4. Sontoloyo

39 3 0
                                    

"Kak, sebenarnya Livi pengin sekali sekolah seperti anak-anak lainnya."

Kalimat tersebut berhasil menampar keras Tara. Ia tercekik dengan ucapan adiknya itu. Sebenarnya ia juga ingin sekali menyekolahkan adiknya, namun kondisi ekonomi menghambat niatnya untuk menyekolahkan adiknya. Terlintas dalam pikirannya, ia akan bekerja dan berhenti kuliah, namun ia tak mungkin lepas begitu saja. Ia numpang tempat tinggal dan mendapat dukungan dari tantenya, karena tantenya juga berharap Tara bisa melanjutkan sekolah dan bisa menggapai cita-citanya.

Tara mencoba menata kalimat yang akan ia ucapkan pada Livi. Tara menghela napas, "Iya, kakak juga ngerti apa yang ada di benak Livi. Tapi, sekarang kita sedang nggak punya uang." Ia mengembuskan napas besar, "Andai kakak diperbolehkan bekerja, pasti kakak akan bekerja dan menyekolahkan Livi."

Gadis berusia tujuh tahun itu memahami apa yang sedang terjadi saat ini. Gadis yang selamanya harus duduk di kursi roda itu memiliki suatu kelebihan yang mampu berpikir dewasa, tidak seperti anak-anak seusianya yang pasti sangat manja pada siapa pun yang menjaganya; ayah, ibu, kakak, atau siapa pun.

Tara berpikir, ia tidak mungkin menyekolahkan adiknya di sekolahan umum seperti anak normal pada umumnya. Ia khawatir pem-bully-an akan terjadi pada adik yang paling ia cintai itu. Meskipun adiknya itu selalu merepotkan, namun di hati Tara, hanya Livi yang bisa membuatnya betah hidup sampai detik ini. Ia tidak akan rela, melihat adiknya terluka apalagi dilukai, sedikit pun.

Malam ini mereka saling memahami satu sama lain. Mencoba mengerti apa yang sedang terjadi. Tara mendekatkan tubuhnya pada tubuh Livi, kemudian memeluknya, "Jangan sedih, ya. Nanti pasti kakak akan menyekolahkanmu." Ia mendaratkan bibirnya pada kening Livi, "Selamat malam, dan selamat tidur."

===

"Adikmu wes bangun, belum?"

"Sudah, Tante. Itu Tara ajak ke teras depan."

Tara berjalan menuju teras rumah dengan membawa semangkuk nasi untuk sarapan adiknya. "Ayo makan, Vi."

Livi menerima makanan yang diberikan oleh kakaknya itu dan menyantapnya. Tara duduk di kursi yang berada di belakang kursi roda adiknya. Ia memainkan lagu yang ada di ponselnya itu—lagu dangdut, tentu saja. Mereka berdua menikmati lagu dangdut yang membuat badan Tara bergoyang-goyang mengikuti ketukan kendang.

Setelah makanannya habis dan cahaya matahari sudah cukup terik, Tara kembali mendorong kursi roda adiknya menuju ke dalam rumah. Ia memosisikan adiknya di depan televisi. Setelah itu, Tara kembali ke luar untuk mengambil ponselnya yang masih tergeletak di kursi depan.

Tiiiinnn ... tiiiinnn ....

Sebuah mobil berwarna hitam bermerk Agya itu berhenti sembari membunyikan klaksonnya. Bunyi tersebut berhasil membuat Tara kaget, ia menoleh dan memerhatikan mobil yang berhenti tepat di depan rumahnya itu. Kayak pernah lihat mobil itu, gumamnya dalam hati. "Oh, iya," lirihnya.

Sepertinya ia mengetahui siapa pemilik mobil tersebut. Ia bergegas menghampiri mobil tersebut, sebelum tante dan adiknya mengetahui kedatangan manusia yang ia anggap aneh itu. Kaca mobil itu perlahan turun dan menampakkan sosok di dalam mobil tersebut. Dengan amarah yang masih ia tahan, Tara berjalan cepat menuju mobil tersebut, "Apalagi sih, Kak Raka?"

"Ayo, berangkat bareng," ajaknya.

"Gue lagi nggak ada kelas pagi ini, nanti siang jam 12," jawab Tara ketus.

"Oh, sama dong berarti." Ia sejenak menghentikan kalimatnya. "Kamu mau nggak temenin aku? Ada tugas fotografi yang perlu aku selesaikan hari ini."

Tara memutar bola matanya, "Enggak."

PerantaraWhere stories live. Discover now