"Kalian nggak suka drama korea?" tanya Sonya saat teman-temannya menyantap makanan.
"Gue nggak suka drama-dramaan. Hidup gue gak perlu banyak drama," jawab Nadya sarkas.
"Gue nggak tanya lo, Nad."
Seperti biasa, pembicaraan dua orang yang tidak akan selalu sama jika sudah membahas tentang artis Korea, drama Korea, dan segalanya yang berbau Korea. Tara tidak mau mencampuri urusan mereka, toh, ia juga tidak suka berdebat apalagi karena hal-hal kecil.
Saat ia tengah lahap-lahapnya menyantap nasi goreng kesukaannya, datang satu orang perempuan yang sama sekali tidak ia kenal. Wanita dengan rambut panjang yang ia gerai itu berjalan menyeringai mendekati Tara. Ketiga wanita yang duduk di bangku yang sama itu, sontak menatap kedatangan wanita yang tidak mereka ketahui itu.
"Kamu Tara, ya?" tanyanya.
"I ... iya, Mbak. Mbak siapa?"
"Oh, kenalin," ia mengulurkan tangan kanannya membuat mau tak mau Tara harus membalas uluran tangan tersebut. "Gue temennya Raka, nggak perlu tahu nama wes, ya." Ia melepas jabatan tangannya pada Tara, setelah itu ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kertas yang ia lipat menjadi bentuk persegi. "Nih, dari Raka. Dia sungkan mau memberikan sendiri ke kamu katanya."
Tara dengan gugup menerima kertas itu, dan segera memasukkannya ke dalam sakunya. Wanita itu menutup pertemuan singkat kali ini dengan senyuman, "Oke, gue balik dulu. Apa yang sudah tertulis di kertas itu, turuti,ya. Kasihan Raka sudah bela-belain buat surat itu," pungkasnya.
Tara mengangguk pelan. Perasaan tadi pagi gue berangkat bareng. Kenapa sekarang kirim surat gini. Ih, dasar laki-laki aneh, gumamnya dalam hati.
"Jangan ngelamun, Ra. Ayo buka surat itu!" suruh Nadya.
"Nanti aja, deh, di kelas."
"Lo kok beruntung banget sih, Ra. Bisa dikejar-kejar cowok 'logam mulia' seperti itu."
Tara menaikkan satu alisnya, "Hah?"
"Udah, ayo buka, Ra," pinta Nadya. "Eh, ngemeng-ngemeng, kalian belum tukar nomor whatsapp? Kok masih surat-suratan, jadi keinget nenek gue waktu muda dulu," lanjutnya dengan senyuman tidak jelas.
Tara merogoh sakunya dan mengambil kertas tadi, "Belum, sih. Nggak ada niatan buat tukeran nomor whatsapp."
Kepada : Tara.
Nanti kalau sudah pulang, ke belakang kampus, yah. Gue tungguin di sana. Di sana ada rumah kecil berwarna kuning, soalnya mobil gue masih gue perbaiki di sana. Tolong turuti perintahku, ya, please.
Thanks.
Isi surat yang sangat singkat, membuat Tara kembali berpikir dan gugup untuk menuruti hal tersebut. Ia takut terjadi hal yang tidak ia inginkan. Nadya menepuk pundak Tara, "Eh, ngapain ngelamun lagi, sih. Udah turuti aja, kasihan."
"Kenapa, sih, kok pada ribut?" tanya Sonya sembari melepas earphone yang ia pasang pada kedua telinganya.
"Nih, baca!" seru Nadya sembari melemparkan surat tersebut pada Sonya.
"Hm, yaudah, turuti aja, kasihan dia," jawab Sonya.
"Tuh kan. Kami sebagai sahabatmu sangat menyetujui dan mendukungmu, Ra."
Setelah Tara pikir-pikir, apa yang diucapkan teman-temannya itu benar. Selama ia hidup, baru kali ini ia mendapat dukungan dari seorang sahabat. Tak mau membuang kesempatan, apa yang dikatakan sahabatnya itu mungkin memang perlu ia turuti.
YOU ARE READING
Perantara
RomanceManusia dengan segala hutang-hutangnya, dan Tuhan dengan segala rahasia-rahasianya. "Kehilangan" adalah sebuah kata yang tidak ingin didengar oleh siapa pun. Termasuk Tara, gadis yang kuliah di jurusan teknik kimia itu harus dituntun oleh takdir un...