Waterfall

653 106 19
                                    

—————————

[ IX ] Waterfall
—————————

.

.


Dini hari sebelum ayam berkokok, Aldrich dikejutkan oleh gedoran kasar dari pintu utama. Malam itu sang pangeran memang tidak tertidur. Entah karena lagu Dimitri yang tidak mempan lagi ataukah ia terlampau suntuk memikirkan mantra.

Aldrich beranjak dari samping Dimitri yang sudah pulas—sang pangeran yang membaringkannya ketika anak itu terkantuk-kantuk saat meniup suling.

Aldrich sedikit membuka pintu kandang, memberi celah baginya untuk mengintip. Di sana, Ayah Dimitri tampaknya baru saja keluar dari rumah untuk menyahuti gedoran itu.

"Apakah Pangeran ada di sini?!"

Aldrich memincingkan mata. Sekelompok pria datang membawa pelita. Ia mengenali sosok perwira yang sedang dipapah oleh salah satu dari mereka.

"Apa yang terjadi?"

Aldrich melirik. Dioni ternyata terbangun. "Entahlah." Sang pangeran membuka pintu lebih lebar. Derikannya membuat si perwira menoleh.

"Yang Mulia!"

Dioni yang pertama kali bereaksi "Bennet?" Ia melangkah tergesa menghampiri letnannya yang tampak sekarat. "Apa yang telah terjadi padanya?" tanya Dioni pada lelaki yang membawanya.

"Entahlah, Tuan." Lelaki itu tampak gugup. "Aku menemukannya terkapar di halaman rumahku. Ia tampak sakit. Ia bilang ia mencari pangeran. Memintaku membantunya untuk mengetuk pintu setiap rumah di sini."

"Ada apa?" Aldrich memperhatikan peluh yang mengalir deras di kulit Bennet. Serta tangan yang sejak tadi memegangi perutnya.

"Darurat," ringisnya. Dioni segera mengambil alih untuk menyangga tubuh Bennet ketika para pria itu undur diri. "Kalian harus lari."

"Bicara yang jelas," pinta Dioni. Berusaha meredam kepanikannya.

"Kami dipukul telak." Kaki Bennet terasa lemas dan ia meluncur turun dari papahan Dioni. Mendudukkan diri ke tanah dan bersandar pada dinding kandang. "Pasukan kami digempur oleh semacam raksasa runjung ... ada serangan kejut malam tadi ... kemah-kemah kami dikacaukan." Bennet tampak kesulitan untuk fokus. "Kolonel mengirimku untuk menyerahkan ini padamu."

Bennet tersengal-sengal. Ia meraih sakunya dan menyodorkan sebuah kalung berbandul segitiga dengan telapaknya yang tremor.

Aldrich menerimanya. "Apa ini?"

"Kolonel berhasil mendapatkannya dari penyihir," lirihnya. Lalu mengejang dan memuntahkan darah.

"Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Ben?!" potong Dioni. Kecemasannya tak bisa dibendung lagi. Ia mengamati bercak darah gelap yang kini mengotori bagian leher dan dada seragam tempur Bennet.

Dioni segera memeriksa seluruh tubuh letnannya itu tetapi tidak mendapati luka tusuk atau apa pun yang kiranya memicu pendarahan. Hanya siku dan lutut yang lecet dan kotor oleh tanah, memberi kesan bahwa ia habis merangkak dan tiarap selama berjam-jam.

"Aku telah dikutuk."

"Apa?"

"Kalian larilah...."

Bennet kelihatan ingin melanjutkan ucapannya tetapi tidak sanggup. Mulutnya bergerak pelan tanpa suara. Kelopak matanya melayu sampai akhirnya memejam. Kepalanya terkulai lelah.

Menyisakan Aldrich dan Dioni yang berlutut di depannya. Menyaksikan dengan mata terpaku.

Dioni buru-buru meletakkan jemarinya pada leher Bennet. Bahu Dioni bergetar. Aldrich mengerti. Sang pangeran sendiri sedang memeriksa pergelangan tangan si letnan muda. Denyut nadinya semakin lemah dan lemah.

Fall AsleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang