Bramantya Agam

20 7 2
                                    

"Lo berdua liat kan kejadian tadi di lapangan?" laki-laki bertubuh kecil itu sangat antusias bertanya pada dua temannya yang sedang asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. "Heran, bisa-bisanya dia jadi pusat perhatian. Belum aja tuh semua orang tau, kalau bokapnya tukang selingkuh, korupsi juga lagi." Panji terus saja mengoceh, sambil meminum segelas nutrisari yang baru saja ia beli.

"Hah?" laki-laki dengan kulit putih, keturunan Belanda itu melongo, dia adalah Guntur Bumi. Sedangkan manusia berjaket hitam disebelahnya yang sedang menyesap rokok itu hanya menautkan alisnya, berusaha memahami perkataan Panji. "Cipta maksud lo?" yang bertanya adalah, Agam. Iya, Agam, cowok di cerita sebelumnya yang memerhatikan kelakuan Aldin sedang mepermalukan Cipta di tengah lapangan.

"Emang lo berdua gak tahu? Nyokapnya Cipta masuk rumah sakit tahun lalu, gara-gara di –"

"Ampun dahh ini anak kecillll, mulutnya kok gemes banget mau gue jahit!" kalimat Panji terputus karena kedatangan Bumi yang langsung merangkul lehernya dengan erat. Namanya Purnama Bumi, ketua OSIS sekaligus kembarannya Guntur.

"Tapi berita itu beneran Nji? Dapet info dari mana lo?" biarpun fokus dengan game di ponselnya, ternyata Guntur menyimak apa yang dibicarakan Panji dengan seksama. "Rumah Cipta sama gue kan satu komplek, lo lupa? Lagian tanya aja tuh ke kembaran lo, bener kan Mi?" laki-laki berkulit langsat itu menyenggol lengan Bumi yang sedang menyeruput minuman Panji.

"Sialan! Minuman gue! Ganteng doang lo, gak modal!"

"Irit gue mah, bukan gak modal,"

Bumi mengembuskan napas, lalu menyandarkan punggungnya, "Nggak tahu ya gue berita itu benar atau ngga,"

"Lo kan ketua OSIS, masa gak denger gosip dari cewek-cewek di OSIS?"

"Pertama, gue beneran nggak tahu. Kedua, nggak penting. Ketiga–"

"Nggak peduli," Guntur memotong kalimat Bumi, dan dibalas dengan anggukan kepala serta senyum sumringah.

"Gam, ntar malam lo ke markas?" pandangannya beralih, ia bicara dengan Agam yang masih saja menyesap rokok, entah sudah rokok keberapa pagi ini. Agam menggeleng, "Nggak dulu deh, gue mau nyiapin barang-barang mural buat besok," "Sama anak-anak seni?" tanya Bumi, lagi. "Yaa iyaa, masa sama dua orang ini? Nggak bakal kelar kalau sama mereka, apalagi gak ada lo Mi,"

"MAKSUD LO?!" Panji dan Guntur saling bersautan, membuat Agam terkekeh pelan.

"Kadang gue bingung, yang kembarannya Guntur tuh lo apa Panji sih? Hahahaha,"

"Udahlah Gam, besok gak usah serius-serius banget ngemuralnya. Biar dilihat siapa sih? Hm?" bukan Guntur kalau mulutnya tidak memicu Panji untuk berkata kasar.

"Maura lah, siapa lagi? Runa? Haelahhhh... cewek hina, sok cakep, caper kayak dia mana mau nontonin pertunjukan Agam. Pasti banyak alesan, basi banget bos!" sahut Panji sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya.

"Nji, mulut lo!" Bumi menggertak. Agam tahu, Bumi hanya bersikap netral sebagaimana mestinya. Tanpa disadari, di antara tiga orang ini, Bumi lah yang paling mengerti situasi dan selalu berusaha untuk tidak memihak siapa-siapa, memandang segala hal dari segala sisi. Bisa dikatakan, diantara mereka semua, Bumi lah yang pikirannya benar-benar terbuka.

Agam yang melihat Bumi dan Panji saling pandang dan main pelototan, hanya diam, tak mau ikut menimbrung. "Maura, Runa ya?" tanyanya dalam hati, kata-kata Panji dan Guntur memang tak sepenuhnya salah, malah bisa dibilang kata-kata mereka sangat benar dan tepat sasaran. Laki-laki dengan rambut cokelat itu mematikan rokoknya, ia bangun dari duduk manisnya.

"Mau kemana lo?" tanya Guntur, yang masih saja fokus dengan ponselnya.

"Cari target, gerah disini." Agam melambaikan tangannya, lalu menghilang keluar dari kantin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menari di Atas LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang