"Shit!" Seru Wirasena Adityatama mengumpat begitu melihat jam di layar handphone-nya. Jam menunjukan pukul 6.00 pagi, menandakan ia telah tertidur 30 menit lebih lama dari jam biasanya ia bangun. Hari ini, Wirasena akan menghadiri kelas pagi pukul 9.30, lalu kelas dilanjutkan pukul 3 siang sampai jam setengah 6 sore. Biasanya jika menghadiri kelas pagi seperti ini, Wirasena bangun pukul 5, Ia lalu sarapan dan bersiap-siap pergi ke kampus menggunakan bus.
Wirasena duduk dipinggir dekat dengan jendela bus, memandang dengan nanar kearah mobil-mobil yang melintas dibawahnya, berpikir bahwa andai saja ia lahir dari keluarga yang lebih beruntung, mungkin ia tak harus datang pagi-pagi berangkat ke halte bus, jika saja ia lahir di keluarga kaya, setiap hari ia pergi ke kampus tidak menaiki bus tua sialan ini melainkan menggunakan Mercedes Benz lalu memarkirkannya didepan kampus lalu menunggu dosen di dalam mobil sampai kelas dimulai, seperti kebiasaan sahabatnya, Dennis.
Bus tua itu telah keluar dari tol dalam kota yang menghubungkan jalan antara Cawang menuju Semanggi. Jalanan mulai ramai dikarenakan hari ini hari Senin, semua masyarakat mulai melakukan kegiatannya setelah libur tahun baru. Wirasena tampak murung seraya tak henti-hentinya memerhatikan jam di tangan kirinya, jam tersebut merupakan hadiah dari Thalia, kekasih Wirasena pada saat ia memenangi lomba melukis mewakili Kota Bekasi setahun yang lalu. Jam menunjukan pukul 8.45, hatinya resah karena sebentar lagi kelas akan dimulai, ia lalu memutuskan untuk turun dari bus dan berjalan kaki menuju kampusnya.
"Wira! Kok baru dateng!" seseorang memanggil gue dari dalam mobilnya, ternyata Dennis, gue lalu berjalan mendekat lalu menepuk bahunya.
"Iya, tadi jalanan macet, jadi gue turun bus terus jalan kaki deh kesini, lo sendiri kok gak masuk kelas?" tanya gue.
"Nanti aja ah, sebat dulu, kuy!" Dennis mematikan mesin mobilnya lalu mengeluarkan rokok dari saku celananya dan memberi gue, gue lalu membakar rokok tersebut menggunakan korek yang gue miliki sendiri.
Gue dan Dennis menghisap sebatang rokok masing-masing sambil ngobrol banyak hal, ia bercerita tentang segala hal, termasuk bisnis keluarga ayahnya yang sedang diambang kebangkrutan dan sedang menghadapi masalah besar. Jujur gue respect banget sama Dennis yang setia kawan dan gak pernah sombong sama gue.
Pukul 9 gue dan Dennis lalu berjalan menuju gedung fakultas kami, fakultas tercinta, fakultas Teknik Industri, program studi Teknik Informatika yang terletak di sebelah kiri gedung utama kampus kami. Gue dan Dennis lalu tiba di kelas dan memilih untuk duduk di bangku ketiga dari belakang—biar bisa tidur, kata Dennis. Mata kuliah pertama hari ini adalah Statistika dengan Bapak Soediro sebagai dosen pengampu, rasanya hari ini gue pengen gak masuk kelas daripada mendengarkan dosen yang gue sendiri gak ngerti ngomong apa.
Wirasena dan Dennis tiba dikos-kosan Wirasena pukul 20.30, kini mereka berada di kamar Wirasena untuk mengerjakan tugas paper dan presentasi untuk keesokan harinya. Seraya mengerjakan, Dennis diam-diam memerhatikan lukisan-lukisan surealis karya Wirasena yang sengaja disembunyikan olehnya diantara lemari dan meja belajar, Dennis lalu berusaha meraihnya.
"Ini lo yang bikin, Wir?" tanya Dennis memandang kearah lukisan seorang anak kecil memakai gaun berwarna merah muda yang tengah berdiri disampingnya ada topeng babi
"Iya, yang semua itu hasil lomba tahun kemarin" jawab Wirasena.
"Wah, keren lho, Wir. Sekarang kenapa gak ngelukis lagi?" tanya Dennis sambil meletakkan lukisan-lukisan itu kembali dan berjalan mengamati setiap detail kamar Wirasena.
Wirasena mengubah posisi duduknya kearah Dennis, ia lalu bercerita mengenai alasannya berhenti melakukan satu-satunya hal yang disenangi didunia itu, mulai dari ayahnya yang tidak mendukung hobi melukis Wirasena, hingga ayahnya yang tidak lagi memberi uang jajan kepada Wirasena apabila ia ketauan melukis, ayahnya bahkan pernah membakar lukisan hasil karya anaknya sendiri itu.
YOU ARE READING
When Somebody Loves You #Day6
FanfictionWIrasena Adityatama, seorang laki-laki yang mempunyai hobi melukis, berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya, meskipun pecundang, ia berusaha menghadapi masalah-masalah rumit dalam hidupnya.