"Cepat kemas semua barang²mu. Jangan lupa kerinduan, sekalian tangis malam² sepimu. Nanti kalau sempat kita tukarkan di pertemuan." , Suara di seberang meng-iya-kan.
Begitupun aku memasukkan sebagian langit kota rantau, sebagian dari tanah yang tiap hari kupijak, dan udara yang kuwadahi dalam toples plastik sisa kue raya.
Benda itu bersuara lagi, menyambungkan suaramu di seberang sekali lagi.
"Aku sedang menuju stasiun, tiba-tiba langit menangis deras. Aku basah kuyup kekasih.", Aku mengangguk memahami kata²mu."Nanti dalam pertemuan sekalian kukemaskan setangkup peluk untuk menghangatkanmu bagaimana? Apa peluk yang sebelumnya telah habis?", Suara itu lagi-lagi meng-iyakan.
"Sudah kubilang gunakan satu peluk untuk satu malam. Berhematlah untuk pelukan-pelukan itu. Butuh waktu lama mengumpulkannya kau tahu?", Dia terkekeh. Sesaat kemudian dari seberang, dia ceritakan bertemu dengan orang yang menjual pelukan ,tapi dia enggan membeli, dia memutuskan membeli secangkir coklat hangat nikmat yang kelak dijanjikannya akan mengajakku menikmatinya.
"Baiklah berangkatlah. Hati-hati, nanti kau undang saja lelap saat di atas kereta. Jangan memaksakan diri untuk kedinginan lagi kau tahu!", Dia lagi- lagi terkekeh. Lalu menutupnya sebelum aku mengingatkan ia untuk tak banyak bersenandung di kereta.
Suara-suara muskil kembali menyapa telingaku. Telah lama tak kudengar suara ini. Suara yang asalnya dari dalam tubuhku, yang menyambut pertemuan dari lintas dimensi ruang dsn sedikit menyelinap dari waktu-waktu yang bercelah.
Aku masih sibuk mengemas. Sedikit senyum dan suara itu ku tangkap dalam lembaran kertas usang. Kututup rapat-rapat dan kumasukkan dalam ruang kosong pada koper.
--
Kutemukan diriku diam bergerak dalam besi tua yang berdecit di sendi-sendi roda besinya. Kudapati irama tempo denyut nadi dan jantungku semakin tak karuan. Dalam waktu yang enggan kuhitung kukira memang sudah cukup lama tidak menemuinya.Kurasai resah, dan kuredakan sedikit demi sedikit dengan bayangan wajahnya yang ke jingga-jingga an semacam campuran senja dan pagi dengan senyum secerah matahari, tatapan yang seteduh malam. Wajah itu yang kini sedang kujemput.
Peron stasiun di ruang yang kutuju begitu ramai. Koperku terasa berat sampai-sampai harus dibantu untuk turun dari kereta. Aku sempat tak ingin peduli. Aku duduk duduk manis di peron sambil sesekali memastikan seluruh barang bawaanku dalam kondisi yang optimal untuk beralih tangan pada empunya. Peron semakin padat oleh orang orang yang berteriak tatkala melihat layar di ujung peron menampakkan sebuah kejadian yang tak sanggup ditangkap mata minusku.
Seseorang yang begitu tenang juga sedang duduk di sampingku. Dengan ketenangan setingkat dewa kupikir kita punya karakter yang sama. Jadi kutanyai dia. "Permisi, apa kau tau yang sedang terjadi?"
Dia menatapku dengan dingin. Tanpa senyum, tanpa keramahan. Lalu ia berpaling sambil berucap pelan,
"Senja yang kelaparan. Kekasih yang mengalunkan irama kejauhan. Santapan yang terasa begitu tepat." ,Aku linglung tidak mengerti.Satu putaran penuh menit jam, dua putaran, tiga putaran, hingga putaran kelima. Bokongku terasa kram oleh dingin yang membius bangku-bangku di peron stasiun. Aku berdiri dan mencoba menghangatkan diri dengan sedikit gerakan yang kukira akan baik. Rasa penasaranku meninggi saat orang-orang semakin heboh dengan berita di ujung peron.
Mungkin memang harus kucari tahu sendiri. Aku mendekati kerumunan. Memecah kumpulan manusia yang histeris, ketakutan, prihatin.
Tertulis dalam layarnya yang tak begitu besar "Kereta Barat Hilang Tanpa Jejak Saat Menuju Tengah, Adakah Kekasih yang Menyanyikan Irama Jauh lagi?", Seketika aku merasa tulang belulangku hilang. Lemas. Tubuhku meluruh tak mampu berdiri. Kereta barat adalah kereta nya. Irama jauh adalah irama yang selalu disanjung-sanjungkannya. Tiba tiba , seseorang yang duduk di sampingku tadi ,kini berdiri di sebelahku yang rasanya lumpuh.
"Sudah kubilang, senja kelaparan, irama kejauhan, dan kekasih yang kehilangan. Perjalanan yang sempurna." , Dia tersenyum sinis dan pergi. Semua sibuk membahas misteri hilangnya kereta barat di sebuah stasiun yang memancarkan jingganya senja secara sempurna. Aku mengambil benda yang menyambungkanku dengannya sebelum rel panjang kami tempuh. Kuketikkan nomornya ,menelponnya dan yang kudengar bukan suaranya.
"Ini irama jauh.", Aku mulai sesegukan. Dia telah sempurna pada perjalanan nya. Tidak ada lagi temu berikutnya. Harusnya selalu kuingatkan padanya untuk tak menyenandungkan irama itu dimanapun selain pertemuan kita.
NOTE :
Coba kau fikir apa senja berarti senja yang sungguh? Kau yakin irama jauh adalah benar-benar kumpulan not-not usang perpaduan do hingga si? Jangan kau telan mentah²!
-del