SMA Mahadika, 2018
Tahun ajaran baru kembali dimulai, anak kelas tiga pun mulai sibuk mempersiapkan ujian nasional, sedangkan anak kelas duanya sibuk mempersiapkan masa pengenalan untuk siswa baru, termasuk gadis dengan rambut hitam yang sedang duduk di kursi pinggir lapangan. Matanya beralih perlahan, menatap kerumunan anak baru di depannya, lalu menatap teman-teman OSIS-nya yang sibuk mondar-mandir atau yang sibuk menjahili satu sama lain. Sudut bibir gadis itu tersenyum.
Ia menyumpal telinganya dengan earphone, mumpung sedang istirahat, kaki kanannya ia silangkan, bertumpu pada kaki kirinya. Perlahan tapi pasti, punggungnya ia sandarkan pada sandaran kursi, matanya terpejam, gadis itu hanyut dalam melodi beberapa lagu dalam playlist-nya yang hampir setiap hari ia dengarkan, termasuk lagunya CherryBelle yang berjudul diam-diam suka.
Kenapa tertawa? Heran ya kenapa masih ada yang mendengarkan lagunya Chibi? Hahaha begitulah, dirinya.
Angin berhembus cukup kencang hari ini, langitnya teduh, sepertinya Jakarta sudah memasuki musim penghujan. Angin sepoi-sepoi yang baru saja lewat membuat rambut gadis itu menepi dari wajahnya, membuat beberapa anak baru, bahkan teman-teman angkatannya sendiri berkata dalam hati, "Cantik," sepertinya ia sudah menjamah alam mimpinya sendiri.
Seorang laki-laki tinggi, dengan tato di lengan kanannya menghampiri dan duduk di samping gadis itu, membuat beberapa mata yang tadi menatap sang gadis beralih karena takut dengan raut mukanya. Laki-laki cerdas dengan moral yang minus, dia adalah Bramantya Agam, biasa dikenal dengan nama Agam, ketua klub seni.
"Runa." Laki-laki itu menoel pipi gadis di hadapannya.
Dia adalah Danudara Aruna, biasa dipanggil Runa. Namanya menggema di seluruh antero Mahadika, bukan hanya gadis yang cantik, ia juga terkenal dengan kecerdasan dan beasiswa penuh yang ia dapatkan dari SMA Mahadika, padahal sekolah ini benar-benar sangat selektif ketika memilih siapa yang pantas mendapatkan beasiswa, dan Runa adalah gadis yang beruntung.
Karena kepintaran dan memiliki etika yang benar pada siapapun, bukan hanya aktif di OSIS, dia juga mengikuti ekskul marching band sebagai mayorate. Runa juga sering kali mengikuti lomba-lomba antar sekolah ataupun lomba-lomba nasional yang diadakan oleh pemerintah, salah satu keunggulannya adalah lomba debat. Tapi, pintar dalam sebuah lomba debat, bukan berarti ia bisa berdebat juga dalam kehidupan nyata, justru berbanding terbalik. Ia adalah gadis ceria yang selalu membungkam segala hal dengan senyum indahnya, cukup dengan tersenyum ia meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Keren, ya? Gimana? Tertarik buat berteman dengan Runa?
Runa membuka matanya, dalam pandangannya yang masih buram, gadis itu melihat siluet laki-laki yang tak asing untuk dirinya. Lalu pandangannya kembali normal, gadis itu menjauhkan wajahnya 30cm dari laki-laki di hadapannya.
"Agam? Kenapa?"
Agam tersenyum simpul. "Besok gue mau bikin mural nih, pertunjukan masing-masing klub, lo liat ya?"
Gadis itu menautkan alisnya."Jam berapa?"
"Habis istirahat siang, bisa?"
Tanpa pikir panjang, gadis itu menggeleng, "Habis makan siang jadwal marching band tampil juga di aula sekolah. Emang lo belum liat jadwalnya, ya, Gam?"
Agam menggeleng, raut wajahnya berubah, punggungnya ia sandarkan, kepalanya mengadah ke langit. "Padahal gue berharap lo liat Run."
"Kenapa emang?"
"Ya nggak apa-apa. Kalo gitu, pulang sekolah kita makan bareng, gimana?"
Runa menarik napasnya dalam-dalam, sebenarnya ia tak enak hati mau menolak ajakan Agam, tapi apa daya ia juga harus menjaga toko kue, usaha milik sang bunda. "Gue kan harus jaga toko Gam," ucapnya tak enak hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menari di Atas Luka
Ficção Adolescente"Kalo cantik itu luka, lalu baik, celaka?" -Runa "Shit, gue udah minum berbotol-botol pun kenapa sakitnya enggak ilang sih anjing?!" -Ditya "Ternyata segalanya bukan apa-apa, kan? " -Kala Tiga manusia bumi dengan latar belakang berbeda, tapi memilik...