Fallout Shelter

914 180 15
                                    

______________________
[ II ] Fallout Shelter
______________________

.

.

Asap mengepul berisik dari ketel yang dijerang. Dimitri buru-buru mematikan api. Ia menuang air yang baru saja mendidih itu ke dalam cangkir kayu dan sedikit mencampurnya dengan air dari teko di atas meja makan.

"Bu, aku tidur dengan Yov malam ini."

Ibu Dimitri yang sedang makan malam bersama suaminya di meja hanya bisa mengiyakan. Ia tahu seberapa sayangnya Dimitri pada anak kambing kecil itu.

"Jangan lupa bawa selimutmu," pesan Ayah Dimitri.

Dimitri mengangguk. Ia pergi ke kamarnya sebentar untuk mengambil selimut lalu pergi ke luar rumah, menuju kandang.

Pintu kandang berderit terbuka. Di salah satu tumpukan jerami, Aldrich duduk menggigil. Rambut pirangnya yang lepek ditutupi oleh handuk. Pemuda itu baru saja selesai mandi dari sungai.

Dimitri masuk, meletakkan lampu minyak.

"Ini." Dimitri meyodorkan cangkir kayu yang dibawanya pada Aldrich. "Aku sudah bilang kalau airnya pasti sangat dingin. Ini musim gugur, menjelang senja, dan kita ada di dataran tinggi."

"Apa boleh buat. Aku belum mandi selama setahun." Telapak tangan Aldrich menghangat ketika ia menyentuh cangkir kayu. Ia menyesap isi cangkir perlahan. Ternyata bukan teh. "Ini air tawar?"

Dimitri tidak menjawab. Hanya melayangkan tatapan tidak percaya pada Aldrich. Kelopak matanya yang besar memperjelas kebingungannya.

Aldrich sendiri tidak terlalu memperhatikan. Ia memandang ke sekeliling ruangan. "Kau selalu tidur di sini?" tanyanya seraya melipat jubah beludru dan lapisan bajunya yang berbordir rumit.

Dimitri sudah meminjamkan pakaian ayahnya pada Aldrich; sepotong tunik longgar dengan sabuk sederhana di pinggang.

"Terkadang." Dimitri memberikan selimut pada Aldrich. Ia duduk di tumpukan jerami yang lain lalu menggendong anak kambing kesayangannya. "Maaf jika kau merasa tidak nyaman. Tapi orang tuaku sudah pulang. Aku tidak ingin mereka tahu kalau aku membawamu ke sini."

Dimitri kembali meraih lampu minyak lalu menggantungkannya. Aldrich terus memperhatikan bocah gembala itu.

Di bawah cahaya remang, tatapan Aldrich menajam. "Bagaimana kau tahu kalau aku seorang pangeran?"

Anak-anak raja tidak akan diekspos ke publik sebelum berumur delapan belas tahun. Aldrich penasaran mengapa Dimitri dapat menebak identitasnya dengan akurat.

Pergerakan Dimitri berhenti sejenak.

"Karena kau adalah pangeran yang hilang."

Aldrich bergeming.

"Kau tahu, dua tahun yang lalu seluruh negeri heboh karena kau menghilang."

Dimitri duduk menghadap Aldrich.

"Pengawal kerajaan memberi pengumuman di seluruh sudut kota. Namamu tersebar sampai ke pasar-pasar. Dan tentu saja, aku juga mendengarnya."

"Begitu," bisik Aldrich. Meletakkan pakaiannya yang sudah dilipat ke sudut dinding kayu, di samping sepatunya.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin ditanyakan Dimitri pada Aldrich. Banyak sekali. Namun, ia tiba-tiba merasa segan mengetahui kalau Aldrich memang benar seorang putra raja.

Aldrich diam saja menatap Dimitri yang kini sibuk mengelus Yov. Ia kemudian menyadari kalau anak kambing kecil itu adalah satu-satunya kambing di antara domba-domba di sini.

"Di mana induknya?"

Mendengar itu, Dimitri langsung mendongak. "Aku menemukannya tersesat di padang rumput."

Sudut bibir Aldrich tertarik sedikit. "Kau sepertinya gemar menampung makhluk hidup yang hilang."

"Bu-bukan begitu."

Dimitri menarik napas, berusaha mengumpulkan keberaniannya. Ia menatap Aldrich lurus-lurus. Bertanya dengan hati-hati dan sedikit tajam. "Apakah kau tidak akan kembali ke istana?"

"Aku tidak bisa—"

"Lalu, apa-apaan dengan pohon oak itu? Kenapa kau bisa keluar dari sana?"

Mata biru Dimitri berkilat oleh sinar lampu minyak. Rasa penasaran tidak bisa dibendung lagi.

Aldrich tersenyum tipis. Kesedihannya terungkap samar.

"Aku dikutuk."

.

.

Seluruh daun meranggas

Menjejaklah beku naas

Wahai Putera Emas

Jatuhlah engkau terlelap

Dengan dengkur nafas senyap

Dalam peluk hutan kau lenyap

Fall AsleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang