akhir

9 1 0
                                    

dua tahun kemudian.

Sudah dua tahun lamanya perempuan dengan rambut mulai memanjang itu masih tak bisa beranjak dari penantian yang ia yakini belum berujung. Jumpsuit putih dengan motif bunga bunga hitam, sepatu kets putih, rambut yang juga enggan di potong, hari ini ia memilih untuk mengikatnya acak. Kacamata yang juga tak pernah lepas, dengan harap dapat melihat dengan resolusi paling nyata kedatangan laki laki yang ia nantikan sudah dua tahun lamanya.

Halte bus yang sempat menjadi tempat paling indah dalam hidup Aeolian kini sudah ramai akan penjual, beragam. Bahkan semuanya sudah berubah, ada beberapa toko buku disekitar halte bus ini, ingin sekali menuju toko buku untuk membeli buku puisi tapi ia enggan. Karena ia mulai berhenti menyukai puisi sebab yang membacakanya juga sudah tak pernah lagi terdengar.

Bapak tua penjual di toko buku tepat depan halte bus berteriak menawarkan bukunya. Selalu seperti itu setiap hari, beliau membacakan sepenggalan sinopsis dalam novel atau karya karya puisi dari buku yang ia jual untuk menarik perhatian pelanggan. Sebenarnya setiap hari Aeolian tak pernah tak mendengar puisi disuarakan, karena bapak tua itu. Meskipun batinya bergumam bahwa seindah apapun puisinya jika bukan Gistara yang membacakan, rasanya tak akan jadi istimewa.

maaf sebab tak ada lain kali

maaf
maaf, sebab telah menjanjikan cahaya yang hanya bisa kuingkari
maaf, jika tak ada abadi yang bisa kau saksikan bersamaku.
maaf, karena hanya bait sederhana yang bisa kupersembahkan.
tapi keyakinanku akan salah satu bait pujangga kegemaranmu yang pernah kusuarakan saat kita beradu tatap dengan penuh cinta, masih teguh adanya.
bahwa, kita abadi.
maaf, sebab lain kali untukmu hanya bisa ku gaungkan tidak ku wujudkan.

Bait yang disuarakan oleh bapak tua didepan halte bus membuat langkah Aeolian membeku, ia tahu betul siapa yang mengucapkan maaf lewat bait bait indah yang tak bisa di gaungkan. Seluruh organ dalam tubuhnya bak berhenti bekerja, bahkan tak hanya ia. Rasanya seluruh dunia ini membeku, berhenti bersamaan pada bait terakhir dalam runtutan maaf itu.

Aeolian melangkah menghampiri toko buku yang tak pernah ingin ia datangi selama beberapa tahun terakhir dengan rasa takut, takut akan menerima kenyataan bahwa penantiannya selama ini sudah tiba pada rampungnya.

Lelaki tua itu tersenyum ketika Aeolian menghampirinya, tanpa perempuan itu bertanya satu kata pun beliau seperti tau maksud dan tuju atas kedatangannya. Bapak itu segera mengambilkan sebuah buku berwarna putih yang berjudul,

bait cinta, kepada; aeolian.

Jantung yang sudah tak pernah ia rasakan detaknya sejak kepergian Gistara kini kembali, berdetak lebih kencang melebihi sewaktu laki laki itu mengatakan bahwa ia mencintai Aeolian. Kalimat yang diutarakanya pada waktu itu dengan suara yang sangat dirindukan seolah terbayang lagi, rasa bahagia yang memang tak senyata dulu masih dapat ia rasakan ketika ia melihat namanya tertera dalam cetakan buku itu.

Aeolian meraba sampul buku yang terukir namanya sebagai judul, jari dan tatapanya terhenti pada nama penulis itu.

Gistara Adicandra.

Air mata seperti yang dikaitkan sebagian orang atas penantian, yang tak pernah jatuh selama beberapa tahun terakhir kisah panjang Aeolian dalam penantian, akhirnya luruh.

Dibukanya lembar pertama dari buku itu.

kepada, milikku yang abadi.

bait cinta, kepada ; aeolianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang