Bab 1
"Biar Bi Isah sama Mang Herman saja yang antar Syakir ke sekolah. Mama banyak urusan!" teriak Mama dari ujung ruangan tempatnya duduk bersilang kaki sambil membubuhkan lipstik merah menyala. Hari minggu seperti ini Mama biasa pergi shopping bersama teman-temannya. Rumah kami memang di desa, tapi Mama selalu shopping ke kota.
Aku yang sedang menggambar desain gedung berlantai dua yang menjadi proyekku, mau tidak mau mengangkat kepala. Mama tidak pernah berubah. Dari dulu selalu menyerahkan pengasuhan anak kepada pembantu.
Syakir akan masuk TK, harus ada yang mendaftarkannya. Kalau bukan Mama siapa lagi yang bisa diandalkan selain Bi Isah pembantu rumah kami. Akan tetapi, kali ini aku tidak akan membiarkannya. Bagaimanapun, Syakir adalah anakku, aku harus terlibat dalam pendidikannya. Paling tidak, aku tahu di mana sekolahnya.
"Biar Bayu saja, Ma. Besok Bayu enggak ke mana-mana," ujarku memastikan.
"Kamu yakin, Bayu? Apa kata orang nanti, anak Mama paling ganteng datang membawa anak kecil. Nanti orang nanya yang lain-lain. Bi Isah saja, deh!"
"Syakir anak Bayu, Ma. Wajar kalau Syakir datang ke sekolahnya. Lagian, orang enggak akan seusil itu sama Bayu. Mereka juga enggak akan kenal Bayu. Sekolahnya cukup jauh dan mahal, enggak banyak warga kampung kita yang daftar ke sana," kilahku bersikukuh.
"Kamu enggak tahu, ya, kalau keluarga kita ini terkenal. Terserah kamu deh. Kalau ada apa-apa, jangan salahin Mama, ya!" ucapnya tak peduli.
Kembali kufokuskan pikiranku pada kertas gambar A3 di atas meja. Ah, malas jadinya kalau sudah terganggu begini. Kuletakkan penggaris segitiga di atas kertas. Lebih baik aku bermain dulu dengan Syakir. Pagi-pagi begini pasti Syakir sedang bermain air dengan Bi Isah dan Ratna.
"Syakir!" Aku meneriakkan nama anakku sambil berjalan ke halaman belakang. Bercengkerama dengan bocah polos itu selalu membuat suasana hatiku lebih baik.
***
Pagi-pagi sebelum jam delapan aku telah bersiap dengan pakaian rapi. Begitu pula Syakir. Sebenarnya aku tak perlu membawa Syakir jika hanya untuk melakukan pendaftaran. Namun, aku pikir, baik bagi Syakir melihat sekolah yang akan menjadi tempatnya belajar dan bermain agar bisa lebih cepat beradaptasi. Tentu saja, aku ditemani Bi Isah.
Udara segar pedesaan mengisi paru-paruku sepanjang perjalanan ke calon sekolah Syakir. Sekolah itu berjarak tiga kilometer dari rumahku. Letaknya lebih pelosok dibandingkan lokasiku saat ini. Namanya juga sekolah alam, sengaja mengambil lokasi yang memungkinkan anak didiknya bisa berinteraksi dan mengeksplorasi alam sebaik mungkin.
Kumasuki pelataran parkir sekolah yang luas. Kulihat sudah banyak orang tua yang hadir untuk mendaftarkan anak-anaknya. Aku memarkirkan mobilku di salah satu sudut pelataran, tak jauh dari taman bermain. Kuminta Bi Isah mengajak Syakir bermain sementara aku berjalan ke dalam gedung.
Aku duduk di kursi yang disediakan panitia, menunggu antrean yang tidak terlalu panjang. Kulayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Di depan sana berjajar beberapa meja pendaftaran yang ditunggui para petugas wanita berjilbab lebar. Seketika mataku terpicing, lalu membulat. Aku tak dapat berkata-kata.
Dia? Perempuan muda yang sedang duduk di sana, benarkah itu dia?
Aku menghela napas. Sekuat apa pun mengelak, aku dan dia suatu saat akan bertemu. Itulah takdir, aku meyakininya. Kutatap wajahnya di balik meja pendaftaran berlapiskan kain batik mega mendung bernuansa ungu. Lidahku kelu hanya untuk sekadar menguntai sapa. Aku tak tahu apakah dia menyadari kehadiranku di antara antrean para ibu dan ayah yang hendak mengantar buah hatinya menuju pintu peradaban ini.
Tiba giliranku menghadap mejanya. Ada sejumput gugup mengiringi langkahku. Aku tak menyangka bahwa hari ini aku akan berdiri di hadapannya, mengetuk pintu sekolahnya agar menerima satu-satunya buah hatiku agar diperkenankan berbaur dalam dunia baru untuk belajar tentang sebuah pertemanan.
Kebetulan Bi Isah membawa Syakir masuk, kuminta mereka mendekat. Perempuan muda itu, dengan keramahan yang tulus, menyapa anakku dengan hangat. Membangun komunikasi pertama yang efektif, begitu yang dia coba lakukan terhadap calon anak asuhnya. Aku jadi terharu mengingat bahwa anak lima tahun yang ada dalam genggaman tanganku ini, setelah hari ini, akan kuserahkan sebagian waktu belajar dan bermainnya ke tangan dia, gurunya. Bermenit-menit aku menanti dengan waswas apakah dirinya akan langsung mengenaliku saat mata indahnya itu tertuju hanya untukku.
Akhirnya dia mengangkat wajah menghadapku setelah menyelesaikan percakapan singkatnya dengan Syakir. Lega, hanya lega yang kurasakan saat mata itu berbinar menyambutku. Sikapnya sangat formal. Aku memakluminya. Saat ini kami berada dalam situasi yang memang menuntut formalitas.
Dia mulai dengan menyapaku. "Mana ibunya, Pak? Enggak datang sama-sama?" tanyanya sopan.
"Sedang tidak ada," jawabku singkat.Kemudian, aku menyerahkan dokumen keluarga yang dibutuhkan. Ada kernyit di dahinya saat membuka dokumen itu, tetapi ia hanya tersenyum lalu mempersilakan aku pergi saat semuanya selesai.
Tak terlalu istimewa memang untuk sebuah pertemuan berumur hampir satu dasawarsa. Namun, aku cukup bahagia. Dari sorot matanya, aku tahu dia mengenaliku. Entah besok jika kami kembali bertemu, apakah kami masih memiliki kesempatan bersua dalam keakraban yang berbeda?
Tiba-tiba aku ingin lebih sering ke tempat ini. Tiba-tiba aku ingin melihat parasnya lagi. Haruskah aku mencari-cari sebuah alasan agar aku bisa menikmati semringah cerah dari wajah yang sekian waktu kurindu?
Mikaila Shabira, demikian kuulang namanya dalam sanubariku. Sosok yang sekian tahun menghilang dari pandanga. Nama indah itu tak lekang dari bisik bibirku. Aku tak berani meneriakkannya di hadapan orang-orang. Hanya saja, aku merasa relung hatiku yang beberapa waktu ini kerontang kini kembali basah.
Mikaila Shabira, lagi kusebut namanya saat tatapanku nanar tertuju pada langit-langit kamar. Hatiku bersemangat, tetapi persendianku lemas hingga terpaksalah kurebahkan tubuhku di atas ranjang. Aku menghela napas berat. Bagaimanapun, aku harus berterima kasih pada orang tua yang telah menyematkan nama yang bermakna nan indah itu hingga aku tak bosan merapalnya berkali-kali. Kucoba menutup mata lahirku agar kubisa membuat mata batinku terbuka, mengingatnya.
Kilasan demi kilasan bergulir di benakku, menampilkan episode-episode lama yang hampir tenggelam. Umpama film kuno yang sedang tayang ulang. Sedikit suram dan hanya berwarna hitam putih.
Ah, sebuah rasa yang dulu menghilang kini kembali datang, menggedor-gedor pintu pertahananku yang rapuh. Apa yang Engkau rencanakan dengan pertemuan ini, ya Allah? Bolehkah aku berharap lebih pada sosok yang tak terjangkau itu? Gerimis melanda, aku tak bisa tidak menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENIKAHLAH DENGANKU
RomanceSemenjak remaja hingga dewasa, Bayu diam-diam mencintai Bira, adik sahabatnya. Namun, belum sempat ia utarakan perasaannya, Bira telanjur dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya. Bayu patah hati, lalu pergi menjalani hidupnya bersama pasangan...