Kita hanyalah temu untuk saling mengenal.
•••••
Rasa hanyalah perempuan dengan semua kekurangan dan kelebihannya, yang terkadang mementingkan gengsi dan ego daripada hatinya, yang merasa benar namun belum tentu kebenarannya.
Pagi itu hanya jejak rindu kepadanya yang dapat Rasa rasakan. Hanya dapat mengenang tanpa bisa kembali menyelam bersama. Hanya bisa melihat tanpa bisa kembali menggenggam. Hanya bisa tersenyum tanpa bisa beradu canda. Semua dibatas kata ‘hanya’.
Sejenak melamun terus membuatnya larut dalam kerinduan hingga akhirnya kenangan kembali menghantui.
Rasa menghela napas muak. Muak dengan segala keluh kesah yang tertumpuk di dalam hatinya.
Dreettt ... dretttt ...
Dengan malas, ia menggapai ponsel yang tergeletak di atas meja belajarnya.
“Hm?” sahutnya dengan lesu.
“Pokoknya lo harus ke sini!” ucap seseorang di seberang sana dengan kalimat ngegas. Rasa mengernyit heran, lalu melihat sang penelpon yang berani-beraninya mengganggunya di saat sedang galau seperti ini.
Saat tahu si penelpon adalah mantan pacar sang abang, Rasa hanya bisa berdecih kesal. Hendak marah pun, ia pasti akan kalah, jadi lebih baik mengalah.
“Lo mah, Kak! Gue itu lagi galau tau gak, sih? Kok lo malah maksa, sih! Harusnya lo itu hibur gue,” ketus Rasa. Tak heran ia sangat berani menjawab sang mantan kakak ipar. Pasalnya, mereka amat dekat, dan mantan pacar kakaknya itu sudah menganggapnya sebagai adik, begitupun sebaliknya. Jadi, sudah sangat biasa didengar jika mereka berbicara menggunakan urat.
“Kalau lo mau gue hibur, ya, ke sinilah! Masa gue yang nyamperin lo ke sana. Gak sopan lo sama yang lebih tua. Lagian, lo udah lama gak main ke sini, sesekali ke sini lagi dong. Kalau Lo gak datang sendiri, siap-siap gue suruh anak-anak jemput lo ke sana. Okey? Bye!”
Rasa menganga menatap ponselnya yang telah mati. Memang sudah biasa Lara—mantan pacar abangnya—berbicara seperti kereta api yang gak ada putusnya, tapi tetap aja selalu membuat Rasa takjub.
Mau tak mau Rasa mengganti baju tidurnya menjadi baju yang lebih santai. Jika dipikir-pikir ia memang sudah lama tidak main ke sana. Jadi, apa salahnya main ke sana, bukan? Pun, Rasa tidak mau merepotkan yang lain dengan menjemputnya ke sini, karena itu daripada menyusahkan lebih baik ia yang bergerak.
Dasar kak Lara! Repot banget, huh!
***
Bagi yang menjawab ‘ke sana’ yang dimaksud Lara itu adalah rumahnya. Jawabannya tentu salah. Karena yang dimaksud Lara itu adalah sebuah Caffé yang pemiliknya merupakan teman mereka sendiri.
Sedikit bercerita, Lara adalah pacar abang Rasa alis sudah menjadi mantan. Mereka bertemu di sebuah perkumpulan, semacam geng, tapi bukan geng. Yang pasti, siapa saja boleh diizinkan masuk. Dalam perkumpulan ini, semua angkatan boleh bergabung. Contohnya saja Rasa yang masih SMA, padahal Lara dan teman-teman yang lain banyak sudah kuliah, bahkan kerja (gak sekolah). Tapi balik lagi, perkumpulan ini gak ada larangan untuk bergabung apalagi jika ada seseorang yang dikenal di dalamnya, mungkin lebih mudah bergabung.
Lara itu super baik, lemah lembut, cantik lagi, tapi sekalinya marah dia susah banget ditenangkan, dan cowok yang jadi pacarnya harus siap-siap kesal setengah mati. Kenapa? Karena yang nunggu putus ngantre.
Back to the topic, saat ini Rasa sudah tiba di depan sebuah Caffé dengan ciri khas buku di mana-mana. Sesuatu yang sangat Rasa sukai. Caffé ini milik kak Mahen yang notabennya anak konglomerat, namun seorang pekerja keras. Ia membangun semuanya dari nol hingga menjadi Caffé yang sangat trend saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Say to Goodbye
Ficção AdolescenteDi antara bulan dan bintang, selalu ada langit yang menjadi pembatas. Di antara benci dan cinta selalu ada benang tipis yang menghalangi. Di antara galaksi dan sang surya, masih ada jarak yang membentang. Hidup adalah siklus di mana pertemuan seba...