Ruang Kenang

36 2 0
                                    

Bab 2 Ruang Kenang

"Hari ini belajar apa, Nak?" tanyaku pada Syakir. Aku berjongkok di hadapannya sambil mengasongkan sebelah sepatu dari atas rak. Kutunggu ia memasukkan kakinya ke dalam sepatu biru yang kubelikan bulan lalu. Melihat Syakir bisa memakai sepatunya sendiri meski sedikit lama, membuatku sangat senang. Sejatinya, setiap orang tua harus menyadari bahwa saat mereka menitipkan anak-anak ke sekolah, bukan hanya anak yang belajar, orang tuanya pun ikut belajar sehingga bisa mendukung kemajuan dan kemandirian belajar anak.
"Tadi seru, deh, Yah. Aku bisa menangkap ikan pakai tangan," ujarnya bersemangat, "tapi lepas lagi."
"Wah, ayah jadi pengin nangkap ikan juga." Aku menanggapinya dengan semangat pula.
"Enggak boleh, nanti Bunda-bunda marah. Ayah, 'kan, udah besar. Nanti ikannya mati keinjak kaki Ayah," ucapnya polos. Aku terkekeh.
"Ikannya pintar lari, enggak mungkin keinjak," sanggahku.
"Ayah ... ikan itu enggak bisa lari, tapi berenang!" ujarnya kesal. Aku terbahak.
"Bunda-bunda itu siapa, sih?" Kubetulkan letak tas di pundaknya tanpa berusaha mengambil alih bebannya. Kugamit tangannya menuju lapangan parkir.
"Bunda Kaila sama Bunda Emi. Ayah gimana, sih. Makanya, kalau ke sini, Ayah ngobrol dulu sama Bunda-bunda, kayak Bi Isah."
Aku tak membalas ucapan Syakir, kubiarkan dia menggerutu menyadari sikapku yang menurutnya konyol. Aku hanya bisa menyunggingkan senyum. Anak ini yang kukira akan jadi pemurung tanpa kehadiran ibunya, ternyata senang berceloteh. Alhamdulillah, terima kasih, ya, Allah.
Kukemudikan mobil dengan kecepatan sedang melewati jalanan desa yang baru teraspal dengan baik. Kulirik wajah Syakir yang masih kemerahan karena lelah. Namun, lelahnya tak mengurangi antusiasmenya saat kuajukan sebuah pertanyaan.
"Syakir, mau enggak nangkap ikan lagi?"
"Mau ... mau ... mau!" jawabnya senang, tetapi kemudian wajahnya melayu.
"Tapi Bunda-bunda bilang, menangkap ikannya bulan depan. Bulan depan itu kapan, sih, Yah? Lama enggak?" tanyanya.
"Kapan, ya?" Kujawab dengan pertanyaan serupa sambil memonyongkan mulutku, pura-pura berpikir.
"Segini bukan, Yah?" Syakir mengangkat  tangannya sambil merentangkan kesepuluh jarinya yang gemuk berisi. Kupalingkan wajahku sekilas memandangnya sebelum kemudian konsentrasiku kembali ke jalanan di depanku.
"Kurang!"
Kudengar Syakir mendengkus. "Tambah lagi?"
"Ya, tambah segitu lagi, tambah segitu lagi," ujarku tanpa menoleh.
"Banyak sekali, Yah. Nanti aku akan menghitungnya kalau udah sampai di rumah. Aku sudah bisa menghitung sampai lima puluh," akunya bangga.
"Wah, hebat! Bukankah anak kecil seperti kamu cukup menghitung sampai sepuluh saja?" pujiku.
"Ayah payah! Sepuluh itu cetek, Yah. Anak pintar harus bisa menghitung sampai seratus." Aku terbahak mendengar penuturannya yang penuh rasa percaya diri.
"Oke, oke, oke. Ayah kalah. Dulu ayah enggak sepandai kamu." Kuusap kepalanya lembut. Dia tertawa senang.
"Kalau nangkap ikannya enggak sama Bunda-bunda, gimana?"
"Sama siapa?" Wajahnya menunjukkan keraguan.
"Sama Ayah, dong!"
"Berdua?" yakinnya.
Aku mengangguk. "Di rumah Mang Herman."
"Mang Herman punya kolam ikan?"
"Ya, ikannya banyak sekali! Kamu bisa makan ikan sampai kenyang."
Syakir melonjak-lonjak gembira. "Sekarang?"
"Enggak. Sekarang ayah cape, kamu juga cape. Nanti hari minggu saja," janjiku.
"Betul? Janji?" Suaranya masih menunjukkan keraguan. Kuanggukkan kepalaku sekali lagi.
"Ayah baik!" Diciumnya pipiku tiba-tiba. Kurentangkan sebelah tanganku menahan tubuhnya agar tak melonjak atau terantuk dashboard. Sampai di rumah dia melupakan rencananya untuk menghitung tiga puluh hari janji Bunda-bundanya. Baginya, itu sudah tak penting. Aku terkekeh menaiki tangga menuju kamar sementara Syakir disambut Bi Isah dan Ratna, para pengasuhnya.
***
Sesuai janji, aku dan Syakir bersilaturahmi ke rumah Mang Herman. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke rumah Mang Herman sejak kepergianku ke kota delapan tahun lalu. Mang Herman senang sekali menyambut kedatanganku dan Syakir. Begitu pula istrinya.
Mang Herman telah menjadi teman masa remajaku. Aku banyak menghabiskan waktu berlama-lama di rumahnya. Waktu itu Mang Herman masih sangat muda dan baru menikah. Mang Herman seperti seorang paman yang menyayomi keponakannya. Di rumah Mang Herman pula aku mengenal dua orang paling istimewa dalam hidupku. Ya, kampung Mang Herman adalah kampung kedua kakak beradik itu. Entah apa yang mendorongku mengajak Syakir ke tempat ini. Mungkin pertemuanku dengannya di sekolah Syakir, sedikit banyak membuat hatiku merindukan masa lalu.
Tidak banyak yang berubah dari kampung ini. Rumah penduduknya sebagian masih panggung. Hanya bagian tepi jalan raya saja yang lebih ramai karena berdiri beberapa toko, tetapi jika berjalan jauh ke bagian dalam kampung di belakang rumah Mang Herman, aku seperti masuk ke dalam slide lain yang demikian kontras. Keasrian alam masih cukup terjaga. Aku meminta Mang Herman menjadi pemanduku menuju bagian dunia masa laluku.
Kususuri jalan setapak yang penuh kenangan ini. Jalan yang sudah berbilang tahun tak pernah kupijak. Jalan ini menjadi saksi bahwa dulu aku dan dia pernah dekat. Hamparan hijau padi petani dan beningnya air yang mengular sepanjang pesawahan, layak menghuni ruang kenangku. Aku dipaksa tersenyum jika mengingat kekonyolan demi kekonyolan yang pernah kulakukan bersama dia dan kakaknya. Hatiku dilanda rasa ingin tahu, apakah dia masih ingat dengan momen yang pernah kami lewati di sini?

Dalam topeng pertemanan aku berlindung dari perasaanku. Aku dan kakaknya demikian karib hingga dia pun menganggap hubungan kami layaknya keluarga. Jujur, aku sangat nyaman bergaul bersama mereka. Dia yang manis memang jarang menangis. Mandiri dan ceria, dua hal baik ini yang selalu kuingat tentangnya. Sesekali dia merajuk untuk meraih pinta sederhana kepada sang kakak dan aku serta merta membantu memenuhinya. Anak itu baru lulus SD, sedangkan aku memasuki dunia SMA-ku yang menggebu.

Bira, demikian kupanggil namanya dalam keseharian kami. Andri, kakaknya, adalah teman sekelasku. Aku yang beranjak dewasa, lebih dulu menyadari bahwa kita tak mungkin selamanya berteman. Aku ingin menjadi bagian dari keluarganya, bukan sekadar pengakuan semu seorang teman yang kemudian menjadi jemu atau sekadar rasa yang hilang tertelan masa. Namun, aku perlu bersabar. Usia kami saat itu masih terlalu muda untuk berencana. Terlebih, aku masih malu. Egoku terlampau tinggi jika harus mengucap kata suka.

Pagi ini, saat kugandeng sepasang tangan mungil Syakir, mengenalkannya akan keindahan ciptaan Tuhan, aku menyenandungkan kerinduan yang amat dalam padanya. Aku dan dia kini berbeda. Aku tak kuasa mengurai rasa yang telah terpintal sekian lama, tetapi pada saat yang sama aku tak mampu menyulamnya menjadi tenunan kata cinta yang pantas. Dia masa laluku. Akan sangat salah jika mengharapkannya menjadi masa depanku pada saat dirinya tak lagi sendiri.

Lagi-lagi kumaki kebodohanku. Kubesarkan hatiku yang menciut dengan sebait doa ketenangan, untukku juga untuknya. Kulebarkan senyumku di depan Mang Herman sambil kuceritakan banyak kisah pada Syakir, untuk menutupi suasana hatiku yang tak menentu.

Bandung, 12/09/2020

MENIKAHLAH DENGANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang