku juga menanam satu tanaman cabe untuk kebutuhan sambal Laras.

"Mau kemana, Ras?" tanyaku melihat Laras yang sudah memakai kaos biasa dan celana training.

Dia kebalikan dari aku. Laras suka kalau jogging terkadang dia jogging dua sampai tiga kali dalam seminggu. Laras juga tidak mengalami gatal-gatal setelah jogging sepertiku.

"Mau ke abang-abang depan tuh,"

"Kirain jogging,"

Laras menggeleng, "Lagi males, lagian eksperimen gue lama prosesnya."

"Tapi bukannya kemarin baru beli bahan masakan?"

"Iya, tapi buat bawang sama sawi sama lainnya gue suka beli dadakan di abang-abang, lebih seger gitu daripada harus disimpen dulu."

Aku baru tau itu. aku kira selama ini Laras stok semua bahan makanan. Jadi, kalau butuh ya tinggal ambil. Ternyata dia ada yang beli dadakan.

"Lo mau ikut nggak?"

Aku menggeleng, "Nggak deh, gue sama mereka aja." Ucapku sambil menunjuk taman.

"Padahal enak loh ngerumpi bareng ibu-ibu komplek."

Aku mengerutkan hidungku. Apa enaknya ngerumpi bareng ibu-ibu komplek. Yang ada pasti ditanyain persoalan udah nikah belum, kenapa belum nikah, dan serentetan lainnya yang membuatku malas duluan sebelum berangkat.

Di keluargaku juga begitu. Tiap kali aku pulang selalu ditanyain.

"Sudah punya pacar belum di sana?"

"La, kapan mau nikah?"

"Ibu ga sabar lihat kamu di pelaminan."

"Jaga diri loh, jangan mau diapa-apain dulu sama pacarmu."

Apalagi kalo aku pulang dan itu bertepatan dengan acara keluarga besar. Mempertemukan semua keluarga dari segala penjuru. Semakin aneh-aneh pertanyaan mereka. Aku hanya tersenyum menanggapi lalu melenggang pergi dan bermain dengan anak kecil yang lucu dan gemesin.

Menurut yang aku tau. Untuk seumuran wanita yang sudah menginjak dua puluh tiga ke atas itu harus sudah nikah dan sangat tidak dianjurkan belum menikah ketika sudah menginjak umur tiga puluh tahun. Karena pasti dapat omongan dari orang lain entah itu di kampung maupun di keluarga besar jika belum menikah-menikah. Aku yang umur segini saja dapat omongan begitu gimana yang sudah umur tiga puluh tapi belum menikah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Capture HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang