Siapa yang akan menyangkai segala yang akrab bisa terasa begitu asing. Segala yang selalu bisa menjadi sekedar pernah tau.
Aku jatuh cinta. Tidak bertele-tele. Lelaki dengan tatapan mata yang dingin, kata-kata tak romantis, perlawanan karakter yang begitu menekan sukma. Kemungkinan bersama hanya angan-angan belaka. Tapi dia nyata dan berdiri di sana. Berhadap-hadapan dalam maya tapi nyata.
"Sudah sejak lama aku menyukaimu." , Wajahnya tidak ramah tapi terasai sungguh dan mengharukan.
"Begitupun aku, Tuan.", Kami berpelukan. Pelukan yang lagi-lagi maya tapi nyata. Dan semua dimulai.
Di setiap malam ada suara-suara muskil menyelinap lewat benda kecil yang menjadi media ucapan selamat tidur, semoga mimpi-mimpi indah. Hari yang penuh dengan cerita dan selalu saling ingatkan bahwa seberat apapun harimu, selalu ada tempat untuk pulang atau sekedar bersandar. Kami sibuk dalam masa-masa kasmaran. Lelaki dengan hati yang beku itu mulai terasa hangatnya. Caranya berbicara yang dulu terasa semacam jarum ,dimana kata-katanya mampu menusuk daging mu sampai fascia terdalam berubah menjadi sentuhan-sentuhan hangat yang memanjakan reseptor ruffini di kulit yang dipeluk dingin kota abu-abu.
Dia menjadi kebiasaan dan keseharian. Dia lelaki yang terkadang Tuhan bawa ke surga dan sesekali di turunkan ke dunia untuk menemaniku. Dalam hati sungguh aku segera ingin menemuinya dalam nyata yang nyata. Memuja namanya sebagai utusan yang baik dan terbaik.
Kami benar-benar menghabiskan waktu bersama. Kadang menanjaki tangga yang terbuat dari pelangi sambil berpegangan tangan akibat takut kehilangan. Kadang kami berenang menyeberangi samudera dan mengapung kehilangan arah, tapi kami menikmati itu.Lelaki itu datang dari suatu kota yang menyajikan matahari lebih awal dari tempatku. Dia adalah lelaki yang membawaku untuk menikmati pagi yang terasa jauh lebih lengkap indahnya dibanding senja atau waktu waktu lain yang jadi hiasan dunia. Dia selalu di sana. Dalam tumpukan kenangan yang sudah dan akan bertumpuk menjadi indah.
Kita tak pernah peduli hitungan. Berapa puluh purnama yang kami temuipun kami tak peduli. Sebab momen adalah yang terpenting. Kami menikmati kebersamaan, tak sudi mengumumkan bahagia pada dunia. Dalam egoisme kami berlindung agar cukup kami saja yang rasai ,jangan orang lain. Ini eksklusif ,limited.
Begitupun waktu waktu berlalu. Aku tak pernah tau apa itu hari, minggu, bulan, atau tahun. Selagi ada dia waktu tak lagi berarti, sedikit dimensi yang mengusik sebenarnya hanya sebatas ruang. Bahwa kami kadang hanya bertukar suara, pesan, surat, bukan pertemuan raga tapi syukur kami pada Pencipta begitu tak terkira.
Kami selalu begitu. Saling memuja nama, dia yang akan menatap mataku dengan cara yang paling berbeda dari makhluk makhluk di dunia ini. Selalu kutanya , "mengapa begitu menatapku?". Nyatanya dia selalu berkelit dan memilih diam. Aku semakin dan semakin mencintainya.
Semakin lama aku mencintainya semakin tinggi pula egoisme yang terpupuk. Keinginan untuk mendaulat sepenuhnya. Menginginkan ia yang seutuh-utuhnya. Sayang, egoisme yang demikian bahkan tidak diimbangi dengan sikapku yang seharusnya selalu mengerti.
Satu hari, tak ada yang aneh. Pagi masih sama dinginnya, petang masih sama misteriusnya, malam masih sama kikuknya. Hanya aku yang berubah. Egoisme itu berbuah ketidak pedulian. Aku berdiri pada kaki yang kukira senantiasa kokoh tanpa siapapun. Aku tak peduli dan keinginan mendaulat semakin tinggi. Semua jadi tak baik-baik saja sejak saat itu.
Dia dalam beberapa saat mulai menghilang. Di satu hari berikutnya kutemukan tangannya hilang dari keseluruhan tubuh yang biasanya kurengkuh. Aku tak bertanya sebab kupikir akan menjadi sebuah pemakluman jika aku tak menuntut kesempurnaan. Esok harinya lagi ,dia kehilangan telinga. Aku mulai kalut, tapi masih dengan idealisme tinggi bahwa tentu dia takkan apa sebab kurasai hilangnya telinga itu tak akan berdampak banyak padaku yang merasa memikul beban yang lebih berat.
2 hari dalam hitungan setelahnya. Dia kehilangan kedua matanya. Lenyap. Tak ada indah yang kami rasai bersama. Tapi aku tetap diam. Aku pikir akan lebih baik kita mengambil sedikit rehat untuk tak menjemput temu. Dengan begitu kukira dia akan membaik, begitupun aku.
Tapi aku salah. Salah sebesar besarnya salah. Dalam hatiku mengembang kerinduan dan sayang yang berlebih lebihan. Yang tumpah ruah yang bahkan tak sanggup kubawa kemanapun lagi.
Dia hilang.
Aku berlarian ke arah tangga pelangi yang biasa kita jajaki, bahkan tangga itu ikut lenyap. Aku menuju samudera yang biasa kita arungi, tapi yang kutemui adalah padang pasir tandus. Lengang dan kosong. Angin pun bahkan enggan menemani pencarian yang tak bertepi menuju arah yang serba tak pasti.
Aku mengerang, menangis sesegukan, melipat tubuh dalam luasnya sebuah planet yang bahkan semacam tak ada satupun penduduk di dalam tanahnya. Tubuhku gigil menggila. Aku kehilangan dia. Telah hilang, secara perlahan dan menyakitkan. Dimana kau kekasihku? Dimana kau?
---
NOTE :
Kisah ini kutulis dalam segala yang tak pasti, jangan terkecoh dengan tulisan, semoga kau mampu menginterpretasi.
-del